Pembatasan izin operasional keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba, Sumatera Utara akan berdampak pada pasokan ikan secara nasional yang berasal dari air tawar. Kebutuhan itu, harus dipenuhi, karena permintaan ikan air tawar secara nasional dari waktu ke waktu terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Pemerintah bisa menggenjot daerah untuk melaksanakan produksi ikan air tawar.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, tak hanya dari kebutuhan dalam negeri di Indonesia, permintaan ikan yang berasal dari air tawar juga terus meningkat di dunia. Hal itu terjadi, karena saat ini sudah terjadi pergeseran selera makanan.
“Warga dunia kini lebih menggemari sumber protein dari daging putih ketimbang daging merah. Itu bisa didapat dari ikan salah satunya. Mereka seperti itu karena tuntutan gaya hidup yang lebih sehat,” ungkapnya di Jakarta, pekan ini.
Menurut Slamet, pergeseran selera makanan yang sedang terjadi di dunia, dan khususnya di Indonesia, harus bisa dimanfaatkan sebagai peluang besar bagi perikanan budidaya, khususnya budidaya di air tawar. Namun, proses pemanfaatan tersebut, kini tidak bisa lagi bergantung kepada sentra perikanan budidaya seperti di Danau Toba.
baca : Perikanan KJA di Danau Toba Harus Berhenti Operasi Dua Bulan. Begini Penjelasannya..
Bagi Slamet, peluang tersebut semakin membesar, karena saat ini kebutuhan ikan dunia sudah tidak lagi bergantung kepada hasil tangkapan, baik di laut atau pun di darat. Kata dia, saat ini sedang berlangsung proses peralihan pasokan utama dari tangkap ke perikanan budidaya. Kondisi itu, akan membawa dampak positif jika pembudidaya bisa membacanya dengan baik dan tepat.
“Kita sekarang sedang dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber daya ikan di laut sudah semakin terbatas, baik itu dari laut ataupun perairan umum lain,” jelasnya.
Dalam penilaian Slamet, agar momen sekarang bisa menjadi hal yang positif, semua sentra perikanan budidaya air tawar bisa memanfaatkannya dengan cara menggenjot produksi. Selain Danau Toba, sentra perikanan air tawar yang layak untuk dikembangkan saat ini adalah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.
“Dengan potensi besar yang dimiliki, saya yakin Kabupaten Aceh Tenggara dapat menjadi salah satu sentra utama penghasil ikan air tawar,” ucapnya.
Sentra Air Tawar
Untuk itu, Slamet meminta kepada semua pemangku kepentingan dan juga pembudidaya yang ada di Aceh Tenggara, harus bisa duduk bersama dan menyamakan persepsi tentang peluang yang ada sekarang. Terlebih, karena Aceh Tenggara memiliki potensi budidaya air tawar yang besar, dengan ketersediaan lahan dan sumber air yang melimpah sepanjang tahun.
“Itu bisa jadi peluang besar untuk mengembangkan perikanan budidaya di daerah tersebut,” tuturnya.
Akan tetapi, sebelum Aceh Tenggara mengembangkan potensi perikanan budidaya air tawar, Slamet mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan, agar pengembangan yang dilakukan di Aceh Tenggara bisa dilakukan secara benar dan mengadopsi teknologi budidaya yang efisien dan efektif. Dengan demikian, pengembangan yang dilakukan bisa menghasilkan manfaat yang banyak secara ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
baca juga : Pemerintah Percepat Sertifikasi Unit Usaha Pembudidayaan Ikan. Buat Apa?
Agar pemanfaatan teknologi budidaya bisa tepat digunakan, Slamet meminta Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam, Jambi untuk memperkenalkan teknologi running water system yang saat ini sudah diterapkan di Jawa Barat. Teknologi tersebut harus dikenalkan, karena bermanfaat bagus, seperti mempercepat pertumbuhan ikan, dan rerata kelulushidupan (survival rate/SR) lebih tinggi.
“Juga, memangkas Feed Conversion Ratio (FCR) atau perbandingan antara berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode budidaya menjadi lebih rendah,” paparnya.
Dalam mengembangkan perikanan budidaya air tawar, Slamet menyebutkan, ada banyak komoditas yang bisa dipilih oleh pembudidaya. Termasuk, dengan mengembangkan budidaya ikan lele yang saat ini semakin digemari oleh masyarakat. Pengembangan lele, bisa juga menggunakan teknologi tepat guna yang efisien dan efektif seperti sistem bioflok.
Dengan menggunakan teknologi tersebut, Slamet menambahkan, pembudidaya tidak hanya akan mendapatkan keuntungan materi yang tidak sedikit karena produksi melimpah dengan kualitas yang baik, namun juga sekaligus bisa ikut berperan untuk menjaga alam. Hal itu, karena bioflok mendukung teknologi budidaya berkelanjutan yang saat ini sedang dikampanyekan Pemerintah Indonesia.
“Jadi, industri perikanan budidaya juga ikut berperan dalam penyelamatan alam, karena teknologinya sudah ramah lingkungan,” tuturnya.
baca : Budidaya Lele, Potensi Primadona Ekspor Indonesia Selanjutnya
Meski demikian, walau sudah ada teknologi tepat guna yang ramah lingkungan, Slamet menyebut masih ada persoalan yang hingga kini belum berhasil diatasi dengan baik. Yaitu mahalnya harga pakan yang dikeluhkan, pembudidaya di Aceh Tenggara karena mengganggu kinerja produksi.
Slamet menyarankan kepada para pembudidaya untuk mulai melakukan diversifikasi pakan ikan dengan cara melepaskan ketergantungan kepada pakan pabrikan. Pembudidaya didorong mencoba pakan ikan secara mandiri, untuk menekan biaya produksi, sehinga meningkatkan kesejahteraan.
“Tahun depan kami upayakan ada dukungan mesin pembuat pakan untuk pembudidaya di sini. Jika berhasil, kita tambah lagi. Oleh karena itu, saya minta segera diidentifikasi bahan-bahan baku pakan lokal yang banyak ada disini seperti jagung, bekatul dan tapioka,” ungkapnya.
Kenaikan Daya Konsumsi
Dengan segala potensi dan juga dukungan teknologi serta pakan, Slamet menegaskan, peluang Aceh Tenggara untuk sukses menyamai prestasi Danau Toba, akan semakin besar lagi. Terlebih, di saat yang sama, Pemerintah Indonesia juga terus berkampanye untuk meningkatan daya konsumsi masyarakat terhadap komoditas ikan.
Pada 2030 mendatang, Indonesia diperkirakan akan berpenduduk minimal 300 juta orang, yang bakal meingkatkan konsumsi ikan per orang. Pada 2017 saja, konsumsi ikan per orang per tahun mencapai 43 kilogram, dan itu ditargetkan bisa naik lagi pada 2019 menjadi 50 kg per orang per kapita.
“Semua itu akan memunculkan konsekuensi produksi ikan harus banyak, sehingga pasokan ke masyarakat tetap aman,” tegasnya.
menarik dibaca : Begini Menelusuri Ikan Hasil Budidaya di Meja Makanmu
Bupati Aceh Tenggara Raidin Pinim merespon permintaan KKP tersebut dengan optimis. Menurut dia, daerahnya memang memiliki potensi perikanan budidaya, khususnya air tawar yang besar. Saat ini, Aceh Tenggara memiliki lahan budidaya seluas 1.303 hektare dan baru seluas 543 ha saja yang sudah dimanfaatkan dan produktif.
“Jadi, masih ada 760 hektare yang belum dimanfaatkan,” tuturnya.
Raidin menyebutkan, pada 2017 produksi ikan air tawar di daerahnya mencapai 7.688,2 ton yang meliputi beberapa komoditas unggulan seperti ikan Mas, Nila, Lele, Gurame dan Jurung. Semua komoditas tersebut kemudian dipasarkan ke kabupaten/kota di Aceh dan Sumatera Utara.
Semua produksi tersebut, menurut Raidin berasal dari kawasan budidaya yang meliputi Kecamatan Darul Hasanah, Deleng Perkisan, Lawe Bulan, Lawe Sumur, Lawe Alas dan Ketambe dengan jumlah pembudidaya mencapai 3.216 rumah tangga pembudidaya (RTP).