Produksi rumput laut nasional diharapkan bisa membantu pengendalian dampak perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Karena bisa menyimpan karbon 2x lebih banyak dibanding kemampuan wilayah daratan.
Melansir riset National Science Foundation yang dipublikasikan pada 2012, rumput laut dunia diketahui memiliki potensi sangat besar untuk menyimpan karbon. Para peneliti lembaga tersebut, menghitung jumlah karbon yang bisa disimpan pada rumput laut, mencapai 19,9 miliar metrik ton.
Dengan rincian hamparan kebun rumput laut, mampu menyerap karbon hingga 83.000 metrik ton per km2 di dalam tanah di antara tanaman tersebut. Kemampuan tersebut, 2x lebih banyak dibandingkan hutan di daratan yang menyerap 30.000 metrik ton per km2 dalam bentuk kayu.
Dengan kemampuan seperti itu, Slamet Soebjakto terus mengampanyekan perikanan budidaya untuk rumput laut bisa terus dilakukan dengan cara yang benar dan baik. Tujuannya, bukan saja untuk mengejar produktivitas, tapi juga untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan, dan sekaligus berperan untuk menyerap karbon.
baca : Fokus Liputan Saumlaki : Dari Pulau Yamdena, Rumput Laut Menyebar ke Seluruh Dunia (Bagian 2)
Alga Merah
Di antara jenis rumput laut yang sedang dikembangkan saat ini, menurut Slamet, adalah jenis Gracilaria atau alga merah. Jenis ini dikembangkan dengan mengadopsi teknolologi kultur jaringan. Teknologi tersebut saat ini menjadi andalan, karena bisa memperbaiki kualitas bibit menjadi lebih unggul dan adaptif dan membuat produktivitas menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.
Alga merah biasanya tumbuh di semua perairan tropic, pada kedalaman 3-12 meter. Hingga saat ini, Alga merah menjadi jenis rumput laut paling banyak dibudidayakan di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Alga merah biasa digunakan industri dan farmasi untuk bahan baku pembuatan agar-agar. Sebagai komoditas andalan di Takalar, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar berhasil melakukan perbaikan jenis tersebut melalui teknologi kultur jaringan. Pemanfaatan teknologi tersebut, meningkatkan kualitas dan produktivitas untuk Gracilaria.
“Nanti akan ada perbaikan kualitas bibit yang lebih unggul. Dengan demikian, tingkat produktivitasnya bisa lebih tinggi,” ucap Slamet.
Apalagi, pada 2016 total volume Alga merah sudah mencapai 1,35 juta ton atau 17 persen dari produksi rumput laut nasional. Dari semua produksi tersebut, mayoritas dipakai untuk mencukupi kebutuhan industri dalam negeri.
baca juga : Industri Rumput Laut Masih Temui Tantangan Berat, Apa Saja?
Walau Alga merah berkembang pesat, Slamet mengaku hingga saat ini masih ada tantangan berat yang harus dihadapi komoditas rumput laut. Hal itu, karena hingga saat ini masih minim diversifikasi produk, persyaratan pasar global, persaingan antar produsen, zonasi dan infrastruktur, dan minimnya investasi berbasis rumput laut.
Dengan fakta seperti, Slamet menyebutkan, walau Indonesia saat ini menjadi negara net eksportir nomor satu dunia untuk komoditas rumput laut, tetapi pada kenyataannya 80 persen ekspor masih didominasi oleh produk bahan baku kering (raw material). Dengan kata lain, nilai tambah ekonomi yang dirasakan oleh petani rumput laut masih sangat minim.
“Untuk jenis Eucheuma cottoni dan Gracilaria kita jadi nomor satu. Tapi kita masih didominasi oleh bahan baku kering,” ungkapnya.
Agar permasalahan seperti itu terus berkurang dan menghilang, Slamet mengatakan, perlu dilakukan upaya lebih keras dalam hal produksi dan pengembangan produk. Salah satunya, adalah dengan melaksanakan pembangunan industrialisasi rumput laut secara nasional melalui peningkatkan produksi yang berkualitas di bagian hulu.
menarik dibaca : Kisah Hilangnya Rumput Laut Nusa Lembongan
Adopsi Teknologi
Untuk menggenjot produksi, Slamet menyebutkan, salah satu caranya adalah dengan pengembangan kawasan budidaya rumput laut berbasis klaster, pengembangan kebun bibit rumput laut hasil kultur jaringan, dan pengembangan sistem kebun bibit rumput laut yang memenuhi estetika. Teknik produksi tersebut terbukti ramah lingkungan.
Khusus untuk teknologi kultur jaringan, Slamet mengatakan bahwa saat ini sudah diterapkan di enam unit pelaksana teknis (UPT) pada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Keenam UPT tersebut, adalah Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPB) Lampung, Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon (Maluku) dan Lombok (Nusa Tenggara Barat), Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara (Jawa Tengah), serta Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Situbondo (Jawa Timur) dan Takalar (Sulawesi Selatan).
baca juga : 2017, Budidaya Rumput Laut Gunakan Teknik Kultur Jaringan. Apa itu?
Selain di hulu, Slamet memastikan, pihaknya juga mengawasi sistem produksi yang ada di hilir dengan mendorong rumput laut Indonesia untuk bisa memiliki daya saing lebih tinggi. Caranya, adalah dengan menciptakan efisiensi produksi dan jaminan mutu.
“Untuk memutus rantai distribusi pasar yang panjang, Pemerintah telah mendorong pembangunan industri pengolahan di sentra-sentra produksi baik yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta,” tegasnya.
Berkaitan dengan mutu rumput laut, Slamet menerangkan, Pemerintah juga terus mendorong agar semua produksi dan pengolahannya sudah memenuhi sertifikasi standar nasional Indonesia (SNI) dan persyaratan ekspor. Beberapa item yang menjadi fokus adalah seperti penerapan Cara Pengolahan Ikan yang Baik (Good Manufacturing Practices) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi Sanitasi Standar (Standar Sanitation Operating Procedure).
Salah satu contoh kesuksesan pengembangan rumput laut, khususnya jenis Alga merah, ada di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Meski bukan sentra Alga merah, namun daerah tersebut sukses mengembangkan rumput laut jenis tersebut dan mengolahnya menjadi berbagai varian produk makanan.
Pengembangan tersebut diprakarsai oleh kelompok budidaya perikanan (Pokdakan) Samudera Hijau 1 yang memanfaatkan lahan tambak seluas 800 hektar di Dusun Tanjung Sari, Desa Kupang, Kecamatan Jabon. Dusun tersebut, selama ini diketahui menjadi sentra produksi pengembangan rumput laut di Sidoarjo.
Ketua Pokdakan Samudera Hijau 1 Mustofa menjelaskan, pengembangan Gracilaria saat ini mulai dirasakan keuntungannya oleh pembudidaya, karena harganya sedang tinggi. Menurut dia, manfaat itu bisa didapat, karena pola budidaya yang diterapkan sangat mudah dilaksanakan oleh masyarakat.
baca : Begini Enaknya Produk Olahan Rumput Laut, dari Keripik hingga Pupuk Organik
Selain produksi, Gracilaria juga dikembangkan menjadi bentuk olahan makanan yang bervariasi. Pengembangan tersebut dilakukan kelompok pengolah dan pemasaran (Poklasar) Samudera Hijau Putri. Kelompok tersebut berhasil mengolah rumput laut tersebut menjadi berbagai varian produk olahan seperti kembang goyang, stick, kerupuk, nugget, mie, rumput laut crispy, dan es krim.
Kelompok yang beranggotakan ibu-ibu juga telah berhasil memasarkan produknya ke berbagai outlet di Sidoarjo. Semua produk tersebut banyak diminati masyarakat, dan bahkan saat ini telah menjadi salah satu produk khas dari Sidoarjo.
Ketua Poklasar Samudera Hijau Putri Rahmah mengatakan, keberhasilan akan terus menjadi motivasi bagi kelompoknya untuk mengembangkan rumput laut tidak dalam bentuk mentah saja. Dengan demikian, nilai tambah produk rumput laut juga pada akhirnya akan terus meningkat secara perlahan dan konsisten.