- Hujan deras menggunyur Pegunungan Lompobattang dan Bawakaraeng pada 21-22 Januari 2019. Curah hujan hingga 20 kali lipat dari normal. Alhasil, Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar dan Jeneponto, terendam
- BPBD Sulawesi Selatan, hingga 30 Januari 2019, menyatakan, korban meninggal dunia mencapai 78 orang. Tiga orang masih hilang. Hingga hari kedelapan pasca banjir 22 Januari, masih ada 9.429 orang mengungsi, 22.156 rumah terendam, 33 rumah hanyut dan lima rumah tertimbun longsor
- Ternyata, pada 8 Januari 1929, badai musim barat dengan kekuatan besar menyebabkan, berbagai wilayah seperti Makassar, Maros, dan Jeneponto, banjir dan rusak parah. Badai itu mengisolasi beberapa tempat. Bagian pesisir menjadi tempat mengerikan dan menimbulkan banyak korban. Sekitar 90 tahunan berlalu, kala bencana datang, masih menimbulkan dampak nyaris sama
- Mitigasi banjir, hal mutlak dilakukan, antara lain memberi pemahaman masyarakat bagaimana mengenal dan menghadapi bencana. Pemerintah, juga perlu ada langkah-langkah mitigasi bencana.
Pada 21-22 Januari 2019, hujan intentitas tinggi menggunyur Pegunungan Lompobattang dan Bawakaraeng. Curah hujan hingga 20 kali lipat dari normal. Alhasil, Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar dan Jeneponto, terendam.
Di Maros, pada 22-23 Januari, jalan utama yang menghubungkan Makassar menuju Parepare, terjadi antrian panjang kendaraan hingga menembus perbatasan Pangkep. Truk tronton, bus penumpang, pick up yang membawa ikan merugi karena es untuk menyegarkan ikan mencair, pedagang buah membuka lapaknya di tengah jalan dengan harga miring.
Orang-orang menenteng koper dan tas untuk menerobos genangan setinggi 1,5 meter di depan Kantor Bupati Maros. Mereka adalah calon penumpang pesawat pagi. Saya menyaksikan mereka berjalan hingga puluhan kilometer.
Baca juga: Banjir dan Longsor Bukti Lingkungan Sulsel Rusak Parah
Keadaan lain, di Gowa, jembatan kembar juga ditutup, sebagai jalan utama menghubungkan Makassar menuju Bulukumba. Bahkan di Gowa, terjadi longsor yang menimbun beberapa rumah. Jeneponto pun nyaris sama.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan, hingga 30 Januari 2019, menyatakan, korban mencapai 78 orang meninggal dunia. Tiga orang masih hilang. Hingga hari kedelapan pasca banjir 22 Januari, masih ada 9.429 orang mengungsi, 22.156 rumah terendam, 33 rumah hanyut dan lima rumah tertimbun longsor.
Nyaris, Makassar, jadi terisolisasi dalam beberapa hari. Pemerintah daerah menyatakan, kalau ini banjir terparah dalam enam tahun terakhir. Gubernur Sulawesi Selatan, menambah masa tanggap darurat hingga 5 Februari. Kejadian ini memperlihatkan upaya mitigasi kebencanaan tak berjalan baik.
Saban tahun, ketika menjelang akhir Desember dan memasuki Januari dan Februari, sebagai puncak musim hujan, masyarakat ketakutan. Dam Bili-bili di Kabupaten Gowa yang membendung Sungai Jeneberang jadi sasaran kesalahan. Melalui media sosial dan beberapa grup aplikasi, perbincangan akan jebolnya Bili-bili, menjadi isu hangat.
Ketika curah hujan bertambah pada 22 Januari dan sehari kemudian elevasi air di Bili-bili mencapai 101 meter di atas permukaan laut, pintu spill way dibuka selebar satu meter. Sebelumnya, pada 18 Januari, elevasi air pada 99.43 meter, spill way dibuka pada angka 0.5 meter.
“Kami membuka spill way Bili-bli sejak 21 Januari pukul 14.00 karena kecenderungan hujan dan puncak hujan terjadi pada 22 Januari, jadi ada (kami) memperkirakan inflow masuk ke bendungan akan bertambah,” kata Teuku Iskandar, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWSPJ).
Balai besar ini dibawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat-wilayah kerja meliputi empat sungai, termasuk Jeneberang, Pompengan-Larona, Saddang dan Walanae-Cenrana.
Menurut Iskandar, pola pengoperasian Bendungan Bili-bili, ketika curah hujan meningkat sesuai standar operasi prosedur. BBWS mencatat, beberapa pos di hulu bendungan mencapat curah hujan 200 mm-300 mm.
Batas maksimal tinggi muka air (TMA) Bili-bili adalah 103 meter di atas permukaan laut. Pada 22 Januari, antara pukul 18.00-20.00 TMA di waduk terus bergerak elevasi sekitar 101,87, sisa 1.13 dari elevasi TMA maksimal.
“Kalau tidak diatur pengoperasian dengan membuang kelebihan air tepat waktu khawatir inflow lebih besar dan akan over topping di bendungan. Ini yang tidak harus terjadi,” kata Iskandar, dalam pesannya kepada saya.
Dorotea Agnes Rampisela, Guru Besar Universitas Hasanuddin mengatakan, mereka terus mempertahankan TMA maksimal. “Itu operasi musim kemarau dan sangat riskan,” katanya.
Agnes, begitu sapaan akrabnya , adalah guru besar yang meneliti Sungai Jeneberang sejak 1978 hingga sekarang. Dia salah seorang pakar Jeneberang di Makassar. Bagi dia, Bili-bili selain fungsi utama sebagai persediaan air bersih dan irigasi, juga meminimalisir banjir.
“SOP (standard operating procedure-red) mereka elevasi air DAM 99.5 meter. Itu sangat kaku. Padahal saat musim hujan, elevasi bisa saja jadi 96 meter,” katanya.
Perbandingannya, pada 23 Januari pukul 11.00 elevasi Bili-bili adalah 100.77 meter, volume waduk sekitar 279,66 juta meter kubik dan inflow 964,39 meter kubik per detik, lalu outflow 964,42 meter kubik per detik dengan status siaga. “Ini berarti semua air yang masuk ke dam sudah dialirkan begitu saja tanpa ditampung,” kata Agnes.
Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan, menggunakan helikopter meninjau lokasi banjir. Khusus di Jeneberang, dia menyampaikan kekesalan warna air keruh. Bagi dia, Jeneberang sudah kritis. Ditambah penambangan pasir di hulu bendungan.
Benarkah penambangan pasir salah satu penyebab banjir yang merendam Makassar dan Gowa? Di hulu Bili-bili, ada lima sand pocket (kantong pasir) dan sabo dam tujuh buah. “Sand pocket itu berfungsi menahan pasir sedimen yang jatuh ke badan sungai. Di tempat itu bisa pengerukan tentu dengan syarat. Jadi menyalahkan penambangan pasir, saya kira itu terlalu dini,” kata Agnes.
Selain itu, Jeneberang tak ada hubungan dengan Jeneponto, Maros dan tempat lain. Ketika luapan air terjadi di Jeneberang, semua orang menyalahkan bendungan dan kepanikan terjadi dimana-mana. Padahal, katanya, DAS Jeneberang meliputi 736 km persegi di Gowa, enam kilometer persegi wilayah Takalar, dan 22 kilometer persegi wilayah Makassar.
Belajar dari sejarah
Pada Januari 1929, Makassar dan sekitar dihantam badai musim barat. Beberapa koran mencatat peristiwa itu. Salah satunya, Koran Soerabaijach Handelsblad, yang menuliskan selama beberapa hari Makassar dan sekitar diguyur hujan.
Pada Selasa 8 Januari 1929, tulis koran itu, badai musim barat dengan kekuatan besar menyebabkan beberapa kerusakan di Makassar, salah satu merobohkan panggung Societeit De Harmonie.
“Pada 9 Januari angin kembali bergemuruh. Banyak pohon di Makassar tumbang, bahkan memakan korban. Pohon tumbang di Strandweg (sekarang Jalan Penghibur) menimpa perempuan tua. Dia meninggal di tempat kejadian,” tulis Soerabaijach Handelsblad.
Badai itu mengisolasi beberapa tempat. Bagian pesisir menjadi tempat mengerikan dan menimbulkan banyak korban. Puluhan rumah rusak. Kuburan di pesisir tersapu gelombang. Listrik sempat padam.
“Di Kampung Bontomarannu, dekat muara Sungai Jeneberang, gelombang laut juga menyebabkan kerusakan. Jalur pantai sekitar 50 meter dan panjang satu kilometer tersapu gelombang laut, 24 rumah tersapu gelombang.”
Di Sungguminasa, Gowa, wilayah itu terendam banjir karena Jeneberang meluap. Jalur Makassar menuju Gowa, tergenang hingga satu meter. Tiga hari berikutnya luapan air makin tinggi, rel kereta api tergenang dan rusak parah. Jalur dari Parigi Gowa, pada KM 38 tanah longsor menutupi jalan sebelum jembatan dan lebih dari empat jembatan terputus.
Di Maros, ada beberapa jembatan terputus. Sungai utama meluap menggenangi wilayah sekitar hingga kedalaman satu meter. Jalan yang menghubungkan Maros ke Makassar, tergenang hingga dua kilometer.
Di Kampung Takkalasi, Kabupaten Barru, badai juga merusak 13 rumah dan membuat beberapa badan jalan rusak. Di selatan Makassar, kerusakan kampung di Jeneponto, lebih parah. Rumah dan ternak hanyut. Wilayah ini terisolasi karena banjir. Jembatan di jalan utama terputus membuat jalur transportasi lumpuh.
Sembilan puluh tahun lalu, banjir di Sulawesi Selatan, masih hampir sama, beberapa wilayah terendam dan tetap terisolasi. “Kebetulan sekali, kita di Sulawesi Selatan tidak sering mengalami ini. Jadi terkesan heboh sekali, padahal sebenarnya tidak,” kata Achmad Yasir Baeda, peneliti kebencanaan laut dan cuaca, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
Bagi Yasir, sungai-sungai besar di wilayah terdampak banjir di Sulawesi Selatan, seperti Sungai Pangkajene, Pute, Tello, Jeneberang, Jenelata, Kelara, Maros, berhulu di pertemuan antara Bawakaraeng dan Pegunungan Lompobattang. “Jika terjadi fenomena hujan berlebih di area itu, yakin semua dam yang dalam aliran sungai akan cepat penuh dan akan berpengaruh pada catchment area,” katanya.
Mitigasi banjir, kata Yasir, hal mutlak antara lain memberi pemahaman masyarakat bagaimana mengenal dan menghadapi bencana. Pemerintah, katanya, juga perlu ada langkah-langkah mitigasi bencana. “Yang kurang, konsep mitigasi tidak jelas. Buku saja tidak ada. Kalau mitigasi orang selalu bilang evakuasi. Ya bedalah.”
Fenomena curah hujan berlebih yang melanda Sulawesi Selatan, dia sebut rentetan anomali cuaca yang berlangsung sejak lama. Bureau of Meterology Australia, sudah mendeteksi sejak dekade 1970-an. Amerika sejak Roland Madden dan Paul Julian, menerbitkan hasil penelitian tentang osilasi curah hujan yang bersifat anomali pada wilayah Equator, di mana Indonesia masuk dalam garis itu.
“Banjir kemarin itu, ada hubungan dengan Tropical Cyclone Riley yang melanda Australia Barat, semua angin di garis lintang Equator terserap tekanan udara rendah. Alhasil, bertepatan dengan pase Madden-Julian Oscillation melanda Indonesia, plus fase pasang laut purnama di Sulawesi Selatan, Itu menyebabkan banjir,” kata Yasir.
Madden-Julian Oscillation (MJO) adalah fenomena atmosfer skala besar yang melintasi bagian Equator bergerak dari arah barat ke timur. Fenomena ini erat kaitan dengan anomali cuaca–curah hujan berlebih. “Tapi ingat tidak semua curah hujan berlebih terjadi pada pase MJO. Meskipun MJO ini terjadi setiap tahun.”
Penyebab, wilayah banjir dengan curah hujan tinggi hanya terjadi di sekitaran Pegunungan Lompobattang dan Bawakaraeng, kata Yasir, karena pertemuan awan berhenti di tempat tertentu. Di mana, katanya, penggumpalan awan banyak di atas hulu sungai, bersamaan dengan angin yang bertiup dari barat menuju timur.
Senada dengan itu, Agnes bilang, jika curah hujan tinggi membuat struktur tanah jemu. Dia bilang, tak ada hubungan dengan bukaan hutan maupun sedimentasi sebagai penyebab banjir.
“Sedimentasi dan bukaan hutan adalah persoalan serius lain dan jadi dampak. Banjir, adalah soalan tingkat curah hujan. Jika DAS Jeneberang dan DAM Bili-bili, dapat meminimalisir banjir, ingat, ada Jenelata dengan air tak terkontrol,” katanya.
Dampak banjir dan kerusakan hutan
Saat banjir, daerah tangkapan air meliputi Jeneberang, Maros, dan Pangkep, tergenang sekitar 154.431 hektar. Ia terdiri dari lahan kering sekunder, pemukiman, pertanian lahan kering, semak belukar, tanah terbuka dan sawah.
Rochimah Nugrahini, Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Jeneberang Saddang, mengatakan, saat puncak banjir, aliran air melimpah karena curah hujan tinggi dan tak memiliki aliran. “Sedimentasi sungai tinggi, sampai sistem drainase buruk membuat banjir makin tinggi,” katanya.
Di Makassar, katanya, hampir tak menemukan wilayah resapan air karena jadi pemukiman. Tentu saja, katanya, membangun pemukiman di daerah resapan, bisa kalau terpaksa. Namun, katanya, jalur air dengan gorong-gorong harus menjadi perhatian. “Yang ada sekarang kan tidak dilakukan. Hujan sedikit saja, semua jadi tergenang. Karena air tertahan.”
Selain tata ruang pembangunan wilayah buruk, ekosistem hulu sungai juga mulai kritis. Bawakaraeng, yang menjadi hulu Jeneberang makin kering. Fungsi sebagai hutan lindung yang hampir selalu mendapat proyek penghijauan dan penanaman pohon tak membuahkan hasil.
Lereng-lereng terjal berubah menjadi kebun sayur. Malino, sebagai kaki Gunung Bawakaraeng, jadi salah satu pemasok sayur di Makassar dan sekitar. “Jadi antara memilih tanaman holtikultura dan tanaman yang menjaga vegetasi. Dilemanya disitu,” kata Supriyanto, Kepala Bidang Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan.
Taman Wisata Alam (TWA) Malino, sebagai wilayah konservasi pun jauh dari kata membanggakan. Tahun 1991, ketika penunjukan kawasan konservasi sebagai TWA, luasan 3.500 hektar. Dalam citra satelit, 50% kawasan sudah terbuka.
Dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 420, kawasan awalnya sebagai hutan produksi terbatas menjadi TWA, karena potensi wisata dengan keindahan alam, bukan atas pentingnya vegetasi penunjang alam.
Kini, setelah 21 tahun jadi wilayah konservasi, BBKSDA sangat minim kurangi laju kerusakan. Kalau awal penetapan lahan terbuka 78%, kini lahan kritis turun jadi 68,7%. “Katakanlah masih tersisa sekitar 40% lahan masih bagus,” kata Supriyanto.
Kawasan terbuka itu, akhirnya menjadi pemukiman, villa, hingga lahan pertanian. “Jika melihat fungsi, seharusnya TWA Malino menjadi daerah tangkapan air untuk menahan laju sedimentasi. Apalagi beberapa kawasan itu, bersisihan dengan beberapa sub DAS Jeneberang,” katanya.
Beberapa tahun lalu, saat periode pemerintahan Bupati Gowa, dilakukan pengukuran kembali tapal batas TWA Malino. Namun, Ichsan Yasin Limpo sebagai bupati saat itu, tak bersedia menandatangani hasil pengukuran tapal.
Akhirnya, ketika banjir menerjang, pemerintah seperti kelabakan. Bupati Gowa, menyalahkan para pendaki yang berkunjung ke Bawakaraeng. Gubernur Sulawesi Selatan, menginginkan peninjauan kembali tambang pasir di hulu dam Bili-bili. KPUPR berencana membangun bendungan di Sungai Jenelata di bawah Dam Bili-bili.
Keterangan foto utama: Banjir di Makassar. penghujung bulan lalu, beberapa kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan, dilanda banjir. Puluhan orang meninggal dunia. Foto: Iqbal Lubis