- Tradisi sedekah harimau dan sedekah buaya merupakan ritual yang dilakukan masyarakat Desa Penuguan, Kecamatan Selatan Penuguan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, desa yang berbatasan dengan lanskap Sembilang, Taman Nasional Berbak Sembilang
- Beberapa tahun terakhir tradisi sedekah harimau sudah tidak dilakukan warga, kemungkinan karena harimau yang jarang terlihat
- Tradisi sedekah buaya terus berlangsung karena masih terjadi konflik antara manusia dengan buaya, seperti buaya muara
- Nama Penuguan berasal dari kata “nugu”, artinya menangkap ikan menggunakan jaring yang diikat bambu ditancapkan di sepanjang pinggiran sungai. Desa ini merupakan desa nelayan
Beberapa tahun terakhir, warga Desa Penuguan, Kecamatan Selat Penuguan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, tidak lagi melakukan ritual atau sedekah harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae]. Mengapa?
“Mungkin, salah satu penyebabnya karena harimau jarang terlihat,” kata Bahtiar, Kepala Desa Penuguan, di rumahnya, Jumat [12/4/2019] lalu. Desa Penuguan berbatasan dengan lanskap Sembilang, Taman Nasional Berbak Sembilang. “Sedekah dipimpin pawang harimau yang selalu mendapat mimpi jika akan ada korban atau konflik. Waktu sedekah, tidak tentu, tergantung keputusan pawang,” lanjutnya.
Sedekah pada intinya “meminta” harimau untuk tidak menganggu warga. Khususnya, warga Desa Penuguan, yang umumnya berkebun kelapa, bersawah padi, dan nelayan sungai.
Baca: Catatan Akhir Tahun: Melindungi Harimau Sumatera Harus Ada Strategi Komunikasi
Benarkah populasi harimau sudah berkurang di Sembilang?
“Tiga tahun lalu, seorang warga melihat ada induk dan tiga anak harimau melintas di kebun kelapa milik saya. Syukurlah hingga kini tidak ada lagi warga yang menjadi korban,” lanjut Bahtiar.
Warno [38], warga desa, juga pernah melihat jejak harimau di kebun kelapa miliknya. ”Kalau saya sudah tidak terkejut lagi jika bertemu atau melihat jejak kaki harimau. Asalkan sama-sama tidak menganggu mudah-mudahan selamat.”
Berdasarkan buku “Identifikasi dan Pemetaan Kantong-Kantong Habitat Gajah dan Harimau di Sumatera Selatan” yang dikeluarkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan, FMIPA Universitas Sriwijaya dan GIZ-BiOCLIME pada 2016, keberadaan harimau sumatera di kawasan Sembilang, Kabupaten Banyuasin, dihubungkan dengan kawasan Lalan di Kabupaten Musi Banyuasin, dari kawasan hutan mangrove ke rawa gambut, jumlahnya diperkirakan tersisa dua individu.
Bentang alam Sembilang terdiri hutan mangrove, rawa gambut, dan lahan terbuka. Ekosistem mangrove di Sembilang tergolong primer yang kondisinya bagus. Di hutan mangrove Sembilang terdapat sekitar 70 sungai, besar maupun kecil, yang saat ini menjadi lokasi pencarian ikan nelayan.
Baca: Apa Kabar Harimau Sumatera di Lanskap Sembilang?
Buaya
Berbeda dengan buaya, sedekah tetap dilakukan hingga saat ini. Penyebabnya, buaya memakan korban di Desa Penuguan. Terakhir 2018, Alif [18], warga luar desa diterkam saat memancing. Sedekah terhadap buaya banyak dilakukan warga dusun 1, 2 dan 3, Desa Penuguan, yang sebagian besar nelayan sungai.
Dijelaskan Bahtiar, sedekah sering dilakukan di dermaga atau daerah lainnya di tepian Sungai Batang Hari di Desa Penuguan. Sedekah berupa pemberian kambing atau ayam untuk buaya.
“Kalau saya sering memberi ayam. Jika kambing, takutnya jadi kebiasaan,” kata Hasan Basri, pawang buaya yang selalu memimpin sedekah buaya di Penuguan.
Apa ada keyakinan tertentu terkait manusia yang berkonflik dengan buaya muara tersebut? “Ada. Jika seseorang yang akan dimangsa buaya, tandanya di sela jempol dengan telunjuk akan muncul paeng atau gigi buaya, ini juga sama seperti yang akan diterkam harimau,” kata Hasan Basri.
Baca: Lanskap Sembilang: Mangrove, Harimau, dan Harapan Nyata Masyarakat
Desa nelayan
Nama Penuguan diambil dari kata “nugu”, yang berarti menangkap ikan menggunakan jaring yang diikat dengan bambu yang ditancapkan di sepanjang pinggiran sungai. Artinya, awalnya desa ini merupakan desa nelayan.
Desa Penuguan merupakan satu dari 21 desa yang masuk lanskap Sembilang Dangku. Luasnya sekitar 25.736 hektar, berpenduduk sekitar 5.120 jiwa. Sebagian bersuku Melayu, menetap di dusun 1, 2 dan 3, sementara Bugis dan Jawa di dusun 4, 5 dan 6. Suku Bugis datang ke desa ini sekitar 1963. Sejak 2018, desa ini bergabung dengan Kecamatan Selat Penuguan, pemekaran dari Kecamatan Pulau Rimau, Kabupaten Banyuasin.
Selain sedekah harimau dan buaya, ada juga masyarakat yang melangsungkan sedekah parit. Sedekah parit berupa tradisi rasa syukur setelah panen padi. Hanya saja, sedekah parit dilakukan sekelompok orang yang rumahnya berdekatan parit, sebagai pengairan dan pembatas lahan.
“Berbeda tradisi membuat hidup kami damai, berdampingan, dan bersaudara,” tandas Bahtiar.
*Nopri Ismi, Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018