- Kompleks Danau Malili di Luwu Timur, adalah kumpulan dari lima danau eksotik dan penuh misteri. Ada Danau Matano, Mahalona, Towoti, Lantoa dan Masapi.
- Danau-danau ini mengalami berbagai masalah, dari banyak pemukiman di bantaran sungai, ikan endemik makin langkah sampai ancaman sampah.
- Kupu-kupu yang dulu banyak hinggap di pasir Pantai Kupu-kupu pun kini sudah tak ada lagi.
- Warga menangkap ikan harus jauh ke tengah danau, dulu cukup dari tepian. Udang kecil mirip ebi, ketika air danau meluap jadi panganan penting setiap tahun kini raib.
Bertahun-tahun, para peneliti menyambangi, dari mulai peneliti ikan, arkeolog hingga peneliti iklim purba. Acap kali, danau itu terus saja menyimpan tanya. Bagaimana kondisi danau-danau ini sekarang?
Saya berdiri di pesisir Matano, danau dengan elepasi sebagai danau tertinggi. Air mengalir melalui sungai kecil menghubungkan ke Danau Mahalona, menuju Danau Towoti. Dua danau lain, Lantoa dan Masapi, secara hidrologi tak bersambung dengan tiga danau besar lain.
Air danau-danau ini, mengalir menuju satu sungai besar, Larona, meliuk di sela pegunungan dengan arus deras sejauh 60 kilometer menuju Teluk Bone di Malili, pusat Kabupaten Luwu Timur.
Sebelum 1979, ketika perusahaan penambang nikel PT Vale (dulu PT Inco) belum membangun PLTA di Batang Sungai Larona, air danau mengalami pasang surut bak laut. Pada bulan tertentu, hamparan pasir jadi landai sampai beberapa meter. Pasang surut ini pulalah yang jadi patokan warga untuk bertani.
“Mulai Februari itu, sampai April, banjir mi itu. Banyak mi air, jadi orang mulai tanam padi bulan-bulan dua,” kata Ongko, petani usia 77 tahun dari Dusun Matano.
Kini, menggerakkan produksi dan ketersediaan listrik Vale, perusahaan tak hanya membuat membuat satu PLTA melainkan tiga di batang Sungai Larona. Pembangkit pertama, PLTA Larona beroperasi sejak 1979, menghasilkan energi listrik rata-rata 165 MW. Sekitar tujuh kilometer di bawah, ada PLTA Balambano, dengan kapasitas rata-rata 110 MW, beroperasi Desember 1999.
Enam kilometer di batang sungai sama ada PLTA Karebbe, beroperasi pada Oktober 2011 dengan kapasitas rata-rata 90 MW.
Tiga PLTA itu mengandalkan air dari ekosistem lima danau ini, membangun pintu air di antara Matano dan Mahalona. Pintu air itu beroperasi sesuai keperluan pembangkit. Sejak saat itu, permukaan air danau jadi tidak stabil. “Sekarang tinggi terus air itu. Nda pernah mi surut,” katanya.
Ongko memberi gambaran, kalau mesjid yang sekarang di pesisir danau, jarak dari garis pantai hanya 15 meter. “Dulu, waktu dibangun pertama, sampai 50 meter.”
Tinggi permukaan air danau ini, ikut mempengaruhi ekosistem. Beberapa garis danau seperti Pantai Kupu-kupu di dekat perumahan C karyawan Vale, terendam. Padahal, pantai ini mendapat julukan sesuai namanya, karena tempat beberapa jenis kupu-kupu hinggap di pasir untuk mengisap mineral.
Tahun 2014, saya pernah menyusuri pesisir itu, membelah perkebunan kakao warga dan beberapa kebun yang sudah tak terawat. Antara bakau air tawar, dengan pasir putih, Papilio blumei, si kupu-kupu anggun dengan sayap hitam dan sedikit corak biru terbang santai. Jenis lain, Papilio androcles, ketika hinggap di pasir sayap yang tertutup bagian belakang memanjang, bak punya ekor.
Akhir Maret 2019, saya mencoba memasuki rute itu kembali, Papilio blumei dan Papilio androcles, sudah tak nampak.
Matano, tetap menjadi magnet sebagian orang. Danau ini tak jadi tujuan wisata populer di Sulawesi Selatan, karena untuk menjangkau dari Makassar pakai bus sekitar 12 jam.
Kalau pakai pesawat hanya sampai di Bua Kabupaten Luwu, masih perlu enam jam perjalanan darat.
Danau Matano, menjadi danau terdalam di Asia Tenggara, pada titik tertentu kedalaman mencapai 590 meter. Tebing-tebing yang mengelilingi masih dipayungi kanopi hutan lebat. Meski ada beberapa titik lahan terbuka untuk perkebunan merica.
Ada empat desa berada di pesisir Matano, masing-masing Sorowako, Nikkel, Nuha dan Matano. Desa-desa ini jadikan danau sebagai halaman depan kampung. Ada dermaga, ada keramba ikan, dan karung-karung merica yang terendam.
Pada 31 April 2019, ketika hendak meninggalkan Kampung Matano, sekitar pukul 07.00, di dermaga beberapa orang berteriak melihat butini mati, mengambang. Ada butini kecil berenang di pinggir tanggul beton penahan air. “Ikan butini e,” kata salah seorang penumpang.
“Iyo. Na memang nah. Kenapa kaget sekali,” seorang lain menjawab.
“Eh kan tidak seperti biasa toh. Ini adami naik lagi itu ikan.”
Butini, adalah ikan endemik di Danau Matano. Ia ada pula di Mahalona dan Towuti. Beberapa warga bilang, butini mulai langka. Sampai 1990-an awal, nelayan pemancing tak perlu jauh ke tengah danau. Sekarang, ke tengah danau pun ikan sulit ditemukan. Bahkan seharian memancing, bisa pulang dengan keranjang kosong.
Di Kampung Matano, saya disuguhi butini. Ikan masak kuah kuning. Ikan begitu empuk hingga daging mudah hancur. Di Desa Nuha, saya ikut mencoba louhan, ikan intoruduksi yang ditengarai sebagai predator alami di Matano.
Louhan muncul pada pertengahan 2000-an. Kecepatan berkembang biak sungguh luar biasa. Matano, Mahalona dan Towuti, hampir penuh ikan ini. Ia berada di pinggiran danau sampai kedalaman. Kala mencelupkan kaki saja bisa dikerumuni louhan.
Ada pula lele dan bawal. Sultaman, warga Desa Nuha bilang, bawal di Matano, sudah seperti monster. Para penembak ikan, sudah tak berani lagi menembak karena mata tembak akan terbawa lari, bahkan bisa membawa lari si penembak. “Itu kalau bawal, datang berombongan. Tidak sendiri. Wuiih besar sekali mi, dilihat saja kalau ketemu,” kata Sultaman.
“Tidak dipancing?” kata saya.
“Mau pake tasi berapa besar. Itu nda pernah ada tahan. Putus saja terus.”
Ikan-ikan introduksi ini terus menekan spesies endemik perairan. Upaya pemerintah dan perusahaan belum signifikan. Hanya beberapa kali lomba memancing louhan dan menembak ikan pendatang.
Hidup bersama sampah
Saya menyaksikan ikan-ikan ‘penguasa’ ini memamerkan kekuasaan. Di Dermaga Desa Sorowako dan Nuha, sapu-sapu berenang dan melompat di antara sampah plastik yang mengapung dan tenggelam. Ikan memamerkan gemericik air dari kibasan ekornya.
Air jernih danau membebaskan mata saya menyaksikan ikan itu memakan lumut yang menempel di kaleng minuman, di botol mineral, bongkahan besi, atau kayu lapuk.
Sepekan sebelumnya, pada 30 Maret, saya menyaksikan seremonial di pinggiran lain danau. Ratusan orang berkumpul menggelar Matano Clean. Komunitas Sorowako Diving Club (SDC) jadi bagian penting perhelatan. Beberapa orang pakai pakaian renang, lalu menceburkan diri masuk ke dalam air. Berkantung-kantung sampah plastik mereka angkat. Meski hanya punya waktu sekitar 30 menit.
Kegiatan berlangsung di kawasan wisata Pantai D, Pontada. Pesisir lain seperti dermaga, sampah-sampah menumpuk. Kolong-kolong rumah di badan danau juga jadi tempat penampungan sampah.
Weldi Purwanto, penghobi fotografer burung di Sorowako, mengirimkan saya beberapa foto yang memperlihatkan unggas itu mencari makan di antara sampah plastik. Foto lain, kupu-kupu yang mengisap mineral, bersama sampah gelas air kemasan.
Kini, warga hanya mampu menghitung kehilangan. Udang kecil mirip ebi, ketika air danau meluap jadi panganan penting setiap tahun. Kini raib. “Kalau dulu, harusnya sudah bulannya. Air danau naik, udang muncul,” kata Ongko.
“Dulu itu udang, ada pinggir danau. Kalau hanya mau satu ember sebentar sekali. Sendok pake timba. Sekarang, nda tau kemana mi,” katanya.
Kampanye sampah pada Maret dengan gunakan botol isi ulang mineral sendiri, atau membuang sampah di tempatnya, belum menjalar hingga ke pasar tradisional.
Sehari setelah pagelaran Matano Clean, saya berjalan-jalan ke pasar Sorowako. Seperti biasa, pembeli dan penjual berinteraksi. Cabai, sayur dan ikan masuk dalam kantong kresek. Rumah-rumah yang berdiri di badan danau, kali membuang sisa air dapur. Beberapa rumah juga memelihara ayam dengan kandang di atas danau.
Sebaran sampah di tepian Matano ini bukan hanya di perumahaan warga. Di belakang Mess Pemda Luwu Utara, yang berdiri di tepian danau pun terlihat semrawut. Dermaga tempat bersantai di bagian belakangan bangunan juga tak terawat. Tepian penuh sampah.
***
Sore itu, gerimis turun di perumahaan padat penduduk Desa Sorowako. Enam elang bondol bermain. Burung-burung itu terbang rendah di belakang rumah warga. Mereka meluncur dan menyambar ke permukaan air untuk menangkap ikan kecil. Berulang-ulang sekitar satu jam.
Bagi Sania, perempuan 57 tahun warga Sorowako, elang seperti itu pada 1970-1980 akhir merupakan hal lumrah.
Dia bilang, kalau danau mau bagus lagi, rumah-rumah di pinggiran harus pindah. Impiannya, di masa tua, hanya ingin memandang danau dari teras rumah. “Kalau sebelum saya mati itu bisa saya lihat, enak itu,” katanya.
Keterangan foto utama: Kondisi sekitar Dermaga Sorowako pada 2018, dengan sampah yang menutup. Tahun ini, masalah sampah belum teratasi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia