- Kasus pembakaran hutan gambut Rawa Tripa oleh PT. Kallista Alam memasuki babak baru. Setelah perusahaan kalah di pengadilan, giliran warga yang menggugat KLHK, meminta pengadilan membatalkan eksekusi.
- Gugatan atau perlawanan ekseskusi disampaikan sepuluh warga Pulo Kruet, Kecamatan Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yang mengatakan sekitar 600 hektar dari lahan bekas PT. Kallista Alam milik mereka.
- KLHK memastikan lahan yang diklaim milik warga di luar lahan perusahaan yang telah dicabut izinnya.
- Gugatan warga juga dinilai aneh karena meminta Majelis Hakim membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/Pdt.G/2012 tanggal 8 Januari 2014, yang memvonis PT. Kalista Alam bersalah. Diharuskan membayar denda serta biaya pemulihan lahan Rp366 miliar.
PT. Kallista Alam telah divonis bersalah, membakar lebih 1.000 hektar hutan gambut Rawa Tripa untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.
Namun, eksekusi bekas lahan perusahaan tersebut untuk direhabilitasi, seluas 1.605 hektar yang telah dicabut izinnya berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh No 525/BP2T/5078/2012 tertanggal 27 September 2012 dan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/pdt.G/2012/PN.MBO, harus tertunda. Mengapa?
Sepuluh masyarakat Desa Pulo Kruet, Kecamatan Suka Makmue, mengajukan perlawanan eksekusi ke Pengadilan Negeri Suka Makmue. Mereka adalah Teungku Ilyas, Abdul Rafar, Atip PA, M. Amin, Siti Hawa, Saini, Adnan, Mariana, Mariana, dan Musliadi.
Baca: Putusan Pengadilan Dieksekusi, Aset PT. Kallista Alam akan Dilelang
Dalam berkas perkara yang didaftarkan 2 Januari 2019 dengan Nomor Perkara: 1/Pdt.Bth/2019/PN.Skm, para penggugat meminta Majelis Hakim PN Suka Makmue menunda Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO tanggal 8 Januari 2014, yang saat ini masuk wewenang Pengadilan Negeri Suka Makmue, hingga gugatan perlawanan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Para penggugat yang diwakili penasehat hukum, Ibeng Syafruddin Rani juga meminta Majelis Hakim menyatakan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/Pdt.G/2012 tanggal 8 Januari 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh No. 50.PDT/2014/PT.BNA tanggal 15 Agustus 2014, Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 dan No. 1 PK/PDT/2017 tanggal 18 April 2017 bersifat non eksekutabel, tidak dapat dieksekusi.
Ibeng mengatakan, gugatan dilakukan karena sekitar 600 hektar lahan tersebut milik masyarakat [150 kepala keluarga]. Telah ada sertifikat, jauh sebelum terbakar.
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] saat melakukan gugatan terhadap PT. Kallista Alam tidak pernah melibatkan Badan Pertanahan Nasional [BPN] pengecekan lahan. Sehingga, lahan itu dianggap milik perusahaan,” terangnya.
Baca: Putusan Pengadilan Meulaboh Dibatalkan, PT. Kallista Alam Tetap Didenda 366 Miliar
Pada 29 Juli 2019, Majelis Hakim yang diketuai Arizal Anwar, dengan hakim anggota Edo Juniansyah dan Rosnainah, melakukan sidang lapangan di lahan gambut yang diklaim milik warga.
Di lokasi, Arizal mengatakan sidang hanya melihat batas dan apa yang jadi objek perkara, tidak melihat lahan milik siapa. Pelawan [masyarakat] dan terlawan [KLHK] diminta membuatkan sketsa lahan.
Setelah persidangan, seorang pelawan bernama Atip PA mengatakan, mereka menggugat KLHK karena menerima informasi lahan yang telah bersertifikat tersebut akan dieksekusi.
“Kami tentu menolak karena telah memiliki sertifikat sejak 2008. Bila yang dieksekusi bukan lahan kami, silakan saja,” ujarnya.
Salah alamat
Kasubdid Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan, Ditjen Gakkum KLHK, Shaifuddin Akbar mengatakan, perlawanan eksekusi masyarakat itu salah alamat. Lokasi yang ditunjuk warga di luar lahan 1.605 hektar yang disita dan akan direhabilitasi.
“Hasil perhitungan sementara kami, setelah melihat koordinat dan mencocokkan dengan peta, lahan yang ditunjuk warga dengan bekas perusahaan jaraknya lebih satu kilometer,” urainya.
Menurut Shaifuddin, lahan masyarakat itu sertifikatnya dikeluarkan 2008 melalui Proyek Operasi Nasional Agraria [prona]. “Kami telah sampaikan ke Majelis Hakim dan dalam persidangan lanjutan akan disampaikan fakta lahan tersebut memang di luar,” terangnya.
Terlawan Intervensi dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] yang diwakili Nurul Ihsan mengatakan, gugatan warga kurang tepat. Seharusnya, keberatan disampaikan saat KLHK menggugat PT. Kallista Alam ke Pengadilan Negeri Meulaboh, 2012 lalu.
“Mereka bisa mengajukan diri sebagai tergugat intervensi, bukan malah menggugat saat ini,” terangnya.
Gugatan juga agak aneh. Mereka meminta Majelis Hakim membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/Pdt.G/2012 tanggal 8 Januari 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh No. 50.PDT/2014/PT.BNA tanggal 15 Agustus 2014, Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 dan No. 1 PK/PDT/2017 tanggal 18 April 2017, tentang kewajiban perusahaan membayar denda serta biaya pemulihan lahan Rp366 miliar.
“Seharusnya, mereka meminta lahan dikeluarkan dari eksekusi. Bukan malah membatalkan putusan yang sudah ada,”
Pernyataan digugatan yang menerangkan warga telah menanam sawit sejak 2008 juga tidak masuk akal. Di lapangan terlihat, lahan ditumbuhi semak dan usia kelapa sawit juga sekitar tiga tahun.
“Semua yang kami temukan, termasuk lahan yang digugat warga di luar lahan eksekusi akan kami sampaikan di persidangan,” paparnya.