- Gubernur NTT berencana menutup Pulau Komodo dan merelokasi warga yang tinggal secara liar dan tidak memiliki sertifikat tanah di Pulau Komodo.
- Warga bersikeras menolak direlokasi sebab sudah turun temurun hidup berdampingan dan bersahabat dengan Komodo serta terlibat dalam konservasi TN Komodo.
- WALHI NTT menilai tujuan revitalisasi pulau Komodo tidak hanya soal konservasi, tetapi demi kepentingan pariwisata agar komodo bisa mempunyai nilai jual tinggi bagi wisatawan.
- WALHI menyarankan agar warga dilibatkan dalam konservasi Komodo karena terbukti telah hidup berdampingan dengan satwa purba itu sejak lama.
Publik di kabupaten Manggarai Barat termasuk warga pulau Komodo di wilayah Taman Nasional (TN) Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) terhenyak terkait adanya wacana konservasi pulau Komodo dan relokasi warga.
Wacana yang digulirkan sejak awal 2019 ini pun menuai pro dan kontra. Pasalnya, wacana itu diungkapkan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat tanpa ada dialog terlebih dahulu kepada masyarakat. Warga pulau Komodo kaget ketika mengetahui hal itu dari pemberitaan media.
Padahal warga pulau Komodo sejak dahulu selalu hidup berdampingan. Ardiansyah, warga pulau Komodo mengatakan karena ada pesan dari leluhur agar tidak mengganggu komodo karena dianggap saudara sendiri. Makanya, warga pulau ini tidak pernah melukai komodo meski memangsa hewan peliharaan warga seperti kambing.
“Kalau hewan kami dimangsa komodo kami tidak marah dan mengganggap mungkin komodo tersebut sedang lapar dan tidak mendapatkan mangsa,” jelas Adriansyah kepada Mongabay Indonesia, Jumat (26/7/2019).
Warga juga, tuturnya, tidak merasa ketakutan diserang komodo saat masuk hutan mencari kayu bakar, srikaya, asam dan madu.
baca : Ini Dampak Rencana Penutupan Pulau Komodo Bagi Warga dan Wisatawan

Kepentingan Pariwisata
Gubernur NTT menjelaskan selain kepentingan konservasi, relokasi warga di pulau Komodo dilakukan sebab warga di pulau ini tidak memiliki sertifikat tanah. Hal ini pun menjadi keinginan presiden juga.
“Mereka tidak mempunyai sertifikat dan presiden berkeinginan mereka memiliki sertifikat, mempunyai kepemilikan sendiri, sehingga mereka jadi warga negara yang jelas,” sebutnya kepada media Senin (22/7/2019) saat mendampingi menteri Pariwisata membuka International Boxing Tournament Piala Presiden ke-23
Penduduk di pulau Komodo, kata Viktor, hingga saat ini masih menetap secara liar dan tidak memiliki hak atas tanah. Dia sebutkan Presiden pun berharap warga mendapatkan hak atas tanah dan permasalahan ini sedang didiskusikan dengan pemerintah pusat.
baca juga : Demi Konservasi dan Wisata, Jokowi Minta Taman Nasional Komodo Ditata, Akankah Terlaksana?

Menanggapi hal itu, WALHI NTT dalam rilisnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis (1/8/2019), menilainya sebagai sebuah kekeliruan.
“Wacana relokasi masyarakat yang mendiami Pulau Komodo merupakan kekeliruan besar yang dilakukan oleh Gubernur NTT. Sebab relokasi tersebut tidak memiliki alasan kuat untuk diterima oleh public,” kata Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi,
Dari wacana itu, jelasnya, masyarakat akhirnya tahu tujuan revitalisasi pulau Komodo yaitu untuk kepentingan pariwisata yang menjadi mimpi besar Gubernur.
WALHI NTT menilai pernyataan Gubernur NTT keliru karena sesuai Permen LHK No.7/2016 menjelaskan bahwa unit pengelolahan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, berada di bawah tanggungjawab Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Dengan demikian, pemerintah daerah tidak dapat memutuskan apa yang akan terjadi pada TN Komodo,” kata Umbu Wulang.
Penutupan pulau komodo dilakukan rehabilitasi hutan dan mengembalikan populasi satwa buruan komodo. Penutupan juga bertujuan untuk menata taman bunga agar terlihat lebih indah. Alasan itu, lanjut Umbu, terlihat jelas tujuannya bukan untuk pelestarian komodo, tetapi menyiapkan komodo sebagai objek wisata.
baca juga : KLHK: Pengembangan Wisata Komodo Berprinsip Konservasi dan Libatkan Masyarakat, Benarkah?

Tidak Perlu Relokasi
Umbu menilai pernyataan Gubernur NTT bahwa warga Pulau Komodo merupakan penduduk liar merupakan hal yang keliru. Karena warga tidak memiliki hak milik tanah sebab Pulau Komodo berstatus taman nasional.
Padahal warga telah mendiami Pulau Komodo jauh sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, sehingga jelas Pulau Komodo merupakan hak ulayat masyarakat setempat.
“Jika gubernur merasa bahwa masyarakat tersebut tidak memiliki hak maka negara sudah sepatutnya mencabut status kawasan TN Komodo dari wilayah-wilayah yang selama ini menjadi pemukiman masyarakat di dalam kawasan itu,” sarannya.
Pelestarian Komodo menurut WALHI NTT, bisa dilakukan tanpa merelokasi masyarakat di Pulau komodo. Sebaliknya masyarakat sudah terlibat dalam konservasi Komodo karena telah turun temurun hidup berdampingan secara damai dengan Komodo. Dan mereka secara alamiah sudah menjadi ahli Komodo yang tahu karakter dan kebiasaan hidup hewan purba itu.
“Untuk wacana relokasi masyarakat yang hidup di pulau Komodo perlu dikaji lebih dalam,” pintanya.
Justru hal-hal yang mengganggu kelestarian komodo, tegas Umbu, bukan berasal dari masyarakat, tetapi datang dari luar Pulau Komodo.
Sedangkan Ardiansyah tegas mengatakan warga Pulau Komodo menolak wacana relokasi dan penutupan Pulau Komodo. Bahkan sejak lama warga mendukung langkah konservasi dan pariwisata di TN Komodo.
Baginya pembangunan pariwisata dan konservasi harusnya tidak merugikan masyarakat yang sejak turun temurun hidup di pulau Komodo. Warga pun beralih mencari pendapatan dari nelayan ke sektor pariwisata.
perlu dibaca : Pengamanan Komodo, Kementerian Lingkungan Perkuat Pengawasan Bersama

Ada Pembiaran
Maraknya pembangunan pariwisata dan target kunjungan wisatawan yang begitu tinggi berpotensi mengganggu kehidupan komodo. Dragon Komodo memiliki sifat soliter menjauhi keramaian atau, sehingga akan terusik bila ada keramaian.
Selain itu, tegas Umbu Wulang, maraknya penjualan komodo dapat menganggu kelestarian komodo. Penjualan komodo ini disinyalir melibatkan jaringan internasional.
“Perjualan komodo ini terjadi dari waktu ke waktu sehingga kita dapat menilai bahwa ada pembiaran terhadap aktivitas ini,” katanya. Adanya perdagangan komodo, sebut Umbu Wulang, membuktikan pengelola TN Komodo lalai dan tidak bertanggungjawab.
Keberadaan komodo sampai saat ini justru menjadi bukti masyarakat Pulau Komodo mampu hidup berdampingan bersama komodo. Sehingga tidak ada alasan kuat untuk merelokasi masyarakat.
“Masyarakat juga mampu menjaga kelestariannya. Kita tentu mendukung pelestarian komodo, tapi bukan model pelestarian yang memutuskan hubungan antara manusia dengan alam yang kita inginkan,” pungkasnya.
