- Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton memenangkan gugatan ikan mati massal di Kali Brantas. Tergugat adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Gubernur Jawa Timur.
- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu [18/12/2019] mengabulkan gugatan tersebut dengan nomor perkara 08/Pdt.G/2019/PN.Sby. Ketua Majelis Hakim, Anne Rusiana menyatakan pihak tergugat terbukti bersalah karena lalai mengelola dan mengawasi ekosistem Kali Brantas.
- Salah satu bunyi tuntutan yang dikabulkan majelis hakim adalah memerintahkan para tergugat meminta maaf kepada masyarakat Jawa Timur yang wilayahnya dilalui Kali Brantas.
- Sejak 2015 hingga sekarang, selalu ada kejadian ikan mati massal di Kali Brantas. Belum ada upaya serius pemerintah untuk menangani dan mencegah kejadian ini.
Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton [Ecological Observation and Wetlands Conservation] memenangkan gugatan kasus ikan mati massal di Kali Brantas. Tergugat adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Gubernur Jawa Timur.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu [18/12/2019], mengabulkan gugatan Ecoton dengan nomor perkara 08/Pdt.G/2019/PN.Sby. Ketua Majelis Hakim, Anne Rusiana menyatakan pihak tergugat terbukti bersalah. “Lalai mengelola dan mengawasi ekosistem Kali Brantas yang mengakibatkan ikan mati massal yang diduga akibat pencemaran,” ucapnya.
Baca: Kematian Ribuan Ikan Sungai Surabaya Akibat Limbah Kembali Terjadi
Kuasa hukum penggugat, Rulli Mustika Adya mengatakan, seluruh eksepsi para tergugat ditolak tanpa terkecuali oleh majelis hakim. Salah satu bunyi tuntutan yang dikabulkan majelis hakim adalah memerintahkan para tergugat meminta maaf kepada masyarakat Jawa Timur yang wilayahnya dilalui Kali Brantas, atas kelalaian pengelolaan dan dan pengawasan yang menimbulkan ikan mati setiap tahunnya.
“Pihak tergugat harus minta maaf kepada masyarakat di 15 kabupaten/kota yang dilalui DAS Brantas,” kata Rulli, Kamis [19/12/2019].
Pihak tergugat diperintahkan melakukan pemeriksaan independen terhadap Dinas Lingkungan Hidup [DLH] Provinsi maupun Kabupaten/Kota dengan melibatkan masyarakat, akademisi, konsultan lingkungan serta NGO pengelolaan lingkungan. Tergugat juga diminta mengelurkan peringatan terhadap industri, khususnya di DAS Brantas untuk mengolah limbah carinya sebelum dibuang ke sungai.
Dari putusan majelis hakim, kata Rulli, harusnya menjadi wahana bagi pemerintah untuk duduk bersama, membicarakan penanganan Kali Brantas. “Dari pertemuan dapat dilakukan perencanaan komprehensif.”
Namun, dari putusan ini, terdapat gugatan yang tidak dikabulkan yaitu pembuatan SOP khusus penanganan ikan mati massal, yang menurut majelis hakim berlebihan.
“SOP berupa peraturan bersama untuk menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai pencemaran sungai. Selama ini tidak ada orang dari pemerintah yang langsung datang saat laporan ikan mati. Ketika mereka datang memeriksa esoknya, banyak barang bukti hilang,” ujarnya.
Baca: Jangan Lagi Ada Ikan Arapaima di Sungai Brantas!
Program pemulihan
Selain permintaan maaf, sejumlah tuntutan yang diajukan Ecoton adalah para tergugat diminta memasukkan program pemulihan kualitas air Kali Brantas dalam APBN 2020. Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, sungai merupakan kawasan strategis nasional yang masuk dalam penganggaran APBN. Salah satunya adalah program Citarum Harum. Namun, Sungai Bengawan Solo dan Brantas di Jawa Timur, tidak masuk, padahal kondisinya juga memprihatinkan.
“Brantas ini bahan baku air minum. Kami menggugat karena ada kelalaian pemerintah,” paparnya.
Prigi menilai, penanganan Kali Brantas sampai saat ini terkesan lempar tanggung jawab. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR], Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], dan Gubernur Jawa Timur sama-sama mengaku tidak memiliki kewenangan, menyebut institusi lain yang bertanggung jawab.
“Ada ikan mati di 2015, 2016, 2017, 2018, bahkan 2019. Ada yang 4 kali, 5 kali, 6 kali, jadi setiap tahun ada peningkatan jumlah ikan mati massal. Tuntutan ini, agar kejadian tidak berulang, dicari penyebabnya.”
Baca juga: Sungai Brantas Makin Memprihatinkan
Para tergugat juga diminta melakukan pemasangan CCTV di setiap outlet DAS Brantas untuk meningkatkan fungsi pengawasan pembuang limbah cair. Para tergugat juga diharuskan memasang alat pemantau kualitas air [real time] untuk memudahkan pengawasan. “Selama ini masyarakat melaporkan ada pencemaran, namum begitu dilaporkan, diverifikasi, tidak ditemukan pencemaran, karena memang sudah tidak dibuang lagi,” jelasnya.
Ecoton, kata Prigi, menunggu tanggapan pihak tergugat. Semoga ada langkah serius pemerintah terkait penanganannya. “Kami menunggu dua minggu, karena itu waktu untuk pihak tergugat mempelajari. Kalau mereka menerima kami bersyukur, kalau banding akan kami ikuti. Tapi, dari pertimbangan hakim sudah jelas, dan bukt-bukti yang diajukan para tergugat hanya normatif. Tidak ada aksi konkrit,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang diwakili kuasa hukumnya, Kepala Biro Hukum Jempin Marbun, menyatakan banding dan akan menyiapkan materi kasus ini. Menurut Jempin, terdapat beberapa aspek yang diabaikan majelis hakim, seperti keterangan saksi ahli yang diajukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur saat persidangan.
“Faktanya, ikan-ikan di sungai itu teler [mabuk], bukan mati, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ini yang diabaikan majelis hakim, sehingga kami pilih banding,” tegasnya.