- Laut Natuna Utara yang dulu dikenal sebagai bagian dari Laut Cina Selatan, selama bertahun-tahun telah menjadi magnet yang memiliki daya tarik kuat bagi negara tetangga yang ada di sekitarnya, termasuk Tiongkok
- Sikap arogan yang diperlihatkan negara Asia Tenggara dan Tiongkok di Laut Natuna Utara, menjadi sumber konflik di kawasan perairan itu. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus memperlihatkan sikap yang tegas dan berani
- Dengan sikap tegas, Indonesia akan dilihat oleh negara yang terlibat konflik sebagai negara yang berani. Tetapi, untuk bisa bersikap seperti itu, perlu banyak upaya dan strategi yang harus diterapkan dan dilaksanakan oleh Indonesia
- Di sisi lain, dalam menyelesaikan konflik di Laut Natuna Utara, Pemerintah Indonesia juga tidak boleh melupakan peran masyarakat lokal yang menuntut perhatian dari Negara sejak lama. Tanpa pelibatan mereka, mustahil untuk bisa menghilangkan konflik horizontal selama proses tersebut
Potensi sumber daya alam yang besar di Laut Natuna Utara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, mengundang banyak negara untuk masuk dan memanfaatkannya. Meski pemanfaatan ilegal karena tidak ada izin dan persetujuan dari Pemerintah Indonesia, namun itu tak mengurangi semangat negara tetangga untuk masuk ke kawasan tersebut.
Laksana magnet yang memiliki daya tarik kuat, Laut Natuna Utara jadi primadona di kawasan Laut Cina Selatan. Itu kenapa, Tiongkok dan negara lain yang berbatasan langsung dengan perairan tersebut seolah berlomba untuk bisa berlayar di Laut Natuna dan mengambil kekayaan alam yang ada di dalamnya.
Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) memandang persoalan di Natuna menjadi sumber konflik di antara negara-negara Asia Tenggara dan juga Tiongkok. Selain luar biasa melimpahnya sumber daya perikanan, Laut Natuna Utara juga menyimpan potensi sumber daya alam lain seperti minyak dan gas (migas).
“Juga menjadi jalur utama perikanan global,” ungkap Ketua Harian ISKINDO Moh Abdi Suhufan dalam keterangan resmi yang diterima Mongabay, Senin (13/1/2020).
baca : Konflik Laut Natuna Utara, Bintang Utama di Laut Cina Selatan

Menurut Suhufan, dalam klaim Tiongkok terhadap sembilan garis putus (nine dash line) di Laut Cina Selatan, Indonesia sebenarnya tidak terlibat konflik secara langsung. Akan tetapi, sejak 2014 Tiongkok sudah mengirimkan misi ke Laut Cina Selatan untuk melakukan penelitian potensi sumber daya laut di Natuna dan sekaligus mengirimkan kapal ikan untuk menangkap ikan.
Upaya keras yang sudah dilakukan Tiongkok sejak lima tahun lalu itu, perlu perhatian ekstra dari Pemerintah Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia didesak untuk melakukan langkah-langkah yang tegas dalam menyikapi permasalahan yang sedang terjadi sekarang di Natuna.
Pertama, mendorong otoritas keamanan Indonesia untuk melakukan pengawasan intensif di perairan Natuna. Lembaga Negara seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla), Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP), dan TNI Angkatan Laut sebagai lembaga cadangan, perlu meningkatkan sistem pertahanan laut dan udara di Natuna.
Kedua, Pemerintah Indonesia harus bisa meningkatkan upaya penegakan hukum yang tegas kepada setiap pelanggar kedaulatan RI di Natuna yang dilakukan oleh kapal ikan asing (KIA). Dengan bersikap tegas, itu akan menjelaskan bahwa Indonesia punya hak berdaulat dan tidak bisa diintervensi oleh kekuatan apapun atas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
baca juga : Penguatan Industri Perikanan, Solusi untuk Natuna

Diplomasi
Ketiga, mendorong Pemerintah Indonesia untuk melakukan diplomasi dan strategi dalam menyikapi konflik di Laut Natuna Utara. Dalam hal ini, Kementerian Luar Negeri RI perlu secara aktif menyampaikan sikap dan kebijakan Indonesia terhadap permasalahan Laut Natuna pada dunia/forum Internasional.
Keempat, mendorong Pemerintah untuk segera mengisi kesenjangan (gap) dan sekaligus melakukan optimalisasi pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada di Natuna. Dari data yang dirilis KKP, Laut Natuna Utara yang menjadi bagian dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI 711, diketahui memiliki potensi ikan lestari hingga 767.000 ton. Tetapi, potensi lestari tersebut diketahui sudah dengan tingkat pemanfaatan yang tinggi.
Menurut Suhufan, di Laut Natuna Utara sekarang, ikan jenis tertentu seperti pelagis kecil, udang, dan kepiting sudah masuk kategori over eksploitasi. Kondisi itu membuat Pemerintah harus berhati-hati jika ingin terus mengembangkan Natuna sebagai salah satu magnet perikanan nasional.
“Ada 120 hingga 500 kapal ikan dan nelayan dari Pantura (Jawa Tengah) ke Natuna dan itu perlu didukung, namun dengan pertimbangan yang matang seperti memperhatikan kuota dan izin tangkap, penggunaan jenis alat tangkap dan sesuai dengan rencana pengelolaan perikanan yang sudah disusun oleh Pemerintah,” paparnya.
perlu dibaca : Penambahan Armada Kapal Ikan Jadi Solusi Menjaga Kedaulatan di Natuna

Langkah berikut yang harus dilakukan Pemerintah dalam menyikapi konflik di Natuna, adalah dengan mengoptimalkan sistem hub (pusat) logistik dan rantai dingin untuk industri perikanan. Saat ini di Natuna, terdapat sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) yang bisa berperan sebagai sistem hub logistik dan rantai dingin perikanan.
Dengan menjadikan SKPT Natuna sebagai sistem hub, Abdi Suhufan meyakini kegiatan perikanan di kabupaten paling utara di Indonesia itu bisa berjalan lebih efisien dibandingkan sekarang. Untuk itu, perlu dilakukan penambahan sarana dan prasarana SKPT yang masih belum ada dan sangat dibutuhkan untuk menciptakan industri perikanan yang baik.
Selain optimalisasi sistem hub, langkah keenam yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia, adalah menciptakan kerja sama lintas kementerian/lembaga dan dunia usaha untuk meningkatkan kapasitas nelayan, dan pembudi ddaya ikan hingga mencapai tingkat kesejahteraan yang diharapkan. Dukungan tersebut, juga akan memicu pembangunan sektor lain di Natuna, seperti pariwisata, migas, dan pertanian.
Ketujuh, langkah yang perlu dilakukan Pemerintah adalah dengan mendorong untuk melakukan riset kelautan terpadu di Natuna. Agar potensi yang ada di Natuna bisa terungkap detil, perlu ada program riset kelautan terpadu yang bisa mengungkap secara detil dengan menghitung potensi perikanan, mineral, gas, oseanografi yang ada di Laut Natuna.
perlu dibaca : SKPT Natuna, Pusat Ekonomi Baru di Ujung Utara Indonesia

Riset
Untuk melaksanakan kegiatan riset tersebut, Pemerintah perlu menggandeng lembaga riset seperti BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Pushidros (Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut), BRSDMKP (Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan), Balitbang ESDM (Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral) Kementerian ESDM.
Terakhir, ISKINDO mendesak agar Pemerintah Indonesia bisa segera mengeluarkan Peraturan Presiden RI tentang Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah Natunan dan Natuna Utara. Peraturan tersebut dinilai sangat penting karena menjadi landasan, arahan, dan strategi pemanfaatan ruang laut dan perairan di Natuna dan Natuna Utara.
“Sebagai kawasan perbatasan, peraturan tersebut bisa menjadi acuan bagi Pemerintah, swasta dan stakeholder lainnya untuk merencanakan kegiatan pembangunan dan investasi di wilayah tersebut,” pungkasnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, sikap reaktif Pemerintah Indonesia dalam menyikapi ancaman kedaulatan Negara di utara Laut Natuna, dinilai sebagai hal yang wajar dan lumrah. Menurut dia, Negara saat ini sedang berusaha untuk mencari kebijakan yang pas dan bisa menjaga wilayahnya di Natuna.
Akan tetapi, Halim menyebut rencana Pemerintah untuk mengirim banyak kapal ikan dan nelayan dari Pantura Jateng perlu untuk ditinjau kembali. Hal itu, karena dalam konteks pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, ada pengelolaan perikanan yang lebih sistematis dan terukur. “Bisa lima tahunan, sepuluh tahunan atau 20 tahunan,” jelasnya.
baca juga : Butuh Upaya Sangat Keras untuk Mengembangkan Industri Perikanan Natuna

Dengan mempertimbangkan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, Abdul Halim mengaku tidak kaget jika saat ini ada banyak nelayan di Natuna yang secara terang-terangan menolak kedatangan kapal ikan dan nelayan dari Pantura. Penolakan itu menjadi bentuk tuntutan mereka karena selama ini belum diperhatikan.
Untuk itu, Abdul Halim dalam menyusun rencana pengelolaan perikanan (RPP) di WPP RI 711 yang di dalamnya terdapat Laut Natuna Utara, Pemerintah melibatkan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Natuna, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri, KKP, Kementerian Perhubungan, dan instansi terkait lainnya.
“Dengan jalan inilah, penguasaan efektif melalui pemanfaatan sumber daya ikan di Laut Natuna Utara bakal berjalan lebih baik. Dalam konteks itu, kesejahteraan nelayan Natuna dan Kepri pada umumnya menjadi lebih mudah diraih,” ungkap dia.