- Menjaga hutan dan ekosistemnya bisa dilakukan dengan berbagai cara disesuaikan dengan kemampuan setiap manusia. Salah satunya, adalah melalui hasil jepretan kamera pewarta foto Regina Safri, salah satu pegiat perempuan yang fokus pada isu hutan dan satwa liar
- Dalam kurun waktu beberapa tahun ini, Regina berhasil menerbitkan dua buku yang fokus mengabadikan foto tentang Orangutan dan hutan. Kedua buku tersebut dihasilkan dengan melalui peliputan yang panjang di Kalimantan dan Sumatera
- Dengan pengalaman yang banyak sebagai pewarta foto, Regina Safri sering berbagi tips dan trik memotret objek di alam seperti hutan kepada sesama pewarta foto, baik yang amatir maupun yang profesional.
- Melalui pengabadian momen, Regina ingin menggaungkan kampanye penyelamatan hutan dan ekosistemnya, serta satwa liar yang ada di dalamnya. Tanpa kepedulian manusia, hutan dan satwa di dalamnya akan habis tanpa bersisa
Tubuhnya ramping. Kulitnya gelap, khas orang Indonesia yang disiram matahari selama setahun penuh. Dia adalah perempuan tangguh yang sanggup melewati rintangan dengan menembus hutan, mendaki gunung, sampai bermain lumpur.
Ketiga aktivitas tersebut selalu dilakukan Regina Safri saat sedang berburu gambar-gambar eksklusif untuk kampanye penyelamatan Orangutan. Kegiatan yang sangat menantang tersebut, memaksanya harus bisa bergerak aktif dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau ke pulau lain.
Saat berbincang dengan Mongabay pada Minggu (21/6/2020), perempuan 37 tahun tersebut bercerita tentang kesibukanya mengabadikan momen Orangutan di berbagai titik lokasi di dua pulau, Kalimantan dan Sumatera. Kegiatan tersebut sudah dilakoninya dalam beberapa tahun terakhir ini.
Ketekunannya saat memotret orangutan berbuah hasil yang manis, karena sudah ada beberapa buku yang diterbitkan. Dari beberapa buku tersebut, kegiatan yang dirasanya sangat menantang, adalah saat menyiapkan buku untuk “Orangutan Rhyme and Blues” dan “Before Too Late: Sumatera Forest Expedition.”
baca : Cerita Covid dan Corona, Anak Orangutan yang Selamat dari Perdagangan Satwa
Kedua buku tersebut diterbitkan pada 2012 dan 2019. Dari kedua terbitan tersebut, Regina mengaku mendapatkan banyak sekali pengalaman saat sedang memotret Orangutan. Pengalaman-pengalaman tersebut, diakuinya sebagai sesuatu yang sangat berharga karena ada di dalam hutan.
“Pernah ada di dalam hutan Sumatera selama delapan bulan. Pernah juga bolak balik ke dalam hutan Kalimantan selama tiga tahun,” ungkap dia saat mengisi Bincang Alam yang digelar Mongabay.
Sebagai seorang pewarta foto yang berpengalaman, Regina yang mengenyam pendidikan di UPN Veteran Yogyakarta selalu berusaha untuk berbagi tips dan trik saat mengabadikan momen foto kepada siapapun yang bertanya kepadanya.
Bagi dia, berbagi teknik atau tips dan trik menjadi kegiatan yang menyenangkan, karena itu akan membantu orang lain yang sedang ataupun ingin menekuni fotografi. Terlebih, karena pehobi fotografi memang ditantang untuk terus meningkatkan kemampuannya dalam mengabadikan momen gambar.
Perempuan yang akrab disapa Rere tersebut, juga berpikir hal yang sama. Meski sudah menjadi pewarta foto profesional dan pernah bekerja untuk Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, namun dia selalu merasa haus untuk terus belajar dan meningkatkan teknik fotografi yang dimilikinya.
baca juga : Musik untuk Penyelamatan Orangutan, Seperti Apa?
Efisiensi
Untuk kegiatan mengabadikan momen Orangutan, itu menjadi kegiatan jangka panjang yang dilakukan Rere dalam beberapa tahun terakhir. Kegiatan tersebut, tak hanya penuh tantangan, tapi juga dipaksa utnuk melakukannya dengan perencanaan yang matang dan tepat.
Dia mencontohkan, untuk melaksanakan peliputan foto di hutan Kalimantan dan Sumatera, dirinya harus melakukan riset mendalam jauh sebelum berangkat ke dalam hutan. Kegiatan riset harus dilakukan, selain untuk melengkapi kebutuhan data awal, juga sebagai siasat untuk menghemat keuangan dan juga materi lainnya.
“Dalam perencanaan, itu harus ada tema besar, pembabakan, riset, perencanaan waktu, perencanaan bujet, daftar alat yang dibutuhkan, daftar nara sumber yang dibutuhkan, dan menetapkan waktu deadline,” papar dia.
Rere mencontohkan, sebelum melaksanakan peliputan di hutan Sumatera, dirinya lebih dulu melakukan riset mendalam untuk mengetahui secara detail hutan Sumatera seperti apa. Dengan riset, bisa diketahui hutan Sumatera itu kategorinya apa dan bagaimana, serta apa yang harus dipersiapkan sebelum masuk ke dalam hutan.
Dengan melakukan riset, Rere merasa bisa melakukan persiapan dengan efisien dan cepat dan tidak ada waktu yang terbuang secara sia-sia. Melalui efisiensi yang didapatkan, itu juga akan mempercepat proses peliputan tanpa mengabaikan esensi yang sedang dituju sebagai tujuan akhir.
“Perencanaan waktu, perencanaan bujet, narsum, atau aku harus ke mana nih. Semuanya bisa tergambar jelas dan efisien,” jelas dia.
perlu dibaca : Orangutan Tapanuli dan 7 Fakta Uniknya
Contoh dari perencanaan yang matang, dirasakan Rere salah satunya saat akan masuk ke dalam hutan di Jambi. Saat itu, dia akan ikut tim yang akan melaksanakan pemasangan sistem pemosisi global (global positioning system/GPS) pada leher salah satu Gajah yang ada di dalam hutan di Jambi.
Pemasangan GPS dilakukan, karena saat itu sedang dilakukan penelurusan perjalanan Gajah-gajah liar yang ada di dalam hutan. Dengan informasi yang detail seperti itu, Rere mengaku bisa mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kegiatan memotret di dalam hutan.
“Jadi aku harus bisa memperkirakan, sudah kususun juga, jadi pemasangan GPS di dalam hutan itu (waktunya) bisa menghabiskan sekitar tiga hari. Jadi aku harus spare waktu seminggu. Perjalanan menuju hutan juga sangat lama, itu waktunya harus dipertimbangkan,” ucap dia.
Eksplorasi
Setelah memiliki persiapan yang matang dan efisien, kegiatan memotret akan bisa dilakukan dengan nyaman dan tenang. Bahkan, karena sudah terencana dengan baik, mengabadikan momen jadi punya waktu dan ide lebih banyak lagi.
Dan itu yang dirasakan Rere saat akan memotret Gajah liar di dalam hutan di Jambi. Saat itu, dia yang sudah siap memotret proses pemasangan GPS pada seekor Gajah, tiba-tiba melihat seekor bayi Gajah yang bersembunyi di antara kaki Gajah yang akan dipasang GPS.
“Ternyata itu adalah induk Gajah. Jadi itu adalah momen unpredictable,” sebut dia.
menarik dibaca : Agar Tidak Konflik, Gajah Liar di TNBBS Dikalungi GPS Collar
Dengan mengeksplorasi hutan di Sumatera, kepedulian perempuan tersebut pada hutan dan sumber daya alam semakin tinggi. Melalui matanya sendiri, dia menyaksikan bagaimana hutan-hutan di Sumatera sudah mulai rusak dan beralih fungsi menjadi kawasan komersial ataupun perkebunan sawit.
Kerusakan yang semakin parah di hutan Sumatera, bagi Rere tak ubahnya seperti mendekatkan kiamat ke muka bumi yang sengaja didatangkan oleh manusia. Gambaran tersebut menjelaskan bahwa kondisi hutan dan sumber daya alam di Sumatera memang semakin memprihatinkan dari waktu ke waktu.
Bagi Rere, hutan bisa semakin rusak karena aktivitas penebangan pohon secara ilegal semakin meluas dan sulit untuk dicegah, juga perburuan hewan hutan yang semakin liar dan tak bisa dihentikan. Aktivitas-aktivitas seperti itu, tak hanya akan merusak ekosistem yang ada di dalam hutan saja, namun juga akan mengancam keberlangsungan hidup hewan yang ada di hutan.
“Ekosistem hutan menjadi tidak seimbang. Itu akan semakin parah, karena banyak aktivitas untuk membuka lahan dengan cara membakar hutan. Akibatnya, ekosistem rusak dan satwa hutan juga akan terancam mati karena habitatnya dihancurkan,” tegas dia.
Dalam sebuah kesempatan di Yogyakarta pada 2019, Rere mengatakan bahwa dalam sepuluh tahun ke depan Gajah akan punah jika kondisi di hutan tetap dibiarkan seperti sekarang. Tanpa ada upaya perlindungan dan campur tangan dari Negara, dia pesimis satwa-satwa yang habitatnya ada di dalam hutan Sumatera, akan bisa bertahan dengan baik.
Diketahui, dalam catatan Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), jumlah populasi gajah saat ini terus menurun karena sedikitnya ada 150 gajah yang mati dalam kurun waktu empat tahun antara 2012-2016. Pada 1985, populasi Gajah Sumatera ada di kisaran 2.800-4.800 individu dan menurun tajam menjadi kisaran 1.700-2.000 individu pada 2014.
“Padahal gajah itu salah satu hewan yang membuka kehidupan di hutan, ia membuka jalan semak yang memungkinkan organisme lain tumbuh dan berkembang,” kata dia.