- Seekor gajah betina berumur 30 tahun di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dikalungi Global Positioning System [GPS] collar.
- Bunga, gajah tersebut, merupakan bagian dari kelompok gajah liar yang pada Senin [27/4/2020] dan Jumat [08/5/2020] keluar dari kawasan TNBBS.
- Bunga bukan satu-satunya gajah liar yang dipasang GPS collar. Sebelumnya ada Citra, gajah liar betina 30 tahun dari Kelompok 9 Pemerihan, Lampung.
- Pemasangan GPS collar akan memudahkan penanganan konflik, paling standar mendeteksi dini peluang kejadian tersebut. Alat ini merupakan pelacak bebasis sistem navigasi satelit yang dapat memantau pergerakan gajah.
Bunga, gajah betina berumur 30 tahun di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dikalungi Global Positioning System [GPS] collar. Alat ini merupakan pelacak bebasis sistem navigasi satelit.
Gajah ini bagian dari kelompok gajah liar, yang pada Senin [27/4/2020] dan Jumat [08/5/2020] keluar dari kawasan TNBBS.
“Kelompok gajah sebanyak 12 individu ini sering keluar masuk TNBBS. Kejadian Senin itu membuat tim harus menggiringnya pulang hampir 10 hari,” kata Siti Muksidah, Kepala Bidang Wilayah I Semaka, Balai Besar TNBBS kepada Mongabay Indonesia, Rabu [13/5/2020].
Namun, pada Jumat [08/5/2020] kelompok ini kembali terpantau keluar taman nasional. Dengan sigap, tim menggiring kembali ke TNBBS.
“Hutan lindung di sekitar TNBBS memang idola kelompok gajah liar ini. Alasannya, banyak makanan kesukaan mereka. Akan tetapi, hutan di sekitarnya banyak izin pengelolaan hutan lindung sehingga rentan terjadi konflik dengan manusia di sana,” kata dia.
Baca: Berbagi Ruang, Kawanan Gajah Liar Tidak Lagi Resahkan Warga Pemerihan

Pemasangan alat pelacak
Atas kejadian tersebut, pihak TNBBS menyepakati pemasangan GPS collar untuk kawanan gajah itu. Pemasangan dipimpin Ketua Forum Mahout [pelatih gajah] Nazaruddin, dibantu tim Elephant Response Unit [ERU], Polisi Hutan [Polhut], WCS-Indonesia, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung [KPHL] IX, dan Satuan Tugas Hutan Kemasyarakatan.
“Ini upaya memantau pergerakan, dengan begitu bisa dilakukan mitigasi konflik atau peringatan dini,” lanjut Siti.
Pemasangan alat bukan hal mudah. Sebelumnya, tim harus survei. “Tim harus mengindentifikasi gajah betina mana yang dominan, ada beberapa jumlahnya dalam kelompok itu,” terangnya.
Berikutnya, tim mempersiapkan peralatan dan perlengkapan, seperti GPS collar, petasan, GPS, kamera, senjata bius, dan obat-obatan. Kemudian tim bergerak ke posisi kelompok gajah di daerah Talang 25 [Selawe].
Tim memecah kelompok gajah untuk melakukan pembiusan, utamanya pimpinan kawanan. Ada tiga tim yang terlibat dalam pemasangan GPS.
Tim pertama bagian eksekusi, membawa senjata bius. Mereka yang paling dekat posisinya dengan gajah incaran. Penembakan bius dilakukan Nazaruddin, Koordinator Mahout Se-Indonesia. Dia juga penggagas berdirinya ERU, tim yang melatih gajah untuk membantu warga menghalau gajah liar yang ingin masuk lahan pertanian.
Tim kedua adalah pengamanan, dari pihak polisi hutan dan dokter hewan yang menunggu dari jarak agak jauh. Mereka membawa peralatan tali dan GPS. Tim ketiga bagian logistik, membawa konsumsi.
“Gajah liar yang dibius itu Bunga. GPS collar dipasang di lehernya. Beratnya 2,5 ton dan tingginya 219 sentimeter,” lanjut Siti.
Baca: Konflik Gajah Masih Terjadi di Lampung, Apa Solusinya?

Mudah memantau
Bunga bukan satu-satunya gajah liar yang dipasang alat pelacak. Sebelumnya ada Citra, gajah liar betina 30 tahun dari Kelompok 9 Pemerihan, Kecamatan Bangkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Selain itu, ada beberapa kelompok gajah liar lain yang diharapkan bisa dipasang alat pelacak bebasis sistem navigasi satelit itu.
“Pemasangan alat akan memudahkan penanganan konflik, paling standar mendeteksi dini peluang kejadian tersebut,” urainya.
GPS collar diatur dengan interval transmisi sinyal per satu jam, sehingga dapat dimonitor melalui web application yang menampilkan posisi dan riwayat pergerakan gajah. Data yang ditampilkan real time dalam bentuk 3 dimensi.
“Saat ini kami sering memantau setiap jam 10 pagi dan jam 4 sore. Bila tidak terlalu sibuk, setiap saat kami lihat,” tegasnya.
Sementara itu, melalui keterangan tertulis, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati [KKH] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Indra Exploitasia berharap, GPS collar ini dapat bekerja baik. Dengan begitu dapat memantau pergerakan kelompok gajah dalam jalur jelajahnya.
“Apabila keluar jalur, penanganan dapat segera dilakukan sebelum terjadi interaksi antara manusia dengan satwa,” paparnya.

TNBBS berada di Provinsi Lampung dan Bengkulu dengan luas 355.511 hektar. Taman nasional ini merupakan bentang alami tempat hidupnya gajah sumatera [Elephas maximus sumatrensis], harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], dan badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis]. Ekosistem alami membentang di kawasan konservasi ini dengan tipe vegetasi berupa hutan mangrove, hutan pantai, hutan pamah tropika, dan hutan pegunungan.