- Vincentius Hartono, petani Koperasi KSP Karya Mandiri mengatakan, tak bisa lagi bergantung pemasukan sawit. Dia sudah sejak lama memutuskan ternak ayam, ikan, menanam jeruk dan berdagang.
- Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) 2018, hanya ada 30% petani memiliki mata pencaharian alternatif, mulai dari pengolahan, penanaman karet dan pedagang kecil. Kondisi ini mendorong masyarakat konversi lahan mereka jadi perkebunan sawit. Kondisi ini menyebabkan banyak petani tak memiliki sumber pendapatan lain, hanya mengandalkan minyak sawit.
- Rukaiyah Rafik, penasihat senior Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) menyebutkan, dampak COVID-19 pada petani menyebabkan harga TBS rendah, harga pupuk tinggi sementara kegiatan ekonomi, seperti pabrik sawit dan kegiatan manufaktur berjalan lamban.
- Harga sawit turun naik tak hanya di masa COVID-19. Kondisi ini, karena sawit hampir 80% bergantung ekspor menyebabkan kalau terjadi gejolak pasar global, dalam negeri berdampak.
Vincentius Hartono, petani Koperasi KSP Karya Mandiri, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi mengatakan, dalam masa pandemi ini terjadi penurunan harga tandan buah segar (TBS), jadi antara harga Rp1.300-Rp1.500 per kg, padahal biasa minimal Rp1.500 per kg.
“Hasil produksi TBS selama pandemi produksi menurun hingga 50% karena pengaruh iklim tahun lalu yang terlalu panjang,” katanya kepada Mongabay.
Dia bersyukur, meskipun harga sawit turun, masih bisa memenuhi keperluan rumah tangga karena luas kebun sekitar 10 hektar dan punya usaha sampingan.
“Buat beberapa teman yang hanya punya dua hektar itu pontang-panting rasanya. Apalagi, banyak pabrik yang mengurangi jam operasional.”
Dia bilang, kalau bergantung dari pemasukan sawit tidak bisa lagi. Vincent sudah sejak lama memutuskan ternak ayam, ikan, menanam jeruk dan berdagang.
Saat ini, katanya, petani sawit swadaya membutuhkan biaya untuk pupuk sangat besar. Mereka juga perlu pemberdayaan petani untuk memiliki usaha sampingan di luar sawit.
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia sudah berlangsung sejak awal Maret lalu. Ada pembatasan sosial berskala besar di berbagai wilayah. Situasi ini berdampak pada pendapatan petani kecil sawit swadaya. Petani kesulitan karena pabrik sawit dan manufaktur berjalan lamban, sedang biaya operasional mereka tetap tinggi.
Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) 2018, hanya ada 30% petani memiliki mata pencaharian alternatif, mulai dari pengolahan, penanaman karet dan pedagang kecil. Kondisi ini mendorong masyarakat konversi lahan mereka jadi perkebunan sawit.
Kondisi ini, menyebabkan banyak petani tak memiliki sumber pendapatan lain, hanya mengandalkan minyak sawit.
Rukaiyah Rafik, penasihat senior Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) menyebutkan, dampak COVID-19 pada petani menyebabkan harga TBS rendah, harga pupuk tinggi sementara kegiatan ekonomi, seperti pabrik sawit dan kegiatan manufaktur berjalan lamban.
“Banyak petani swadaya tidak memiliki sarana mengangkut TBS mereka ke pabrik hingga mereka bergantung pada ‘perantara’ atau bisnis perantara untuk menyediakan layanan ini,” katanya.
Pembatasan pergerakan karena COVID-19 ini berdampak pada petani dan sumber mata pencaharian utama mereka. Mereka tak dapat menjual atau mengangkut TBS ke pembeli.
Menurut Rukaiyah, masa pandemi ini juga mempengaruhi setok pupuk dan input untuk perkebunan petani dan harga keperluan sehari-hari.
Mansuetus Darto, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, selama masa pandemi, harga TBS sempat turun di bawah Rp1.000 atau US$0,07 per kilogram di tingkat petani swadaya. Harga TBS petani plasma atau yang bermitra dengan perusahaan Rp1.200-Rp1.300 atau US$0,08-0,09 per kg.
”Harga di bawah Rp1.100 itu sangat sulit bagi petani yang sudah berkeluarga untuk membayar pendidikan dan biaya kehidupan lain. Produktivitas yang rendah antara 1-1,2 ton per hektar per bulan dan menjual melalui perantara.
Mereka juga sering memiliki beban utang kepada para tengkulak karena pinjaman dan harus dilunasi saat panen tiba. Keadaan, katanya, kian terpuruk karena ada kenaikan harga pupuk, bahkan kadang-kadang langka.
Harga sawit turun naik tak hanya di masa COVID-19. Kondisi ini, karena sawit hampir 80% bergantung ekspor menyebabkan kalau terjadi gejolak pasar global, dalam negeri berdampak.
Sawit. Masa pandemi, hidup petani sawit makin sulit. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Petani penting berkelompok
Zainanto Hari Widodo, perwakilan petani dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Independen mengatakan, tidak ada bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah yang fokus pada petani sawit.
“Sebagai petani bersertifikat RSPO, kami mendapatkan bantuan makanan pokok dan pupuk untuk anggota kami,” katanya.
Rukaiyah mengatakan, petani bersertifikat RSPO memiliki lembaga dan jaringan kuat dalam mendukung perkebunan dengan standar akuntabilitas. “Petani juga memiliki ragam bisnis atau tanaman lain selama pandemi yang mendukung mata pencaharian mereka.”
Petani yang terdampak tak dapat bantuan malah pemerintah menggulirkan subsidi dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk industri biodiesel (B30) melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) Rp2,78 triliun setara US$195 juta.
”Perusahaan sawit selalu diberikan kemudahan oleh subsidi pemerintah. Saat (industri biodiesel-red) mendapatkan dampak dari COVID-19 mereka meminta subsidi dari pemerintah. Sementara itu, situasi yang memperihatinkan harusnya yang ditolong adalah petani sawit,” katanya.
Jumadi, perwakilan petani dari UD Lestari, Sumatera Utara mengatakan, dampak COVID-19 terhadap kehidupan dan keluarga para petani sawit sangat terasa. Rasa takut dan khawatir petani dan keluarga saat beraktivitas di luar rumah.
Harga TBS juga turun selama pandemi. Padahal sawit, kata Jumadi, sumber utama penghasilan petani.
“Untuk bantuan ya, perhatian pemerintah lokal terhadap petani sangat besar, banyak bantuan yang diterima petani terutama yang masuk kategori kurang mampu.”
Dia bilang, hampir empat tahun bersertifikat RSPO, atau sejak 14 Juli 2017, manfaat cukup banyak, seperti mendapat tambahan wawasan tentang berkebun sawit lestari dan dapatkan tambahan harga dari penjualan TBS bersertifikat.
Perlindungan buruh perkebunan sawit
Selain perlindungan terhadap petani, Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch menyebutkan, pemerintah seharusnya melihat kalau buruh perkebunan penting dapat dukungan kebijakan.
Namun, katanya, saat ini pemerintah banyak memberi dukungan terhadap industri lewat, revitalisasi perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi khusus, pengembangan biodiesel hingga lobi negara-negara konsumen.
Dia menyayangkan, upaya itu tak diikuti kebijakan perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh perkebunan sawit.
Sawit Watch mendesak RUU Buruh Perkebunan/Pertanian masuk dalam prolegnas 2021. “Pemerintah selama ini lebih banyak menerbitkan kebijakan untuk pelaku industri sawit, tapi minim untuk perlindungan buruh.”
Slamet Ariyadi, anggota Komisi IV DPR mengatakan, mayoritas pekerja perkebunan sawit adalah buruh harian lepas dengan segala ketidakpastian kerja, besaran upah dan perlindungan kerja.
Dia mengatakan, sebagai upaya melindungi buruh perkebunan, DPR menginisiasi RUU Perlindungan Buruh Perkebunan.
“Aturan ini diharapkan dapat membenahi database buruh pertanian dan perkebunan yang komprehensif dan terintegrasi dengan basis data kementerian terkait.”
RUU itu, katanya, bertujuan melindungi buruh perkebunan dengan jaminan kepastian kerja, pengupahan berbasis kebutuhan pokok, perlindungan K3 dan perlindungan perempuan dan anak.
Fajar Wisnu Wardani, tenaga Ahli Utama Kedeputian III Kantor Staf Presiden mengatakan, rencana aksi nasional sawit berkelanjutan (RAN-SB) tak spesifik berbicara tentang aspek ketenagakerjaan.
“Tantangan terbesar di sektor perkebunan sawit adalah pengawasan. Mekanisme buyer dapat jadi salah satu strategi pengawasan, ini sekarang jadi model di industri manufaktur.”
Keterangan foto utama: Pekerja angkut sawit. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia