- Kebakaran hutan dan lahan antara lain didorong oleh ulah pemain politik baik di pusat maupun daerah. Terjadi tawar menawar politik hingga tata kelola buruk dan mendorong masalah, seperti kebakaran hutan dan lahan.
- Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor merujuk pada survei Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018 dan menemukan fakta, kebijakan sudah dibeli dari proses pencalonan baik kepala daerah maupun presiden.
- Survei KPK menemukan, setidaknya ada tujuh harapan donatur pencalonan kontestasi politik kepada calon kepala daerah, yakni, kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan, juga kemudahan akses menjabat di pemerintah daerah/BUMD. Kemudian, kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah, keamanan dalam menjalankan bisnis yang ada, mendapatkan akses menentukan kebijakan.peraturan daerah. Lalu, mendapatkan bantuan untuk kegiatan sosial hingga mendapatkan bantuan untuk bantuan sosial atau hibah.
- Soeryo Adiwibowo, Dosen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor menyebut, selama ini krisis ekologi dipandang akibat dari pengetahuan, pendidikan, kesadaran lingkungan dan pendapatan masyarakat rendah. Di Indonesia, krisis ekologi ini mulai dari orientasi dan motif ekonomi politik dalam mengakses sumber-sumber alam.
Kebakaran hutan dan lahan terjadi bukan hanya karena ulah perusahaan pemegang izin konsesi atau masyarakat. Kalau melihat lebih dalam lagi, ini juga ulah pemain politik baik di pusat maupun daerah. Terjadi tawar menawar politik hingga tata kelola buruk dan mendorong masalah, seperti kebakaran hutan dan lahan. Demikian dikatakan Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dalam webinar bertajuk Ekologi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan yang dihelat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), akhir Juli lalu.
Dia sebutkan, masalah karhutla muncul berawal ketika tata kelola sumber daya alam dan kehutanan yang baik terganjal proses politik.
Baca: Atasi Karhutla di Masa Pandemi, Perlu Peran Semua Pihak
Hariadi mengacu pada survei Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018 dan menemukan fakta, kebijakan sudah dibeli dari proses pencalonan baik kepala daerah maupun presiden.
“Korupsi bukan hanya memperlancar (perizinan), tapi ikut agar izin diberikan dan masuk dalam keputusan di pemerintahan. Mulai dari pilkada, capres, ada bargaining politic. Itu sebabnya tata kelola yang baik tidak jalan,” katanya.
Dalam survei itu, setidaknya ada tujuh harapan donatur pencalonan kontestasi politik kepada calon kepala daerah, yakni, kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan, juga kemudahan akses menjabat di pemerintah daerah/BUMD. Kemudian, kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah, keamanan dalam menjalankan bisnis yang ada, mendapatkan akses menentukan kebijakan.peraturan daerah. Lalu, mendapatkan bantuan untuk kegiatan sosial hingga mendapatkan bantuan untuk bantuan sosial atau hibah.
“Nah, kemudian saya pastikan implikasi dari pemerintahan seperti ini, orang akan bisa bangun sawit seenaknya, orang membangun melebihi luas HGU (hak guna usaha-red)-nya, hingga jadi ada pembakaran di lokasi di luar izin,” katanya.
Hariadi beri contoh di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Tata kelola rendah di kawasan itu, jadi penyebab karhutla. Kalau ditelisik lebih jauh, kontestasi kekuasaan di lapangan jadi penyebab pengendalian dilakukan beberapa kelompok di sana.
Berdasarkan catatan dia, merujuk pada kriteria pemodal atau cukong sebagai individu yang menguasai lebih dari 25 hektar kebun sawit, di TNTN ada 150 area kepemilikan sawit teridentifikasi, dengan 64 konsesi eks HPH PT Hutani Sola Lestari dan 36 area eks PT Siak Raya Timber.
Para kelompok ini yang merambah dan menyebabkan deforestasi TNTN. “Di lokasi konversi hutan untuk kebun sawit inilah terdapat sebaran titik api. Semua ini, ada sambung-menyambung persoalan mulai dari donatur kepala daerah dalam pilkada, hingga backup elit dan aparat keamanan kepada koordinator lapangan di sana.”
Baca: Rusaknya Ekosistem dan Keragaman Hayati Akibat Karhutla
Tak hanya dalam perizinan dan praktik di lapangan, politik juga memengaruhi proses penyelesaian kasus karhutla. Masalah ini bisa terlihat dari tidak ada eksekusi segera terhadap perusahaan yang vonis bersalah oleh pengadilan.
“Persoalan-persoalan hukum seperti itu tidak bisa lepas dari kepentingan kontestasi kepentingan dan kekuasaan. Ada hambatan politik yang membuat eksekusi atau denda perusahaan tidak segera dilaksanakan,” kata Hariadi.
Hambatan-hambatan itu, katanya, seringkali membuat beberapa kasus dan pelanggaran tidak masuk ke ranah pengadilan. Kondisi ini juga dipengaruhi transaksi politik sejak awal.
Penyandang dana
Selain masalah politik, karhutla di Indonesia juga tidak lepas dari penyandang dana. Sayangnya, kata Hariadi, beberapa penyandang dana dan penjaminan pada perusahaan ini justru badan usaha milik negara (BUMN).
Mengutip data dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Hariadi melihat BUMN itu adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia hingga Bank Mandiri. “Tidak mudah juga menghentikan pendanaan kalau yang didanai memiliki masalah pada lingkungan,” katanya.
Hal ini, kata Hariadi, sebenarnya bisa dicegah asal implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13/2018 berjalan baik. Aturan ini tentang penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme berjalan baik.
Perpres ini pada prinsipnya mendesak transparansi pemilik manfaat dari suatu korporasi (beneficial ownership).
KLHK, katanya, perlu mendukung pengintegrasian lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, untuk pemetaan pembiayaan serta penegakan hukum.
“Supaya kita bisa supervisi efektif dan memitigasi risiko sistemik pencemar dan perusak lingkungan hidup dari perkembangan investasi.”
Krisis ekologi
Karhutla sebagai penyumbang krisis ekologi, merupakan satu hubungan sebab-akibat. Keduanya terjadi karena ketidakseimbangan relasi kuasa antara daerah dan pusat dalam akses sumber alam dan lingkungan hidup.
Soeryo Adiwibowo, Dosen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor menyebut, selama ini krisis ekologi dipandang akibat dari pengetahuan, pendidikan, kesadaran lingkungan dan pendapatan masyarakat rendah. Di Indonesia, katanya, krisis ekologi ini mulai dari orientasi dan motif ekonomi politik dalam mengakses sumber-sumber alam.
“Ada juga masalah kelembagaan seperti kebijakan ekonomi eksploitatif, hak penguasaan sumberdaya alam oleh negara hingga korupsi yang menyebabkan krisis ekologi di Indonesia,” katanya,
Selain itu, kata Bowo, krisis ekologi di Indonesia fakta banyak karena tata pengaturan lemah atau weak governance dan rezim penguasaan sumber daya alam milik bersama tak jelas. Semua itu, katanya, menyebabkan ketidakpastian hak-hak kepemilikan pada masyarakat.
Paradigma pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan juga bias pada otoritas kelembagaan pemerintah. “Ketimbang pada kemampuan rakyat hingga bias pula otoritas ilmu pengetahuan modern ketimbang pada ilmu pengetahuan lokal.”
Agustaviano Sofjan, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri mengatakan, Indonesia kerap dikritik tuai krisis karena karhutla. Kondisi ini, tak lepas dari identitas Indonesia sebagai negara kaya keragaman hayati.
Ada beberapa komitmen internasional sudah dibuat pemerintah untuk memastikan keseriusan menangani lingkungan dan karhutla. Salah satu, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 29% pada 2030 sebagaimana dalam dokumen National Determined Contribution Indonesia.
Dia bilang, deforestasi Indonesia beberapa tahun belakangan ini mulai turun. Deforestasi Indonesia pada 2000-2010 mencapai 713.000 hektar pertahun, menurun jadi 85.700 hektar pertahun periode 2010-2020.
“Dari global forest resources assessment 2020, deforestasi kita memang tinggi sekali, tapi ada pengakuan dari internasional termasuk dari repor ini yang sebut penurunan signifikan terjadi di Indonesia. Itu semua karena ada kebijakan-kebijakan konsisten atasi karhutla.”