- Pulau Enggano merupakan daerah yang terluas terbakar di Provinsi Bengkulu.
- Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu menunjukkan, hutan yang terbakar mencapai 32 hektar dan perkebunan 100 hektar, dari luasan pulau 39.700 hektar.
- Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup [PPLH] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutananan [DLHK] Bengkulu, David Gusman mengatakan, di Bengkulu dua bulan terakhir, terpantau dari satelit 117 titik lahan dan hutan terbakar.
- LIPI memiliki data dampak kebakaran hutan di Kalimantan pada 1998. Hasilnya, 90 persen jumlah pohon per hektar atau mencapai 240 pohon mati akibat kebakaran. Mengacu kebakaran tersebut, bisa saja kebakaran hutan dan lahan [karhutla] 2019 ini berpotensi menyebabkan 95 persen jenis tumbuhan terbakar dan mengalami kekeringan.
Hujan begitu dinanti di Pulau Enggano. Matahari masih terik, rumput dan ilalang mengering bersama dedaunan.
“Kami menunggu hujan, agar hutan kembali basah dan tidak lagi terbakar,” kata Kepala Suku Kaitora, Muhamad Raflizen Kaitora, Senin [07/10/2019].
Pulau Enggano merupakan daerah yang terluas terbakar di Provinsi Bengkulu. Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu menunjukkan, hutan yang terbakar mencapai 32 hektar dan perkebunan 100 hektar, dari luasan pulau 39.700 hektar.
Angka ini kecil bila dibandingkan dengan luasan lahan terbakar di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
“Kebakaran hutan ya tetap merugikan. Apalagi terjadi di pulau kecil dan di tengah lautan ini, tidak ada mobil pemadam,” lanjut Rafli.
Baca: Hanya di Enggano, Ular Istimewa Ini Hidup
Dia menjelaskan, peran hutan bagi masyarakat Enggano begitu penting. Hutan menjadi penyangga pulau yang berada di Samudra Hindia, selain bermanfaat mengurangi pengikisan karena ombak.
“Kami mengecam pembakar hutan yang berakibat rusaknya ekosistem pulau. Masyarakat memadamkan api secara manual, dibantu petugas BPBD dan TNI,” kata dia.
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup [PPLH] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutananan [DLHK] Bengkulu, David Gusman mengatakan, di Bengkulu dua bulan terakhir, terpantau dari satelit 117 titik lahan dan hutan terbakar.
“Pada Agustus ada 52 titik dan September sebanyak 65 titik,” kata David.
Wilayah yang terbakar adalah Kabupaten Kaur, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Rejang Lebong, Bengkulu Tengah, Mukomuko, Lebong dan Seluma, dan Kapahiang.
Baca: Foto: Enggano dalam Bingkai Herpetofauna
Ekosistem rusak
Kebakaran hutan dan lahan [karhutla] yang terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan berdampak serius pada ekosistem beserta keanekaragaman hayati.
Kerusakan paling nyata terjadi di enam provinsi yang paling banyak terbakar. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] pada 3 Oktober 2019 menunjukkan, luasan terbakar di Provinsi Riau [49.266 ha/September], Jambi [11.022 ha/September], Sumatera Selatan [11.826 ha/September], Kalimantan Barat [25.900 ha/September], Kalimantan Tengah [44.769 ha/September] dan Kalimantan Selatan [19.490 ha/September].
“Angka luasan bisa bertambah, kami lagi menunggu data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK],” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo, Senin [07/10/2019].
Baca: Spesies Baru dan Catatan Penting Hasil Ekspedisi Enggano
Ahli Biologi, Ekologi dan Evolusi dari Lembaga Penelitian Indonesia [LIPI], Joeni Setijo Rahajoe mengaku sedih terjadinya kebakaran. Apalagi terjadi di dua pulau besar, Sumatera dan Kalimantan, yang menjadi rumah besar flora dan fauna.
“Ini cukup, semua pihak harus menahan annual forest fire, ini merugikan sekali,” terang Joeni, Senin [07/10/2019].
LIPI mencatat, di Pulau Sumatera ada 8.931 jenis flora dan Kalimantan memiliki 9.956 jenis flora. Belum lagi yang endemik, kedua pulau ini begitu berharga, di Sumatera [1.891 jenis endemik] sementara Kalimantan [3.936 jenis].
Untuk fauna, tercatat di Sumatera ada 4.546 spesies dan Kalimantan sekitar 7.683 spesies.
Banyaknya jenis tumbuhan dan hewan di Sumatera dan Kalimantan disebabkan ekosistem dua pulau ini sangat beragam, merentang dari ekosistem laut, air tawar, pantai, dan daratan.
Daratan Sumatera dan Kalimantan sendiri terdiri dari berbagai jenis hutan seperti gambut, kerangas, karst, endapan, rawa dan lainnya yang mempunyai ciri khas tersendiri.
“Nilai total jenis tumbuhan di kedua pulau ini berkisar 43 sampai 53 persen dari total jenis tumbuhan yang tercatat di Indonesia,” kata Joeni.
Tumbuhan yang terancam itu adalah famili Dipterocarpacea, seperti keruing [Diptercarpus spp.], meranti (Shorea spp.], dan kamper [Dryobalanops spp.]
“Tumbuhan ini biasa ditemui di Sumatera dan Kalimantan, terutama di hutan rendah,” lanjutnya.
Saat ini tercatat sedikitnya 371 jenis Dipterocarpacea dengan konsentrasi persebaran tertingi ada di Kalimantan. “Kalimantan ada 199 jenis sedangkan Sumatera sekitar 103 jenis,” kata dia.
Baca juga: Peta Jalan, Menuju Pengakuan Hak dan Wilayah Adat di Pulau Enggano
Sumatera dan Kalimantan
LIPI memiliki data dampak kebakaran hutan di Kalimantan pada 1998. Hasilnya, 90 persen jumlah pohon per hektar atau mencapai 240 pohon mati akibat kebakaran.
“Mengacuh kebakaran 1998 dan 2015, bisa saja kebakaran tahun ini berpotensi menyebabkan 95 persen jenis tumbuhan terbakar dan mengalami kekeringan,” urai Joeni.
Lokasi yang terbakar menyebabkan terbukanya lahan sehingga lahan terpapar matahari langsung. Dengan demikian menurunkan fungsinya penyedia unsur hara bagi tumbuhan di atasnya, meregenerasi hutan.
Masalah lain, kebakaran juga membuat biji tumbuhan yang diharapkan akan tumbuh di musim hujan, mati. “Kebakaran hutan harus diminimalisir terjadi setiap tahun.”
Solusi menghidari kebakaran di hutan terutama di wilayah hutan gambut, menurut Joeni adalah dengan menjaga tingkat kebasahan. Misalnya, dengan tidak membuka lahan yang memiliki kubah gambut, bila terlanjur terbuka harus dibuat sekat kanal. Bila tidak menerapkan hal tersebut, gambut akan kering, memudahkan terjadinya kebakaran dan susah dipadamkan.
“Tujuannya, kita menghindari efek kebakaran pada level yang mematikan sumber plasma nutfah,” tuturnya.
Plasma nuftah penting karena pembawa sifat keturunan berupa organ utuh atau bagian tumbuhan dan hewan, serta jasad renik. “Ini yang tidak mudah dilakukan, harus dilihat tingkatnya melalui penelitian,” jelasnya.
Penelitian tersebut dengan cara mengambil tanah untuk dilihat seedbank yang tumbuh berapa persen, dibandingkan yang alami.
Sesungguhnya, harapan tumbuhan yang terbakar terletak di akar. Kalau batangnya hangus, namun sistem keakarannya bagus dan jaringannya juga masih baik maka masih ada harapan trubus lagi.
Namun, dari hasil penelitian hingga saat ini, setelah dua atau tiga tahun kebakaran, tumbuhan yang muncul di gambut hanyalah jenis paku-pakuan serta tumbuhan pionir, seperti tumih [Combretocarpus rotundatus], gerunggang [Cratoxylum arborescens], dan lainnya.
“Tunggul pohon yang terbakar belum tentu tumbuh, tergantung tingginya tingkat kebakaran,” tandasnya.