- Karena letak geografis dan aksesnya yang sulit, warga di permukiman Janjing, Desa Seloliman tidak mendapat akses listrik PLN, sementara dusun-dusun lainnya sudah teraliri listrik.
- Dengan memanfaatkan potensi debit sungai yang ada, warga bergotongroyong membangun pembangkit listrik mikrohidro. Kelembagaan masyarakat pun terbentuk untuk mengelola listrik.
- Sudah lebih dari dua dekade listrik dari PLTMH mengaliri permukiman warga. Warga bangga dan puas berhasil memenuhi energinya secara mandiri.
- Untuk menjaga debit air sungai, warga menjaga hutan yang menjadi wilayah resapan air di lereng Gunung Penanggungan. Saat ini tidak ada lagi penebangan liar dan perusakan hutan.
Meski sebagian masyarakat Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur telah menikmati jaringan listrik PLN sejak 1992, namun tidak demikian dengan sebagian warganya yang berada di perkampungan Janjing, Dusun Sempur.
Perkampungan Janjing memang agak terpencil dan cukup sulit diakses, jika dibandingkan dengan dusun-dusun lainnya di Desa Seloliman. Untuk sampai ke Janjing, kita harus turun lembah lalu naik ke bukit.
Dua dekade lalu, bahkan untuk menuju perkampungan dengan jumlah warga sekitar 30-an KK ini, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, dan menyeberangi dua sungai, Kali Maron dan Kali Janjing.
Alasan kondisi geografis dan jumlah penduduk yang sedikit ini, tampaknya yang membuat dusun yang terletak di lereng Gunung Penanggungan ini, ‘tak dilirik” saat ada program elektrifikasi desa oleh PLN.
“Mungkin jumlahnya terlalu sedikit bagi PLN, belum lagi jaraknya jauh. Medannya juga sulit,” jelas Rais, Kepala Desa Seloliman mengungkapkan.
Sulastri (54), salah satu warga yang sudah puluhan tahun tinggal di Janjing, masih ingat zaman warga harus memanfaatkan lampu minyak untuk penerangan, saat malam tiba.
“Lampunya pakai kaleng yang dikasih minyak tanah. Dulu di sini kalau jalan keluar malam-malam, susah,” ucapnya.
Namun masa itu berakhir, ketika lampu listrik mulai dinikmati warga Janjing sejak Agustus 1994.
Sumber listrik itu bukan berasal dari jaringan PLN. Namun, berasal dari pemanfaatan potensi air sungai lewat pembangkit listrik tenaga mikrohidro atau yang dikenal dengan nama PLTMH. Warga setempat sendiri menyebutnya “listrik kincir”.
Dengan memanfaatkan aliran Kali Maron, PLTMH ini mulai dibangun pada tahun 1993. Selain mengalirkan listrik ke Janjing, ia pun akan digunakan sebagai penerangan di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, pusat edukasi berwawasan lingkungan yang berada di desa tersebut.
Cara kerja PLTMH sendiri adalah dengan cara memanfaatkan energi air untuk menggerakkan turbin. Air dibuatkan saluran menuju bak penampungan yang juga sekaligus menjadi tempat penyaring sampah sungai.
Dari sana air disalurkan ke saluran pengantar yang dialirkan melalui pipa ke rumah pembangkit, tempat dimana turbin berada.
Rumah turbin PLTMH Kali Maron dibangun di daerah yang lebih rendah dari permukiman warga Janjing. Lokasinya berada di areal persawahan, berjarak sekitar dua kilometer dari perkampungan.
Awalnya, listrik yang dihasilkan dari rumah turbin PLTMH Kali Maron, berdaya 12 ribu kWh. Setelah dibagi kepada seluruh rumah, maka tiap rumah di Janjing mendapat jatah listrik rata-rata 100-150 Watt.
“Itu sudah cukup untuk jadi penerangan,” ungkap Abdul Manan, Ketua Pelaksana Harian Paguyuban PLTMH Kali Maron.
Dia menjelaskan, untuk iuran perawatan, warga konsumen saat itu dikenakan iuran antara Rp1.000-Rp2.000 per bulannya.
Pada tahun 2000 barulah kapasitas PLTMH Kali Maron ditingkatkan menjadi 25 ribu kWh. Setiap rumah, sejak saat itu bisa mendapat daya listrik bervariasi. Dari 450, 900 hingga 1.300 Watt.
Pembayaran iuran listrik dari warga pun tidak lagi dipukul rata. Besaran iuran disesuaikan dengan volume penggunaan yang terpantau lewat meteran listrik yang dipasang di setiap rumah pengguna.
“Meteran itu baru ada pada tahun 2000. Daya listriknya meningkat, jadi warga bisa memakai sesuai yang dibutuhkan,” ungkap Misto, Kepala Dusun Janjing menjelaskan.
Bagi Misto, biaya listrik PLTMH yang dibebankan kepada warga pun relatif tergolong murah. Stabilitas daya listrik pun dia sebut tak kalah dengan jaringan PLN, meski kadang ada kendala saat air sungai agak surut di saat musim kemarau.
Bukti Kekuatan Kebersamaan Warga
Kamun (63), salah satu warga masih ingat saat lampu menyala pertama kalinya di Janjing. Peresmiannya waktu itu dilakukan di mushola dusun.
“Waktu itu heboh, satu kampung tepuk tangan semua. Kami senang bukan main, karena sebelumnya tak pernah ada listrik di kampung kami,” ungkap Kamun.
Bagi warga lain, Suroso, -yang sekarang menjabat sebagai Ketua Badan Pengurus Paguyuban Kali Maron, perihal listrik PLN warga Janjing sempat merasa dianaktirikan.
Disaat warga dusun lain Desa Seloliman bisa menikmati malam terang dari energi listrik, warga Janjing hanya bisa menerangi suasana malam dengan lampu minyak.
Hingga datanglah kesempatan memiliki listrik dari pihak pengelola PPLH Seloliman. Mereka mencetuskan ide membangun pembangkit listrik ramah lingkungan, dengan memanfaatkan alran Kali Maron.
Gagasan itu pun direspon positif oleh warga.
“Keinginan mempunyai listrik menjadi kekuatan untuk mewujudkan ide membangun pembangkit,” ungkap Suroso.
Dana untuk membangun pembangkit pun pelan-pelan berhasil dikumpulkan. Baik dari hasil pengumpulan donasi oleh pihak PPLH, bantuan dari Kedubes Jerman, hingga yang dikumpulkan oleh warga sendiri.
Pembangunan PLTMH Kali Maron yang dimulai pada 1993 itu pun dapat diselesaikan pada Agustus 1994 lewat kontribusi dan komitmen penuh dari warga dusun.
“Warga yang ikut kerja, dibayar separo pun mau, karena ingin punya listrik. Itu yang menjadi kekuatan kami sehingga pembangkit itu bisa bertahan sampai sekarang.”
Wagimin (61) adalah salah satu warga yang turut terlibat sejak awal proyek. Dia menyebut kekuatan kerjasama adalah modal dasar listrik mandiri di Dusun Janjing dapat terwujud.
“Membangunnya ya lewat gotong royong, semua warga ikut. Saya dibayar tapi tidak penuh. Waktu itu dapat bayaran Rp3.500 per hari.”
Dia menuturkan, warga bergotongroyong saat merampungkan bangunan sipil, pemasangan turbin hingga menghubungkan instalasi listrik dari PLTMH ke permukiman warga.
Turut Melestarikan Hutan
Kehadiran PLTMH Kali Maron ternyata tidak saja menghadirkan cahaya listrik bagi warga Janjing. Ia juga turut menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga alam lingkungan, khususnya di kawasan lereng Gunung Penanggungan.
“Pada pertemuan-pertemuan dengan warga, selalu kami sampaikan bahwa ada keterkaitan kuat antara hutan, air dan listrik. Kalau pohonnya terus ditebangi, debit air berkurang, listriknya pun mati,” kata Suroso.
Hal tak kalah penting adalah berhentinya perilaku merusak hutan.
“Sejak ada pembangkit, kesadaran masyarakat mulai tumbuh. Illegal logging yang dulu pernah marak sekitar tahun 1998, sekarang sudah tidak ada lagi,” jelas laki-laki yang kini menjadi Ketua Yayasan Lingkungan Hidup Seloliman (YLHS) tersebut.
“Secara geografis kondisi hutan terjaga, habitat satwa di daerah yang menjadi daerah penyangga air di aliran Kali Maron terjaga. Pola hidup orang kampung sudah tidak seperti dulu.”
Kepala Desa Seloliman, Rais menyambut gembira dengan kehadiran PLTMH Kali Maron. Dia bilang, selain mendukung pencapaian 100 persen rasio elektrifikasi di Seloliman, PLTMH Kali Maron juga mengalirkan banyak energi positif bagi warga Janjing.
Rais menuturkan, sebelum ada listrik perkampungan Janjing merupakan wilayah terisolir. Wilayah itu juga sulit dijangkau dengan beragam jenis kendaraan.
“Setelah ada listrik, banyak yang berubah. Pola pikirnya warganya meningkat, pilihan pekerjaan jadi tambah banyak. Masyarakat juga semakin sadar jaga hutan. Alhamdulillah, sekarang sudah tidak ada yang melakukan illegal logging.”
Keberadaan PLTMH Kali Maron yang usianya mendekati tiga dekade ini memang patut diberi apresiasi. Ia membuktikan buah kerja keras dan keyakinan warga yang harus perlu terus didukung eksistensinya.
* M. Syafii, penulis adalah jurnalis Kompas.com, artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia
***
Foto utama: Rumah Turbin Janjing yang terletak di tengah persawahan. Foto: M Syafii