Sering kali upaya penyelamatan lingkungan, hutan, dan alam terhambat bahkan terhenti lantaran kemampuan fiskal yang terbatas. Tak urung, -karena alasan itu, kepentingan lingkungan kerap menjadi barang yang dipertaruhkan dalam setiap proses pengambilan keputusan maupun pembuatan kebijakan.
Padahal, di era yang serba maju dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, persoalan pendanaan seharusnya dapat disiati. Ia tak lagi menjadi beban satu pihak saja karena akses mendapatkan pendanaan saat ini terbuka begitu lebar.
Contohnya dengan upaya dunia untuk menyelamatkan hutan dan melawan krisis iklim, banyak negara di dunia sepakat bagi negara-negara yang memiliki hutan yang terjaga dapat mengakses maupun mendapatkan pendanaan dari negara-negara yang minim dengan hutan.
Opsi pendanaan ini dikenal dengan pasar karbon atau perdagangan karbon. Sederhananya, negara yang memiliki hutan penghasil karbon dapat menukarkan hasil karbonnya yang tercatat akurat dengan sejumlah uang yang telah disepakati dalam perdagangan karbon.
Tidak lepas dari persoalan pendanaan, belum lama ini Indonesia berhasil membawa pulang dana yang cukup besar dari Green Climate Fund (GCF). Dana sebesar USD 103,78 juta atau sekitar Rp1,52 triliun diterima karena Indonesia dianggap berhasil mengurangi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.
Tercatat, laju deforestasi di Indonesia diklaim mengalami penurunan dari periode 2014- 2020 dari level 3,51 juta CO2e ke level 0,40 juta CO2e. Bukan hanya itu, dana ini juga diberikan sebagai pembayaran atas keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2014-2016 sebesar 20,3 juta CO2e.
Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi krisis iklim tidak hanya terealiasi dari dana internasional GCF, sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp840 miliar sebagai hasil kerja penurunan emisi karbon.
Beberapa model pendanaan ini jelas merupakan bukti bahwa peluang untuk mendapatkan pendanaan untuk menyelamatkan lingkungan, sangat besar. Karena itu, terlalu sempit jika persoalan pendanaan menjadi alasan untuk tidak peduli terhadap lingkungan.
Baca juga: Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta
Crowdfunding Lingkungan
Tentu mengandalkan pemerintah atau lebih tepatnya mengandalkan sepenuhnya pada kemampuan keuangan negara untuk menyelamatkan lingkungan dapat dikatakan tidak realistis. Apalagi di tengah krisis yang sedang melanda seperti saat ini.
Oleh karena itu, mencari sumber pendanaan lain adalah solusi terbaik untuk terus berkomitmen pada kelestarian lingkungan.
Untuk menjawab kebutuhan besar atas pendanaan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan, opsi mengumpulkan dana dengan metode crowdfunding dapat menjadi salah satu alternatif terbaik yang dapat diterapkan.
Metode ini adalah sebuah bentuk pendanaan yang dikumpulkan dari banyak pihak secara kolektif untuk digunakan dalam pembiayaan sebuah program maupun kegiatan.
Sederhananya, masyarakat dapat ikut serta dalam sebuah kegiatan dengan cara mendanai kegiatan tersebut, atau lebih singkatnya metode ini tepat digambarkan dengan istilah “patungan”.
Sebenarnya, dalam upaya penyelamatan lingkungan, metode ini sudah lama diterapkan oleh banyak organisasi masyarakat sipil di dunia.
Namun, upaya fundraising yang dilakukan organisasi masyarakat sipil dengan sistem crowdfunding selama ini dianggap masih bersifat general. Akibatnya masyarakat sebagai pihak yang mendanai kurang merasa menjadi bagian dari program yang mereka danai.
Baca juga: Mengasuh Pohon, Menjaga Pasokan Listrik Mikro Hidro
Pohon Asuh
Namun, beda cerita dengan model crowdfunding Pohon Asuh yang dipelopori oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warung Informasi Konservasi (KKI Warsi) di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat.
Saat saya dan tim Yayasan Madani Berkelanjutan berkunjung ke Nagari Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Oktober 2020), saya merasakan bahwa salah satu program pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang digagas masyarakat yakni bernama Pohon Asuh sangat menarik.
Inisiatif ini begitu potensial untuk dikembangkan serta dipopulerkan sebagai model crowdfunding lingkungan yang datang dari masyarakat.
Program Pohon Asuh sendiri adalah program penyelamatan hutan yang dikembangkan untuk menyaring pendanaan dari banyak pihak sebagai motor pembiayaan operasional perlindungan hutan yang dikelola oleh masyarakat.
Konsep pohon asuh ini menitikberatkan pada pembiayaan dari para pengasuh pohon dengan nominal sebesar Rp200.000 untuk satu pohon pertahunnya sebagai dukungan kepada masyarakat penjaga dan pengelola hutan di tempat pohon asuh berada.
Dengan adanya Pohon Asuh, masyarakat secara luas dapat merasa menjadi bagian dari penyelamatan hutan karena ikut mengasuh pohon yang ada di hutan tersebut.
Sedangkan masyarakat yang berperan sebagai pengelola mendapatkan manfaat berupa pendanaan untuk dapat mengelola hutannya sehingga mampu menghasilkan perekonomian yang lebih baik. Crowdfunding ini benar-benar win-win solution.
Tidak salah juga apabila banyak yang mengatakan bahwa konsep sederhana dari pohon asuh ini akhirnya dapat meruntuhkan mitos yang selama ini berkembang.
Saat ini banyak pihak selama ini menganggap bahwa memiliki hutan adalah kutukan. Paradigma ini muncul saat masyarakat tidak melihat hutan sebagai sebuah ekosistem yang penting dan memberi keuntungan bagi jasa lingkungan.
Pemikiran bahwa lahan hutan hanya dihitung dari nilai ekonomi komoditas, membuat hutan menjadi terkonversi dan dialihkan menjadi lahan non kehutanan. Tentu saja, pemikiran ini salah, dan sudah seharusnya digantikan menjadi pemikiran yang utuh.
Inisiatif lokal yang sederhana yakni pohon asuh ini dapat menjadi sebuah model crowdfunding berbasis lingkungan yang sangat tepat untuk mereka yang ingin berkontribusi dalam menyelamatkan hutan.
Saya yakin bahwa dengan sedikit sentuhan, model crowdfunding ini dapat dielaborasi dengan kemajuan teknologi seperti halnya financial technology (fintech) sehingga dapat lebih menarik dan memaksimalkan dukungan publik/
Sekarang, saatnya kita dukung mempopulerkan bisnis model berbasis lingkungan seperti halnya pohon asuh dan banyak bisnis jasa lingkungan lainnya, agar lingkungan kita semakin lestari dan masa depan terselamatkan.
* Delly Ferdian, penulis adalah peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan. Artikel ini adalah opini penulis.
***
Foto utama: Lewat plang pohon asuh seperti ini, masyarakat dapat merawat hutannya. Dok: Warsi