- Kasus matinya lima individu gajah sumatera di Desa Tuwie Peuriya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, pada Januari 2020 lalu, terkuak.
- Polisi menangkap 11 pelaku yang terlibat membunuh, membantu membunuh, dan menjual bagian tubuh satwa liar dilindungi tersebut.
- Butuh waktu 20 bulan bagi personil Satuan Reserse dan Kriminal [Satreskrim] Polres Aceh Jaya untuk mengungkapkan kasus ini. Hingga akhir Agustus 2021, para pelaku diamankan.
- Semua pelaku dituntut Pasal 40 Ayat 2 Jo Pasal 21 Ayat 2 Huruf A dan B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 55 KUHP.
Kasus matinya lima individu gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] di Desa Tuwie Peuriya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, pada Januari 2020 lalu, terungkap. Polisi menangkap 11 pelaku yang terlibat membunuh, membantu membunuh, dan menjual bagian tubuh satwa dilindungi itu.
Saat itu, lima kerangka gajah yang ditemukan di kebun sawit warga di Desa Tuwie Peuriya, dalam kondisi tidak lengkap. Sejumlah bagian tubuh atau tulangnya sudah menghilang. Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh memperkirakan, kawanan gajah ini telah mati lebih dua bulan sebelum ditemukan.
Butuh waktu panjang bagi personil Satuan Reserse dan Kriminal [Satreskrim] Polres Aceh Jaya untuk mengungkapkan kasus ini. Alasan utamanya adalah orang yang diduga sebagai pelaku menghilang. Hingga akhir Agustus 2021, personil satreskrim menangkap beberapa pelaku setelah dilakukan pengembangan kasus.
Baca: Awal Tahun 2020, Lima Gajah Sumatera Ditemukan Mati
Kapolres Aceh Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi [AKBP] Harlan Amir mengatakan, kasus terungkap setelah kepolisian bekerja dua puluh bulan.
“Penyidik sempat kehilangan petunjuk karena orang yang diduga pelaku utama menghilang. Setelah dilakukan pencarian, jumlah pelaku yang ditangkap sebanyak 11 orang, mereka warga Desa Tuwie Peuriya,” terangnya di Aceh Jaya, Rabu [15/9/2021]
Pada 27 Agustus 2021, tim menangkap enam pelaku, yaitu, HD [39], LH [43], HI [46], SP [62], MR [32], dan ZB [25] di Gampong Tuwie Peuriya. Pada hari yang sama, satu tersangka inisial MA [38] ditangkap di Kota Banda Aceh.
Lalu, 1 September 2021, dua tersangka lain yaitu, SD [49] dan AM [69] menyerahkan diri ke Polres Aceh Jaya, didampingi tokoh masyarakat. Setelah dilakukan pengembangan, ditangkap lagi dua pelaku lain yaitu, IF [46] dan MN [68].
Harlan merincikan, SD, AM, dan MA merupakan pelaku utama yang membunuh serta memperdagangkan gading. “Mereka yang berencana dan memasang pagar listrik untuk membunuh kawanan gajah.”
Baca: Pembunuh Gajah Sumatera Tanpa Kepala di Aceh Timur adalah Pemain Berpengalaman
Berdasarkan pengakuan para pelaku, mereka telah menjual tiga pasang gading ke penadah EM, warga Pidie Jaya, yang telah ditangkap Polre Aceh Timur karena terlibat perdagangan gading gajah. Sementara, satu caling atau gading gajah betina masih tersisa dan menjadi barang bukti.
“Semua pelaku dituntut Pasal 40 Ayat 2 Jo Pasal 21 Ayat 2 Huruf A dan B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 55 KUHP,” jelasnya.
Baca juga: Cinta Sepenuh Hati Rosa untuk Kehidupan Gajah Sumatera
Apresiasi
Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto mengapresiasi keberhasilan Polres Aceh Jaya mengungkap kasus tersebut.
“BKSDA Aceh terus berupaya agar perburuan dan pembunuhan gajah sumatera beserta satwa liar lainnya tidak lagi terjadi di Provinsi Aceh. Selain karena dilindungi, satwa-satwa tersebut merupakan bagian penting dalam ekosistem kehidupan.”
Terkait konflik gajah dengan manusia, BKSDA Aceh bersama pemerintah daerah dan lembaga mitra tidak berhenti mencari solusi agar pertikaian ini dapat diakhiri.
“Kami telah melakukan berbagai upaya seperti memasang GPS Collar, menggali parit, dan memasang listrik kejut di sejumlah tempat yang berpotensi terjadi konflik.”
Di Aceh Jaya, dalam waktu dekat akan dipasang listrik kejut di beberapa tempat. “Namun, kegiatan ini tergantung dukungan masyarakat, khususnya menjaga agar listrik kejut itu tidak rusak,” tutur Agus.
Catatan kejahatan
Berdasarkan catatan Dokter Hewan BKSDA Aceh, Taing Siantar, yang sering ditunjuk sebagai saksi ahli terkait kasus kejahatan, perburuan dan perdagangan satwa secara ilegal, EM atau Edi Murdani merupakan pemain berpengalaman yang berperran sebagai menampung bagian tubuh satwa liar: gajah, harimau, beruang, trenggiling, paruh rangkong dan landak.
“Edi yang merupakan warga Sumatera Utara dan Kabupaten Pidie Jaya, telah berkali memperdagangkan bagian tubuh satwa liar dilindungi.”
Menurut Taing, Edi pernah masuk daftar pencarian orang karena terlibat perdagangan kulit harimau yang dibongkar Polres Aceh Tengah pada 2018. Saat itu, orang suruhan Edi yang membawa kulit harimau ditangkap di Rusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah.
“Pada 2016, Edi pernah dihukum 1,6 tahun penjara karena memperdagangkan kulit harimau dan tiga kilogram sisik trenggiling. Penangkapan Edi bersama dua rekannya dilakukan oleh personil Ditreskrimsus Polda Sumatera Utara pada Oktober 2016,” sebutnya.
Manager Lembaga Suar Galang Keadilan, Missi Muizzan menyatakan hal senada. Kepolisian harus sangat serius memeriksa Edi yang merupakan penadah bagian tubuh satwa dilindungi. Dia banyak melakukan transaksi dengan pemburu di Aceh.
“Jaksa penuntut umum harus menuntutnya dengan undang-undang lain sehingga hukumannya lebih berat, agar ada efek jera. Terlebih, pelaku pernah ditangkap karena kejahatan yang sama.”
Missi mengatakan, hukuman berat untuk Edi sekaligus memutus rantai perdagangan ilegal satwa dilindungi. “Kami melihat, dia beroperasi hampir di semua daerah di Aceh. Jaringannya yang luas, harus dihentikan,” paparnya.