Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Menolak Tambang Emas, Menyelamatkan Pulau Cantik Sangihe dari Kehancuran

 

 

Tahun 2021 merupakan tahun yang berat bagi masyarakat Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Kehidupan yang tenang dengan latar kebudayaan bahari dan keanekaragaman hayati hutannya, terusik. Pulau yang menjadi beranda depan Indonesia di bagian utara karena berhadapan dengan negara tetangga Filipina itu, dikagetkan dengan keluarnya izin produksi pertambangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] pada 29 Januari 2021.

Perusahaan tambang tersebut bernama PT. TMS [Tambang Mas Sangihe], sebuah perusahaan gabungan dari beberapa perusahaan Kanada dan Indonesia. Pemegang saham mayoritas [70 persen] adalah perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation. Tiga perusahaan Indonesia memegang sisanya, yaitu PT. Sungai Balayan Sejati [10 persen], PT. Sangihe Prima Mineral [11 persen], dan PT. Sangihe Pratama Mineral [9 persen].

PT. TMS mengantongi kontrak karya pertambangan emas di paruh selatan Pulau Sangihe seluas 42.000 hektar. Wilayah itu lebih dari setengah luas Pulau Sangihe beserta pulau kecil di sekitarnya, yaitu 73.698 hektar. Itu berarti perusahaan akan mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun, terhitung dari 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054. Masyarakat Sangihe yang hidup dari kelimpahan hutan dan hasil laut, tentu saja protes keras.

Baca: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas

 

Sangihe, pulau cantik di Sulawesi Utara yang memiliki keindahan alam dan potensi keragaman hayatinya terancam rusak akibat hadirnya perusahaan tambang emas. Foto: Wikimedia Commons/Government of Sangihe Islands Regency/Public Domain

 

Protes sudah terjadi sejak Januari 2021 ketika kabar pertama kali izin perusahaan keluar, kemudian gerakan penolakan semakin masif dan meluas saat koalisi Save Sangihe Island membuat petisi online dengan judul, “Sangihe Pulau yang Indah, Kami Tolak Tambang!” di change.org, yang juga didukung oleh musisi, Kaka Slank. Penolakan PT. TMS semakin ramai dan mendapatkan perhatian publik ketika Wakil Bupati Kepulauan Sangihe, Helmud Hontong, meninggal dunia di atas pesawat Lion Air rute Denpasar-Makassar awal Juni 2021. Kematian ini dikaitkan dengan sikap tegas Helmud mendukung masyarakat yang menolak tambang emas hadir di Sangihe.

Pada bulan sebelumnya, atas nama pribadi, Helmud mengirimkan surat kepada Kementerian ESDM agar membatalkan izin tambang emas di Sangihe. Menurutnya, usaha pertambangan yang direstui Kementerian ESDM bertentangan dengan UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).

“Hingga saat ini, PT. TMS tidak mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island, kepada Mongabay Indonesia, Jumat, 17 Desember 2021.

Baca: Warga Gugat Hukum Izin PT Tambang Mas Sangihe

 

Burung anis-bentet sangihe berada di puncak Gunung Sahendaruman. Foto: Hanom Bashari

 

Pada 10 Desember 2021, menjelang pergantian tahun, Jull dan ratusan masyarakat Sangihe melakukan unjuk rasa ke kantor Gubernur Sulawesi Utara. Mereka menuntut pencabutan izin lingkungan perusahaan, sayangnya aksi masyarakat Sangihe itu tidak ditemui oleh sang gubernur. Aksi itu juga menampilkan tarian Salo, tarian adat orang Sangihe. Tarian Salo berarti tariang perang. Pengunjuk rasa menggunakan atribut adat dan menggunakan parang sambil menari.

“Kondisi saat ini, perusahaan berupaya membenturkan mayoritas masyarakat yang menolak tambang dan sebagian kecil masyarakat yang mendukung tambang. Perusahaan mau membenturkan kami sesama saudara sendiri di Sangihe,” ungkap Jull.

Bahkan menurutnya, perusahaan penambang ilegal yang beroperasi di Sangihe dijanjikan oleh perusahaan akan diberikan wilayah pertambangan rakyat [WPR], dan seolah mau dibenturkan juga dengan masyarakat. Namun, dukungan penolakan justru semakin menguat dari masyarakat Sangihe, baik yang berada di sekitar lokasi pertambangan maupun tidak.

Hal ini ditunjukkan oleh warga dengan melakukan penggalangan dana secara publik dengan beberapa cara; seperti patungan, penjualan kartu kawan, atau penjualan kaos, yang bertujuan membiayai gugatan warga Sangihe ke pengadilan PTUN di Jakarta. Tujuannya, agar pemerintah mencabut izin lingkungan PT. TMS.

“Saat ini dukungan terhadap penolakan juga berdatangan dari warga Sangihe yang berada di luar daerah, bahkan yang sudah tinggal di luar negeri. Solidaritas juga datang dari tokoh seperti Emil Salim dan La Ode Syarif yang mendukung kami,” Jull menjelaskan.

Tak hanya itu, Bupati Kepulauan Sangihe, Jabes Gaghana, juga menyatakan penolakan terhadap Izin Usaha Pertambangan [IUP] PT. TMS, bahkan sejak 2017 sebelum ramai penolakan terhadap perusahaan ini tahun 2021. Dia juga mengklaim tidak pernah menandatangani satu pun surat izin mengenai pertambangan di Kepulauan Sangihe. Meski demikian, Pemerintah Kabupaten Sangihe disebutnya tidak bisa melakukan apa-apa karena izin berada di pemerintah pusat.

Baca: Seriwang Sangihe, Burung Langka di Dunia yang Habitatnya Terancam Tambang Emas

 

Burung anis bentet sangihe berstatus Kritis. Foto: Henri Hebimisa

 

Perjuangan 2022

Jull Takaliuang, dari Save Sangihe Island, dalam gugatannya menilai bahwa PT. TMS melanggar Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 39 yang mewajibkan perusahaan memiliki keputusan kelayakan lingkungan hidup [KKLH].

Dengan terbit izin tanpa pertimbangan kelayakan lingkungan, praktis bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945, UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan UU No 39/1999 tentang hak asasi manusia. Konsesi perusahaan yang disebutkan dalam gugatan juga, dinilai terbit untuk wilayah yang dilarang UU No 1/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurutnya pada tahun 2022 nanti, Save Sangihe Island dan masyarakat Sangihe menargetkan perusahaan harus segera angkat kaki dari Pulau Sangihe. Meskipun, ancaman membenturkan antar-sesama masyarakat terus terjadi dan mencoba memanaskan situasi dengan kelompok penambang ilegal, akan tetapi kekuatan publik yang ada sekarang semakin besar dan akan sulit dibendung oleh perusahaan.

“Kita tahu bahwa perusahaan ini banyak melakukan kesalahan dan bahkan belum ada izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kalau mereka dengan legowo menyadari kesalahan itu, maka pertambangan harus dibatalkan dan perusahaan sebaiknya segera angkat kaki dari Sangihe,” ujar Jull.

Baca: Kuskus Talaud, Satwa Berkantung dari Ujung Utara Sulawesi yang Berstatus Kritis

 

Burung madu sangihe [Aethopyga duyvenbodei], jenis endemik di kawasan Gunung Sahendaruman Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto: Stenly Pontolawokang

 

Dia menambahkan lagi, masyarakat Sangihe sejak nenek moyang hingga saat ini sudah menggantungkan hidup pada laut, pertanian, atau pun perkebunan, sehingga tidak membutuhkan pertambangan. Pemerintah juga diharapkan mengembangkan potensi sumber daya alam berkelanjutan pada sektor pariwisata yang dimiliki oleh Kepulauan Sangihe.

Selain itu, kehadiran pertambangan hanya akan merusak sektor perekonomian lainnya seperti perikanan, pertanian, dan juga pariwisata. Masyarakat menganggap, kehadiran perusahaan tambang adalah pembunuhan berencana karena membunuh kehidupan masyarakat yang sudah ada secara perlahan.

“Orang-orang Sangihe yang sekolah tinggi-tinggi bukan dari hasil tambang. Kalau tambang mencelakakan, kenapa harus dipilih? Ada banyak potensi kelautan, hutan, dan pariwisata, harusnya itu yang dikembangkan secara berkelanjutan oleh pemerintah,” tegas Jull.

Baca juga: Anis-Bentet Sangihe, Burung Kritis yang Dikeluarkan dari Daftar Dilindungi

 

Burung cabai panggul kelabu [Dicaeum celebicum], jenis burung di kawasan Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto: Stenly Pontolawokang

 

Kehadiran perusahan tambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga ditanggapi oleh Asmar Exwar, dari Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia; sebuah simpul jaringan belajar yang fokus pada isu ruang lingkup pesisir dan pulau-pulau kecil dalam konteks perubahan iklim.

Menurutnya, masyarakat di pulau-pulau selain menghadapi ancaman dari aspek ekologi karena pengaruh krisis iklim, berubahnya musim penangkapan, hilangnya lahan penduduk di pesisir karena abrasi, banjir rob dan  ancaman kenaikan permukaan air laut serta keterancaman sumber pasokan pangan, namun juga menghadapi dari aspek politik dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam terkait perizinan tambang.

“Kenapa masyarakat menolak? Tentu ini berkaitan dengan keterancaman sumber penghidupan masyarakat baik secara ekonomi, sosial, budaya, maupun ekologi di Pulau Sangihe. Kebijakan ini akan mengeliminasi masyarakat lokal,” ujar Asmar.

Dia menjelaskan, pemerintah harus sungguh-sungguh memperhatikan daya dukung dan keberlanjutan ekologi yang menopang kehidupan masyarakat di pulau kecil. Kementerian ESDM mengindahkan asas kehati-hatian dalam mengeluarkan izin, disamping mengabaikan suara masyarakat.

Jika izin penambangan tidak dicabut, maka kondisi ini akan menambah deretan panjang persoalan kerusakan lingkungan, konflik, dan bahkan persoalan kemiskinan di wilayah pulau-pulau kecil. Konsesi tambang yang luas serta aktivitas tambang nantinya hanya akan memberikan pengaruh negatif terhadap lahan-lahan produktif masyarakat.

“Bahkan keterancaman pesisir dan laut yang dihasilkan aktivitas tambang dapat mencemari perairan sekitar pulau, nantinya. Padahal ekosistem hutan, lahan pesisir dan laut Sangihe jadi penopang hidup masyarakatnya,” papar Asmar.

 

Celepuk sangihe. Foto: Burung Indonesia/Ganjar Cahyo Aprianto

 

Ancaman tambang pada keanekaragaman hayati

Pulau Sangihe merupakan bagian dari Wallacea, sebuah kawasan biogeografi yang meliputi kepulauan di Indonesia sebelah timur Bali hingga sebelah barat Papua, yakni Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, serta Timor Leste. Artinya, kawasan ini memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.

Dengan kehadiran perusahaan tambang PT. TMS di Pulau Sangihe, maka ikut mengancam kehidupan satwanya yang unik dan endemik. Salah satunya adalah seriwang sangihe [Eutrichomyias rowleyi] atau yang dikenal dengan nama lokal burung niu.

Burung niu berukuran kecil sekitar 18 cm. Ciri fisiknya ditandai dengan bagian atas biru agak gelap, sementara bagian bawahnya abu-abu kebiruan lebih pucat. Kesenangannya menghuni hutan di ketinggian 450-750 meter di atas permukaan laut. Pulau Sangihe memiliki gunung bernama Sahendaruman. Gunung ini juga menjadi bagian dari rencana yang akan ditambang oleh perusahaan. Burung niu juga hanya dapat ditemui di Gunung Sahendaruman.

Menariknya, burung ini sempat disebut telah hilang dari Pulau Sangihe bahkan sampai 105 tahun lamanya. Hingga akhirnya ditemukan kembali pada 1978 oleh peneliti burung Murray D. Bruce di sekitar Gunung Awu. Sayangnya, klaim tersebut tidak disertai bukti. Sebelumnya burung niu pertama kali teridentifikasi tahun 1873 oleh seorang naturalis asal Jerman, Adolf B. Meyer.

Hingga kemudian tahun 1998, burung ini ditemukan pertama kali disertai bukti ketika dilakukan ekspedisi yang dipimpin oleh John Riley dan James C. Wardill dari University of York dan University of Leeds, Inggris, dan dari Manado, di sekitar Gunung Sahendaruman.

Namun bukan para peneliti tersebut yang tercatat sebagai penemunya. Orang yang pertama yang menemukan adalah masyarakat setempat bernama Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Om Niu atau Bu Niu. Ia menguasai betul kondisi Sahendaruman, termasuk satwa liarnya.

 

Inilah seriwang sangihe, burung langka yang hidupnya dilindungi P106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Foto: Hanom Bashari/ Burung Indonesia

 

Penelitian tentang burung niu dilakukan lagi tahun 2014 oleh Hanom Bashari, dkk yang diterbitkan dalam Jurnal Kukila, 2016dengan judul “The current status of the critically endangered Caerulean Paradise-flycatcher Eutrichomyias rowleyi on Sangihe, North Sulawesi”. Mereka melakukan survei populasi di Pegunungan Sahendaruman dalam 15 transek pada Mei–Juni 2014. Berdasarkan pengamatan mereka, tidak menunjukkan peningkatan populasi yang signifikan yaitu hanya berkisar antara 34–150 individu.

“Luasan hutan primer di pegunungan [519 hektar] diduga menjadi faktor pembatas utama pertumbuhan populasinya,” tulis Hanom dan kolega.

Dalam jurnal itu disebutkan bahwa burung niu merupakan satu dari delapan jenis burung endemik Sangihe. Populasinya diketahui hanya tersisa di lembah-lembah hutan primer pada ketinggian 390-674 mdpl di Pegunungan Sahendaruman.

International Union for Conservation of Nature [IUCN] telah mengkategorikan burung ini sebagai jenis Kritis [Critically Endangered/CR] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Hilangnya tutupan hutan tetap menjadi ancaman utama jenis ini, di samping perubahan komposisi hutan dengan tanaman-tanaman introduksi yang terus mendesak ke habitat utama seriwang sangihe.

Dari catatan Hanom terbaru yang disampaikan kepada Mongabay, di pegunungan Sahendaruman terdapat 18 jenis burung yang terdiri dari 10 jenis endemik dan 8 endemik subjenis. Selain jenis-jenis tersebut, masih banyak spesies lain yang bisa ditemui di pegunungan Sahendaruman.

 

Kuskus talaud [Ailurops melanotis] yang hidupnya terancam punah. Foto: Fletcher and Baylis/EDGE/ZSL

 

Selain burung niu, salah satu yang endemik adalah kuskus talaud atau kuskus beruang talaud. Satwa ini hanya akan ditemukan di Kepulauan Talaud dan Sangihe. Satwa dengan nama latin Ailurops melanotis atau dalam bahasa Inggris disebut Talaud Bear Cuscus ini merupakan bagian dari keluarga fauna Phalangeridae.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Terri Repi, dkk [2019]dijelaskan bahwa Kepulauan Sangihe dan Talaud dianggap sebagai daerah terjauh pusat endemisitas di kawasan Wallacea yang memiliki tingkat kekhasan sangat tinggi. Pada dua gugusan kepulaun ini kuskus beruang talaud berdasarkan International Union for Conservation of Nature [IUCN] masuk dalam status Kritis atau Critically Endangered dengan kecenderungan populasi terus menurun.

Selain itu, berdasarkan data Zoological Society of London [ZSL], kuskus beruang talaud dimasukan sebagai spesies yang terancam secara global atau Evolutionarily Distinct and Globally Endangered species [EDGE] berdasarkan evolusi, sejarah hidup, dan status keterancamannya.

Dari penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa jenis ini tersebar pada tiga pulau yaitu Pulau Salibabu [Kabupaten Kepulauan Talaud], Pulau Nusa dan Pulau Bukide [Kabupaten Kepulauan Sangihe].

 

 

Exit mobile version