- Seriwang sangihe atau dikenal dengan nama burung niu, sempat dianggap punah sebelum ditemukan kembali tahun 1998 di Pegunungan Sahendaruman, Sangihe, Sulawesi Utara. Burung niu berukuran kecil sekitar 18 cm. Ciri fisiknya, tubuh bagian atas biru agak gelap, sementara bagian bawah abu-abu kebiruan lebih pucat.
- Pulau Sangihe adalah bagian Wallacea, sebuah kawasan biogeografi yang meliputi kepulauan di Indonesia mulai dari Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, serta Timor Leste.
- Hadirnya perusahaan tambang emas, Tambang Mas Sangihe [TMS], dengan izin seluas 42.000 hektar, tentunya mengancam kelestarian Sangihe. Luas izin ini lebih dari setengah Pulau Sangihe yaitu 73.698 hektar. Padahal, merujuk UU Nomor 1 Tahun 2014, pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2.000 kilometer persegi dikategorikan sebagai pulau kecil. Tidak boleh ditambang.
- Tambang akan membuat Sangihe kehilangan hutan lindung di Gunung Sahendaruman yang menjadi sumber oksigen dan air bersih. Satwa-satwa endemik, seperti burung madu sangihe, anis-bentet sangihe, serindit sangihe, seriwang sangihe, udang-merah sangihe, dan celepuk sangihe, juga bakal hilang.
Pulau Sangihe yang berada di bagian utara Sulawesi, belakangan ini menjadi perhatian banyak orang. Polemik kehadiran perusahaan tambang emas di pulau itu adalah pemicunya. Jika perusahaan tambang beroperasi, maka salah satu ancamannya adalah hilangnya burung-burung endemik. Salah satunya adalah seriwang sangihe [Eutrichomyias rowleyi] atau yang dikenal dengan nama lokal burung niu.
Burung niu berukuran kecil sekitar 18 cm. Ciri fisiknya ditandai dengan bagian atas biru agak gelap, sementara bagian bawahnya abu-abu kebiruan lebih pucat. Kesenangannya menghuni hutan di ketinggian 450-750 meter di atas permukaan laut. Pulau Sangihe memiliki gunung bernama Sahendaruman. Gunung ini juga menjadi bagian dari rencana yang akan ditambang oleh perusahaan. Burung niu juga hanya dapat ditemui di Gunung Sahendaruman.
Pulau Sangihe merupakan bagian dari Wallacea, yaitu sebuah kawasan biogeografi yang meliputi kepulauan di Indonesia sebelah timur Bali hingga sebelah barat Papua [Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara] serta Timor Leste.
Baca: Seriwang Sangihe: Inilah Burung Endemik yang Pernah Lama Dianggap Punah
Burung niu pertama kali teridentifikasi tahun 1873 oleh seorang naturalis asal Jerman, Adolf B. Meyer. Menariknya, burung ini sempat disebut telah hilang dari Pulau Sangihe bahkan sampai 105 tahun lamanya. Hingga akhirnya ditemukan kembali pada 1978 oleh peneliti burung Murray D. Bruce di sekitar Gunung Awu. Sayangnya, klaim tersebut tidak disertai bukti.
Barulah kemudian tahun 1998, burung ini ditemukan pertama kali disertai bukti ketika dilakukan ekspedisi yang dipimpin oleh John Riley dan James C. Wardill dari University of York dan University of Leeds, Inggris, dan dari Manado, di sekitar Gunung Sahendaruman. Namun bukan para peneliti tersebut yang tercatat sebagai penemunya.
Orang yang pertama yang menemukan adalah masyarakat setempat bernama Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Om Niu atau Bu Niu. Ia menguasai betul kondisi Sahendaruman, termasuk satwa liarnya.
Dalam masyarakat Sangihe, panggilan “Bu” adalah sapaan untuk seorang lelaki atau serupa “Mas” dalam masyarakat Jawa. Ia ikut mendampingi para peneliti Inggris itu dalam ekspedisi. Sebagai bentuk penghormatan, burung ini disebut juga dengan burung niu.
Baca: Om Niu, 20 Tahun ‘Penguasa’ Burung di Sahendaruman
Penelitian tentang burung niu dilakukan lagi tahun 2014 oleh Hanom Bashari, dkk yang diterbitkan dalam Jurnal Kukila, 2016, dengan judul “The current status of the critically endangered Caerulean Paradise-flycatcher Eutrichomyias rowleyi on Sangihe, North Sulawesi”.
Mereka melakukan survei populasi di Pegunungan Sahendaruman dalam 15 transek pada Mei–Juni 2014. Berdasarkan pengamatan mereka, tidak menunjukkan peningkatan populasi yang signifikan yaitu hanya berkisar antara 34–150 individu.
“Luasan hutan primer di pegunungan [519 hektar] diduga menjadi faktor pembatas utama pertumbuhan populasinya,” tulis Hanom dan kolega.
Baca: Anis-Bentet Sangihe, Burung Kritis yang Dikeluarkan dari Daftar Dilindungi
Dalam jurnal itu disebutkan bahwa burung niu merupakan satu dari delapan jenis burung endemik Sangihe. Populasinya diketahui hanya tersisa di lembah-lembah hutan primer pada ketinggian 390-674 mdpl di Pegunungan Sahendaruman.
International Union for Conservation of Nature [IUCN] telah mengkategorikan burung ini sebagai jenis Kritis [Critically Endangered/CR] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Hilangnya tutupan hutan tetap menjadi ancaman utama jenis ini, di samping perubahan komposisi hutan dengan tanaman-tanaman introduksi yang terus mendesak ke habitat utama seriwang sangihe.
Dari catatan Hanom terbaru yang disampaikan kepada Mongabay, di pegunungan Sahendaruman terdapat 18 jenis burung yang terdiri dari 10 jenis endemik dan 8 endemik subjenis.
“Selain jenis-jenis tersebut, masih banyak spesies lain yang bisa ditemui di pegunungan Sahendaruman,” ungkap Hanom, pemerhati ekologi dan burung liar, Sabtu [11 Juni 2021].
Merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, seriwang sangihe merupakan jenis yang dilindungi dari ancaman kepunahan [nomor 411].
Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas
Ancaman tambang emas
Ancaman kehidupan seriwang sangihe semakin nyata dengan kehadiran perusahaan tambang emas di Sangihe. Perhatian kepada Sangihe semakin ramai ketika muncul petisi penolakan dari koalisi 25 organisasi yang menamakan Save Sangihe Island, hingga kematian misterius Wakil Bupati Kepulauan Sangihe, Helmud Hontang, yang ikut menolak kehadiran tambang.
Menurut Jaring Advokasi Tambang [Jatam], lebih dari separuh luas Pulau Sangihe di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, ditetapkan sebagai wilayah pertambangan emas milik PT. Tambang Mas Sangihe. Koalisi 25 organisasi masyarakat di Kepulauan Sangihe merespons dengan penolakan karena khawatir akan kerusakan alam. Pemberian izin usaha pertambangan tersebut juga disebut menyalahi hukum.
Jatam menjelaskan, dengan merujuk pada data Minerba One Map Indonesia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], PT. Tambang Mas Sangihe [TMS] mengantongi kontrak karya pertambangan emas di paruh selatan Pulau Sangihe seluas 42.000 hektar. Wilayah itu lebih dari setengah luas Pulau Sangihe beserta pulau kecil di sekitarnya, yaitu 73.698 hektar.
Padahal, merujuk UU Nomor 1 Tahun 2014, pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2.000 kilometer persegi dikategorikan sebagai pulau kecil. Tidak boleh ditambang.
PT. TMS kini telah memasuki tahapan kegiatan operasi produksi setelah mengantongi Surat Keputusan 163.K/MB.04/DJB/2021. Perusahaan itu pun berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun, terhitung dari 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054.
Jatam menyebut, PT. TMS adalah gabungan dari beberapa perusahaan Kanada dan Indonesia. Pemegang saham mayoritas [70 persen] adalah perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation. Tiga perusahaan Indonesia memegang sisanya, yaitu PT. Sungai Balayan Sejati [10 persen], PT. Sangihe Prima Mineral [11 persen], dan PT. Sangihe Pratama Mineral [9 persen].
Tambang di wilayah daratan juga akan menggusur perkebunan warga yang ditumbuhi sagu, kelapa, dan umbi-umbian. Sangihe juga akan kehilangan hutan lindung di Gunung Sahendaruman yang menjadi sumber oksigen dan air bersih. Satwa-satwa endemik, seperti burung madu sangihe, anis-bentet sangihe, serindit sangihe, seriwang sangihe, udang-merah sangihe, dan celepuk sangihe, pun akan hilang.