Hujan baru saja reda ketika saya dan teman-teman merapat di lereng Gunung Sahendaruman. Bergegas kami menuju ke rumah Om Niu yang hafal betul tentang kondisi gunung tersebut, termasuk satwa liarnya.
Pria 53 tahun ini merupakan orang penting di dunia berburungan di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Pasalnya pria ini sudah 20 tahun berprofesi sebagai pemandu, terutama burung, hingga dijuluki niu, nama lokal burung langka di Sangihe yaitu Seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi).
Mongabay Indonesia (2015) mencatat adanya berbagai jenis burung langka di hutan Gunung Sahendaruman. Salah satunya burung niu. Sejak itu seriwang sangihe dikenal juga dengan nama burung niu atau manu’ niu.
Burung ini sudah mulai sulit ditemukan di alam liar dan digolongkan dalam status kritis karena daerah sebarannya yang sempit dan populasinya sedikit dengan perkiraan kurang dari 150 individu.
Kepulauan Sangihe merupakan salah satu koridor kawasan di Wallacea yang memiliki berbagai jenis spesies endemik, namun terancam oleh berbagai faktor. Permasalahan ini, mendorong Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) untuk memberi hibah bagi organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu-isu konservasi.
Salah satunya di Gunung Sahendaruman yang menyimpan kekayaan alam luar biasa. Air yang mengalir dari hutan Sahendaruman dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga mikro hidro yang dikelola oleh PLN.
Saya mulai menyusuri jalan setapak Sahendaruman yang di pandu oleh Om Niu dan beberapa kali berhenti menunjukkan beberapa jenis burung yang lewat atau hinggap di pohon. Beruntung kami bertemu dengan burung madu sangihe (Aethopyga duyvenbodei) jantan dan betina.
Dibeberapa langkah kemudian kami juga menjumpai cabai panggul-kelabu (Dicaeum celebicum). Setidaknya tiga puluhan jenis nama burung di Sahendaruman dihapal oleh Om Niu. “Sudah 44 lembah saya jelajahi bersama tim, satu lembah bisa menginap 3-4 hari bersama tim Burung Indonesia, kadang bisa memakan waktu 2 bulan lebih”, kata Om Niu yang memiliki nama lengkap Anius Dadoali.
Sejak tahun 1995 bersama program Action Sampiri kerjasama antara Inggris dan Universitas Samratulangi Manado melakukan survey burung di Sahendaruman tersebut.
Saya tidak sendiri tetapi juga bersama kawan pegiat fotografi satwa liar Sangihe, Stenly Pontolawokang. Seorang PNS namun juga sebagai pemerhati satwa liar. Tidak banyak mungkin di republic ini seperti Stenly.
Beberapa kali, Stenly Pontolawokang membidikkan kameranya untuk mendapat gambar yang bagus dari burung yang ditunjukkan oleh Om Niu. Sambil mengendap-endap, Stenly mengamati dan mengabadikan burung yang ditemuinya.
Ditempat yang terpisah, Samsared Barahama dari Sampiri, menjelaskan bahwa kiprah Om Niu sudah tidak diragukan lagi kalau soal burung di Sahendaruman. Karena Om Niu sudah menjelajah seluruh hutan Sahendaruman tersebut.
“Kami berkegiatan dengan Om Niu selama 4 tahun untuk program konservasi burung paruh bengkok di Sangihe tahun 2000-an”, ungkap Samsared Barahama. Sebelumnya juga ada program bersama untuk pelestarian burung khas Sangihe dan program berikutnya adalah program pelestarian hutan kunci Sahendaruman. Petani dan pencari rotan ini diperkenalkan dunia oleh para peneliti hingga saat ini terus didalaminya.
Sudah puluhan tamu dan peneliti diantarnya untuk melihat burung di Gunung Sahendaruman tersebut. Penampilan yang sederhana dengan segudang ilmu tentang burung merupakan aset bagi dunia konservasi untuk terus dipertahankan.
Om Niu, salah satu sosok pemerhati burung yang patut diajungi jempol karena hingga saat ini, sudah lebih 20 tahun masih semangat mempelajari burung. Belajar dari Om Niu, belajar untuk mencintai alam ciptaan-Nya secara sederhana dengan melihat dan mendengar kicuan burung di alam.
Pembicaraan dan candaan kecil menyertai kami ketika kami memutuskan untuk mulai turun karena kabut tipis sudah berangsur mendekat……