- Hutan Pesalat terbabat pembalak liar dan terbakar hingga jadi padang ilalang dan banyak bruta. Masyarakat Sekonyer mulai melakukan pemulihan bersama Balai Taman Nasional Tanjung Puting. Kini, perlahan, Pesalat rimbun dan hutan rapat kembali. Keriuhan suara satwa bersahutan mulai memenuhi kawasan hutan di Kalimantan Tengah ini.
- Adalah Redansyah, akrab disapa Ledan, jadi salah satu aktor penggerak konservasi di Taman Nasional Tanjung Puting. Pada 1980, kali pertama Ledan bergabung dalam dunia konservasi saat jadi asisten peneliti sebagai pengisi catatan aktivitas orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di Tanjung Puting. Kala itu, perahu sampan jadi transportasi utama dari Pelabuhan Kumai, Pangkalan Bun menuju Tanjung Puting.
- Ledan berjasa memulihkan kembali hutan Pesalat. Sejak 2003, Ledan mulai menanam pohon di Pesalat hingga kini. Dia pun hidup di dalam hutan Pesalat, konsisten merawat dan menjaga kawasan yang sudah jadi rumahnya itu.
- Pesalat, tak hanya rumah bagi Ledan, ia juga rumah belajar bagi banyak orang dalam upaya melakukan restorasi. Pesalat itu tempat belajar bersama. Bersama masyarakat melakukan banyak uji coba bagaimana restorasi itu bisa murah, mudah dan efektif.
‘Welcome to Pesalat’ Tulisan pada gapura kayu menyambut saat perahu merapat ke dermaga. Jembatan kayu mulai berlumut karena sedikit sinar matahari bisa masuk dan mengena ke jejeran kayu selebar 80 cm di Pesalat, hutan rehabilitasi Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah ini.
Kiri kanan pepohonan rimbun. Tutupan hutan rapat ketika menuju ‘rumah belajar’ masyarakat yang berkecimpung dalam konservasi taman nasional.
Ledan, begitu nama panggilan Redansyah. Dia tinggal dan menekuni konservasi di kawasan ini sejak 2003. Tak ada yang tak kenal dengan sosok yang sangat setia pada Pesalat. Dia tinggal sendirian di hutan itu.
Saban pagi pukul 05.00, dia bangun dan mulai menjalankan aktivitas. Ledan mencari bibit ke dalam hutan, menyemai, menanam bibit, menyiram secara rutin dan mengecek bibit-bibit yang sudah ditanam.
Dia bersepeda atau berjalan kaki ketika menanam.
Kini, Pesalat jadi tujuan ekowisata. Ia jadi satu dari beberapa pilihan jalur wisata trekking di antara Resort Pondok Tanggui dan Tanjung Harapan yang menjadi pusat rehabilitasi orangutan.
Jembatan kayu sepanjang 800 meter ini akan membawa pada lokasi di mana ketekunan masyarakat mulai menghutankan kembali Pesalat. Sebagian besar area ini datar dan mencakup rawa gambut serta lahan kering.
Pohon meranti rawa, nyatuh, ramin, keruing, jelutung, dan gaharu terlihat menjulang tinggi. Suara serangga dan kicauan burung bersahutan, ribut tetapi menenangkan.
Restorasi di Pesalat merupakan satu bagian dari kerja Friends of The National Park Foundation (FNPF) bersama masyarakat Sekonyer–desa di sisi barat taman nasional dan dipisahkan Sungai Sekonyer.
“Saya tinggal di sini sejak saya bekerja untuk menanam bersama dengan FNPF dan masyarakat Sekonyer,” cerita pria Dayak, kelahiran Tempayung, Kotawaringin Lama, itu.
“Sudah nyaman.”
Setiap bulan dari 2003, Ledan tanam pohon 180 bibit. “Mungkin 2.160 pohon kutanam setiap tahun.”
Kalau dihitung, saat masyarakat masih giat menanam bersama, hampir 40.000 bibit ditanam Ledan di wilayah itu sejak 2003.
Tinggal di hutan dan mengenal banyak jenis kayu bahkan obat-obatan dari hutan bukan hal baru baginya. Sebagai peladang nomadik, kebiasaan menebang pohon untuk pemenuhan kebutuhan pun jadi hal biasa.
“Saat saya masuk kawasan, sejak kenal dengan Bu Birute, saya jadi merasa bersalah (dahulu menebang pohon),” katanya.
Birute Marry Galdikas, peneliti yang meraih doktor dari University of California Los Angeles (UCLA) karena studi orangutan di Tanjung Puting. Dia jadi salah aktor utama konservasi orangutan di sana, mendirikan dan jadi Presiden Orangutan Foundation International (OFI).
Baca juga: Ketika Masyarakat Ikut Pulihkan Taman Nasional
Pada 1980, kali pertama Ledan bergabung dalam dunia konservasi saat jadi asisten peneliti sebagai pengisi catatan aktivitas orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di Tanjung Puting. Kala itu, perahu sampan jadi transportasi utama dari Pelabuhan Kumai, Pangkalan Bun menuju Tanjung Puting.
“Dahulu kayu ulin, meranti diameter seukuran drum. Lebat sekali, kalau sekarang ya sulit melihat itu,” katanya menghela napas.
Ulin (Eusideroxylon zwageri) juga disebut kayu besi merupakan pohon endemik di Kalimantan. Dulu jenis pohon ini melimpah di Pesalat. Kini hanya tinggal tunggul pohon berwarna hitam pekat bekas terbakar.
Ledan menunjukkan bagaimana kayu ulin menjadi jenis terbaik dan harus dijaga karena pertumbuhan lambat.
“Ini ulin yang sudah ditanam dari 2004, diameter belum ada lima cm,” katanya sambil menunjukkan pohon di belakang pondok. Tinggi sekitar 150 cm.
Kayu ramin, meranti, ulin, nyatuh banyak ditemui. Kini, hanya cerita. Tak hanya terbakar, tumbuhan ini habis karena terbabat penebangan liar era 1990.
Puncaknya, akhir 90-an karena situasi politik pemerintah pusat yang sedang kacau balau. “Ilog (illegal logging) marak. Petugas sudah tidak berani, sedih sekali.”
Ledan kembali mengenang. Aliran sungai penuh kayu-kayu besar berbaris untuk dijual di Pelabuhan Kumai. Hutan seperti perkampungan, banyak kamp. Suara gergaji mendominasi dibandingkan suara satwa. “Pemerintah kala itu tak berdaya.”
Ledan bercerita bagaimana dia dan peneliti dari Inggris Carey Yeager dikepung ratusan penebang kayu liar. “Pak Ledan, Carey, hari ini harus keluar,” katanya menirukan ancaman para pembalak liar kala itu.
Para peneliti dan Ledan, sebagai asisten peneliti dianggap mengganggu para pembalak liar.
Pengalaman itu membuat Ledan menekuni dunia konservasi. “Saya akan terus di sini. Saya tidak betah lama-lama di kota, paling lama satu minggu. Sudah pusing.”
Pesalat adalah rumah bagi Ledan.
Rumah konservasi
Pesalat, tak hanya rumah bagi Ledan, ia juga rumah belajar bagi banyak orang dalam upaya melakukan restorasi. Salah satunya, Basuki Budi Santoso. Kala itu, dia sebagai Manajer FNPF.
“Pesalat itu tempat kami semua bisa belajar bersama. Bersama masyarakat melakukan banyak uji coba bagaimana restorasi itu bisa murah, mudah dan efektif. Uji coba di sini sudah direplikasi pada banyak wilayah restorasi lain,” katanya.
Ariyadi, pemuda Desa Sekonyer pun bercerita pertama kali ikut dalam restorasi di Pesalat. “Awal ikut menanam di Pesalat, kita tanam dan jaga itu bibit,” ceritanya.
Dia ikut bersama FNPF melakukan restorasi. Dia ingin mengembalikan Pesalat dan Taman Nasional Tanjung Puting jadi hutan. Kala itu, usia Aryadi masih belasan tahun.
Di Pesalat juga ada demplot tanaman obat. Di sana, ada saluang balum buat obat sakit pinggang, dan ginjal. Lalu, tumbuhan sensamuttan untuk meningkatkan nafsu makan, betapai bisa memulihkan stamina dan membuang darah kotor pasca melahirkan dan banyak lagi.
Ledan pernah bercerita saat sakit sendirian dan obat belum datang dari kota, dia merebus beberapa tanaman obat di Pesalat.
“Waktu itu saya lemas, muntah-muntah. Saya rebus daun betapai, nyeri di perut saya hilang pelan-pelan.”
Pengetahuan tumbuhan obat itu dia warisi dari orangtuanya.
Ledan ahli mengidentifikasi jenis pohon. Ada 300 macam tumbuhan dia hafal dengan nama lokal. Kemampuannya diakui dan jadi ‘kompas’ bagi banyak orang di sekitar Taman Nasional Tanjung Puting, tak terkecuali Murlan Dameria Pane, Kepala Balai TN Tanjung Puting.
“Coba saja tanya ke Pak Ledan, dia hafal semua jenis pohon,” kata Murlan.
Ledan cinta Pesalat. “Saya ingin tetap disini, sekarang saya ingin bekerja yang tugasnya mengenalkan pohon kepada masyarakat,” kata Ledan.
********
* Kolaborasi liputan Mongabay Indonesia dan Betahita. Artikel ini merupakan tulisan berseri yang diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hutan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center