- Hampir 400 petani sawit mandiri di Kecamatan Maro Sebo Ilir, Batanghari, Jambi, berupata mengelola kebun secara berkelanjutan. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi Cahaya Putra Harapan (ACPH) ini sudah bersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak 2018.
- Para petani kecil sawit mandiri yang menjadi anggota ACPH punya luas lahan beragam, ada yang punya satu atau dua hektar lebih per petani. Meskipun sudah mendapatkan ber-RSPO mereka masih alami banyak tantangan dalam mengelola kebun sawit.
- Petani juga keluhkan, sertifikat RSPO mereka tak memberikan nilai lebih di pasaran. Harga sawit-sawit petani mandiri bersertifikat ini, antara lain, dibeli masih di bawah harga sawit mitra perusahaan.
- Parlemen Uni Eropa sedang menyusun uji tuntas aturan untuk komoditas yang berelasi dengan deforestasi dan degradasi hutan. Para petani khawatir, aturan ini juga bisa berdampak ke mereka. Saat ini saja, kondisi sudah sulit dengan harga buah sawit di bawah Rp1.000 per kg di tengah biaya perawatan yang tak sedikit.
Ummi Kalsum memperbaiki sarung tangan, lalu menghidupkan mesin motor. Alat semprot berisi 16 liter peptisida dia sandang di punggung. Cekatan dia ambil helm kemudian menuju kebun sawit milik PT Indosawit, anak perusahaan Asian Agri di Desa Karya Mukti, Kecamatan Maro Sebo Ilir, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Dia buruh di perusahaan sawit itu. Lebih 10 tahun, dia bekerja serabutan. Kadang buruh semprot, sering juga juru masak karyawan.
Satu per satu tanaman sawit Ummi semprot. Air merata membasahi tanah dan sela-sela daun sawit.
Bekerja sebagai buruh dia lakoni untuk bisa menanam kebun sawit miliknya. Warga transmigrasi ini punya lahan seluas satu hektar sudah ditanami sawit.
Ummi bergabung dalam Asosiasi Cahaya Putra Harapan (ACPH) sejak 2019. ACPH merupakan asosiasi petani sawit swadaya bersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak 2018.
Hampir 500 petani swadaya bergabung dalam ACPH dengan luasan kebun mencapai 2.283,12 hektar. Petani ini berasal dari Desa Karya Mukti, Bulian Jaya, Danau Embat, Terusan dan Tidar Kuranji. “Jadi buruh ini, ya untuk bisa menanam kebun sawit dengan baik. Bibit yang digunakan sesuai standar, pupuk cukup dan dirawat,“ katanya.
Ummi membeli bibit sawit bersertifikat Rp30.000 per batang. Untuk pupuk dia harus merogoh kantong sampai jutaan rupiah. Kebun sawit dia pupuk per enam bulan, untuk mengakali pupuk yang melangit.
Dia bilang, semestinya per tiga bulan sawit perlu pupuk. Dia tanam bibit sawit rapat-rapat, ada 143 batang di lahan seluas satu hektar itu.“Ini biar nanti kalau ada yang mati, ga susah lagi nyisip-nya.”
Ummi harus berbagi waktu sebagai buruh dan kelola kebun sendiri. “Apa-apa mahal, apalagi pupuk. Itu kebutuhan pupuk satu batang seperempat kilogram. Sawit saya baru berumur dua tahun. Belum ada yang bisa dipanen. Baru keluar duit saja,”.
Soal legalitas lahan, Ummi dan petani lain rata-rata hanya memiliki surat sporadik (surat pernyataan fisik sebidang tanah) sebagai bukti kepemilikan kebun.
“Jarang sekali yang bersertifikat kalau kebun sawit, Cuma sporadik itulah bukti kepemilikan lahan kami. Kalau nanti harus legalitas sertifikat, ya keluar duit lagi.”
Uji tuntas Uni Eropa
Uni Eropa sedang bikin aturan uji tuntas deforestasi dan degradasi hutan atas beberapa komoditas seperti kopi, kayu, kokao termasuk sawit.
Ummi, sebagai petani sawit swadaya khawatir, ada aturan uji tuntas ini berdampak padanya. “Kalau bisa minta dengan Dewan Eropa itu, jangan sampai memberatkan kami petani sawit kecil, yang hari ini harga jual tidak mencukupi kebutuhan. Belum lagi pupuk mahal, kalau ada aturan-aturan baru lagi, kami tidak sanggup,” katanya.
Andre Barahamin, Juru Kampanye Senior Kaoem Telapak bilang, peraturan uji tuntas ini masih belum banyak pihak mengetahui, di tingkat pemerintah maupun kelompok masyarakat terdampak.
“Kaoem Telapak melakukan monitoring langsung ke lapangan melalui grup diskusi terbatas menganai apa saja peraturan uji tuntas ini dan dampaknya bagi selaku negara pengekspor.”
Kegiatan mendengarkan suara langsung dari kampung ini beserta para pemangku kebijakan sudah dilakukan di Sanggau dan Sekadau Kalimanatan Barat; Sorong, Papua Barat, Jambi dan Riau.
“Kita berhrap ada respons atas kebijakan ini yang mungkin bisa sampaikan juga dengan parlemen Uni Eropa.”
Edi Sutrisno, petani sawit anggota ACPH berharap, dengan kondisi harga sawit anjlok saat ini, tak ada penderitaan tambahan bagi petani dengan aturan-aturan baru.
Dia bilang, harga tandan buah segar sawit satu bulan terakhir hanya Rp1.600 per kilogram untuk petani plasma, petani non plasma mengikuti harga pasar dari toke dan penampung terkadang hanya Rp700 per kilogram.
“Sejak menjelang Lebaran sampai sekarang turun terus. Apa kami harus ditambah susah lagi dengan aturan baru lagi dari Uni Eropa ini?”
Edi punya dua hektar kebun sawit. Setiap hektar hanya panen tujuh kuintal per dua minggu. Pengeluaran beli pupuk ZA, Dolomit bisa jutaan rupiah per bulan. Dia beli pupuk utang dengan koperasi. Edi mencicil pembayaran selama tiga kali.
Dia juga control system di ACPH. Katanya, tak mudah bagi petani swadaya mengikuti standar atau aturan. Dia harus keliling memantau proses perawatan dan aspek lingkungan ke setiap anggota.
“Kalau ada audit bisa bergadang sampai subuh.Kita di kelompok kerjanya pakai ilmu ikhlas saja.”
***
Madrasah tempat Ali Mustofa mengajar libur. Hanya ada dua ruang kelas. Ali juga anggota ACPH. Menyelingi aktivitas bertani sawit, dia berbagi ilmu mengaji pada anak-anak.
Awal dia jadi petani sawit dengan jadi buruh panen selama 15 tahun. Sistem membagi hasil. Buruh paroan kaveling, sebutannya. Buruh paroan akan menanggung pupuk dan racun separuh-separuh dengan pemilik kebun. Sementara tenaga, sepenuhnya buruh paroan yang mengerjakan mulai dari merawat hingga panen.
Baru tujuh tahun terakhir, Ali punya kebun sawit sendiri. Dia bergabung dengan asosiasi. Ali bilang, tidak ada harga lebih yang secara langsung didapat petani ketika jual TBS dengan atau tidak ber-RSPO. Mekanisme keuntungan hanya dengan lelang sertifikat. “Banyak yang harus diikuti, dari mulai tanam, perawatan, panen semua harus sesuai prinsip berkelanjuatan.”
Mereka juga diminta melindungi satwa, sungai dan lingkungan. tetapi tidak ada jaminan harga untuk petani,” katanya.
Kalau ada aturan uji tuntas Uni Eropa, dia khawatir akan makin memberatkan petani. “Apa imbal balik ke petani? Apa ada jaminan subsidi pupuk, harga stabil?” tanyanya.
Biaya satu kali audit pertama saja, asosiasi bisa mengeluarkan hingga Rp120 juta. Sedang petani menjual TBS masih tergantung harga pasar bebas. Pabrik masih saja memrpioritaskan kebun sawit mitra.
“Kami tidak membuka hutan, sawit yang jamin tanam dari tanah yang sudah memiliki legalitas. Kalau itu memang tuntutan [uji tuntas Uni Eropa] kami tidak bisa bilang apa -apa karena kami cuma petani.”
Murtini, warga Desa Tidar Kuranji juga tanam sawit. Dia punya kebun sawit dua hektar. Dari sawit itulah, dia hidup keluarga dengan tiga anak.
“Uang habis bulan ke bulan. Harga sawit sekarang tidak stabil, pupuk mahal, peptisida mahal. Kalau dahulu ada subsidi, sekarang tidak,” katanya.
Dua anak Martini tak bersekolah tinggi. Anak sulung sudah menikah dan punya kebun sawit. Anak kedua, bekerja sebagai buruh muat di kebun sawit. Murtini punya harapan besar pada anak bungsu perempuan yang masih sekolah.
“Mimpinya, sekolah tinggi. Biar ga kayak orangtuanya ke kebun.”
Uji tuntas Uni Eropa bisa berdampak pada 1, 28 juta keluarga petani dari 48 kabupaten di Indonesia. Mulawarman, Kepala Bappeda Batanghari dalam FGD di Kantor Bappeda Batanghari, menyebutkan, perlu komitmen jaminan juga dari Uni Eropa kalau petani telah mengikuti standar yang mereka buat.
Dia bilang, beberapa waktu lalu pernah terjadi pada kayu. Produk petani ditolak karena dianggap tak sesuai standar perusahaam penampung. Petani terpaksa menjual murah pada broker di sana, daripada membawa pulang ke Indonesia. “Aturannya ini harus menyeluruh diberlakukan juga pada pelaku usaha kecil mereka. Kalau di sini kita sebut UMKM. Jadi tidak ada celah untuk curang.”
Agusrizal, Kepala Dinas Perkebunan Jambi, sepakat dengan perlu jaminan harga di tingkat petani kalau Uni Eropa menerapkan standar baru itu.
“Saya pikir, petani ini masalahnya ada tidak jaminan harga jika mereka mengikuti standar. Ada tidak keterjaminan produk mereka akan diterima dengan harga bagus. Bagaimana mereka bisa menjamin ini?”
Saat ini, ada empat organisasi petani yang sudah memiliki sertifikasi ISPO dan empat ber-RSPO. Agusrizal bilang, sebenarnya petani tidak masalah aturan seperti apa, terpenting soal ketersediaan pasar dan jaminan harga baik.
“Tidak jadi soal aturan baru, yang penting harga bagus tidak, pasar tersedia untuk menampung dan juga dukungan pemerintah.”
*********