- Mengelola sampah berbasis desa tak mudah namun dinilai hal paling tepat untuk mengurangi timbunan di TPA, serta mengendalikan emisi yang ditimbulkan.
- Pengelolaan sampah dengan konsep zero waste dan pemilahan diyakini sebagai strategi pengendalian peningkatan suhu akibat peningkatan gas rumah kaca. Namun dengan syarat tidak dibakar, dipanaskan, dalam berbagai model teknologi insenerator karena malah memproduksi emisi.
- Kota Bandung dinilai bisa mengendalikan emisi dari pengelolaan sampah terdesentralisasi namun kini dalam dilema karena ada target penggunaan insenerator dalam skema waste to energy.
- Perbaikan sistem pengelolaan seperti pemisahan sampah sejak dari sumber, daur ulang dan pengomposan diyakini dapat memotong emisi dari sektor persampahan lebih dari 1.4 juta ton.
Warga Desa Lebih, Kabupaten Gianyar, Bali merasa tersiksa dengan asap kebakaran sampah yang beberapa kali terjadi di tempat pembuangan sampah (TPS) Temesi. Selama tidak memiliki TPS sendiri, inilah dilema yang dihadapi warga. Sampah rumah tangga dan usaha harus dibawa ke Temesi, dan saat terjadi kebakaran, mereka terpapar asap dari persawahan lokasi open dumping gunungan sampah itu.
Akhirnya pada 2022 desa ini memutuskan membuat TPST berbasis desa agar tidak menambah beban Temesi yang kewalahan menerima sampah dari warga dan tempat wisata yang banyak tersebar di Gianyar seperti Ubud, Tegallalang, Payangan, dan lainnya. Kini, sebuah TPST sudah dikelola oleh tim pengangkut dan pengolahnya. Meski baru sebagian warga yang mau langganan angkut sampah.
“Kebakaran TPST Temesi berdampak ke desa ini seperti bau dan asap bahkan gangguan pernafasan, kami putuskan mengelola sampah kami sendiri,” ujar Kades Wayan Agus Muliana, Kepala Desa Lebih saat dikunjungi media difasilitasi Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) pada 10 November 2022.
Desa membuat TPST dengan dana alokasi khusus (DAK) Rp1 Miliar. Jika selama ini, sampah diangkut truk pemerintah lalu dibuang ke TPS, maka dengan TPST berubah. Warga diminta memilah sampah sebelum diangkut agar lebih mudah dikelola di TPST. Jasa angkut sampah yang ditetapkan peraturan desa hanya Rp10 ribu/bulan/KK. Hasil ini tak bisa menutupi biaya operasional, misalnya Rp300 juta untuk gaji 12 orang per bulan. Dengan catatan, upah mereka masih di bawah upah minimum kabupaten yakni Rp1,3-1,7 juta per bulan.
Di Gianyar akan ada sedikitnya 41 TPST skala desa. Subawa dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gianyar khwatir lama kelamaan TPST jadi TPA kalau sampah tidak dipilah dari rumah. Tantangan mengelola sampah di desa dirasakan desa ini. Pertama, tantangan meyakinkan warga memilah, memastikan mereka ikut jasa pengangkutan, dan besarnya biaya pemeliharaan alat-alat TPST. Jumlah warga sekitar 1.800 kk dengan 3 dusun.
Warga yang daftar jasa angkut kurang dari separuhnya, sedangkan kapasitas pengolahan sampah baru 300-400 KK. Karena memiliki sekitar 30 pura, limbah organik dari sisa material upacara mendominasi sekitar 70%, sisanya anorganik. Warga yang tidak daftar jasa angkut ada yang buang sampahnya sendiri ke TPST tanpa dipilah. Sisanya harus ditelusuri ke mana buang sampah.
baca : Berawal dari Krisis Sampah yang Mampu Diselesaikan, Bupati Banyumas Berbagi Kisah di COP27 Mesir
Ketua TPST Komang Oka mengatakan pihaknya berusaha membuat kompos, namun mesin pencacah kurang maksimal karena mesin kecil dan sering bermasalah. Di sisi lain ada bantuan mesin press sampah anorganik yang tidak bisa dipakai karena memerlukan daya listrik tinggi di atas 8.000 watt, jika dihidupkan, daya yang ada tidak mencukupi.
Ia berharap pemerintah memberi bantuan alat yang dibutuhkan. Misal ekskavator untuk angkut sampah.
Pengelolaan sampah berbasis desa tanpa dibakar memerlukan syarat pemilahan dari rumah. Sejumlah warga menunjukkan cara memilah dan wadah-wadah yang mereka pakai. Upaya inilah yang dinilai harus mendapat dukungan berkelanjutan untuk menghindari penumpukan sampah di TPA atau pembakaran sampah.
Cara mudah tekan emisi dengan kelola sampah
Sejumlah peneliti menganalisis keburukan proyek-proyek mengubah sampah jadi energi yang makin marak di Indonesia.
AZWI menilai potensi perbaikan sistem pengelolaan sampah untuk pengurangan emisi karbon masih belum dianggap serius. Padahal perbaikan sistem pengelolaan sampah di kabupaten dan kota akan memotong emisi dari sektor sampah sekitar 84% (1.4 miliar ton).
Berdasarkan studi kasus di Kota Bandung, pendekatan zero waste dapat mengurangi emisi karbon dari pengelolaan sampah menjadi 10% dibandingkan sistem pengelolaan sampah yang mengirimkan sampah tercampur ke TPA. Pengurangan emisi karbon melalui pendekatan zero waste, hanya untuk kota Bandung saja, akan mencapai hampir 2% dari NDC (National Determined Contribution).
Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung Siti Hodijah menilai tidak ada lahan lagi di Bandung untuk open dumping. Karena itu ia mendukung konsep zero waste, agar menambah ruang terbuka hijau. Pengelolaan sampah menurutnya salah satu cara pengendalian emisi.
Saat ini Kota Bandung sedang mencoba investasi pada kampung iklim. Ada sekitar 106 RW yang bersedia menjadi kampung iklim. Muatan utamanya adalah pengurangan sampah di sumber sehingga RW bisa melakukan pengendalian mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
baca juga : Aplikasi Bank Sampah Digital ini Jadi Basis Data lebih 15 Ribu Warga Bali
Laporan yang dirilis oleh Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) menjelaskan bahwa sistem ‘zero waste’ adalah cara tercepat dan paling terjangkau untuk mengupayakan agar pemanasan global tidak melebihi 1.5°C. Potensi pengurangan emisi karbon dari pengelolaan sampah secara global telah dikaji dengan mengambil studi kasus dari 8 kota di dunia, di mana menunjukkan bahwa rata-rata kota-kota ini bisa mengurangi emisi GRK sebesar 84% pada tahun 2030, bila strategi zero waste diterapkan secara penuh.
Kota Bandung terpilih melalui inisiatif program Kang Pisman yang digagas Pemerintah Kota Bandung sejak 2018. Program ini menekankan pada pemilahan dan pengolahan sampah, khususnya sampah organik secara terdesentralisasi.
Sektor pengelolaan sampah menyumbang sekitar 3.3% emisi gas rumah kaca (GRK) global, dan menjadi penyumbang emisi gas metana terbesar kelima. Perbaikan sistem pengelolaan seperti pemisahan sampah sejak dari sumber, daur ulang dan pengomposan diyakini dapat memotong emisi dari sektor persampahan lebih dari 1.4 juta ton. Ini disebut setara dengan emisi 300 juta mobil per tahun atau setara dengan berhentinya semua kendaraan bermotor di Amerika Serikat selama 1 tahun. Namun, angka tersebut tidak menghitung dampak potensial dari sistem pengelolaan sampah saat ini. Setidaknya 70% dari emisi global berasal dari alur ekonomi material pada keseluruhan proses industri manufaktur, transportasi, produksi dan penanganan sampah produk dan kemasan.
“Pengelolaan sampah yang baik merupakan solusi perubahan iklim yang nyata ada di depan kita. Solusi tersebut tidak membutuhkan teknologi yang mahal dan megah. Hanya membutuhkan perhatian lebih pada apa yang kita produksi dan konsumsi, dan bagaimana kita mengelolanya ketika sudah tidak bisa dimanfaatkan,” kata anggota tim penulis dari GAIA, Dr. Neil Tangri.
Melly Amalia, Koordinator Kampanye Zero Waste Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) menilai, studi kasus kota Bandung memperlihatkan bahwa pemilahan dan pengolahan 90-95% sampah organik akan mengurangi emisi gas metan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) hingga tinggal seperempatnya. Setara dengan pengurangan emisi GRK sekitar 575 ribu ton per tahun.
baca juga : Sampah dan Refleksi Peradaban Kita
Mengantisipasi penuhnya TPA Sarimukti pada tahun 2023, saat ini Kota Bandung sedang berada di persimpangan antara melanjutkan program Kang Pisman secara progresif dan pengelolaan sampah tercampur berbasis teknologi termal, yaitu Insinerator di Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka dan Refuse Derived Fuel (RDF). Target pemerintah 1200 ton sampah per hari diproses di insinerator TPPAS Legok Nangka dan sisanya diproses sebagai RDF. Pendekatan berbasis sampah tercampur tersebut dinilai bisa menghambat atau malah mematikan implementasi Kang Pisman secara menyeluruh.
Yobel Novian Putra, Climate and Clean Energy Campaigner dari GAIA Asia Pasifik mengingatkan bila Kota Bandung menerapkan teknologi termal berbasis sampah tercampur sebagai kebijakan utama, maka emisi karbon yang dihasilkan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan pendekatan zero waste. Walaupun penggunaan teknologi termal membuat emisi karbon di TPA hampir tidak ada lagi, namun sumber emisi karbon berpindah ke insinerator itu sendiri. Diperkirakan pada 2030 skenario berbasis teknologi thermal menghasilkan emisi GRK sebesar 312 ribu ton, walaupun pengurangan emisi karbon dari produksi energi telah diperhitungkan.
Sumber terbesar emisi karbon dari insinerator adalah pembakaran plastik. Hal ini karena plastik dibuat dari minyak bumi dan proses pembuatannya juga menghasilkan banyak emisi karbon. Menganggap sampah sebagai sumber energi terbarukan diyakini sebuah kesalahan. “Untuk setiap ton plastik yang dibakar, misalnya, akan melepaskan sekitar 3 ton CO2,” imbuhnya.
Bentuk waste to energy, mengubah plastik jadi bahan bakar seperti pirolisis juga disebut insenerator juga. Beragam istilah teknologi lain adalah thermal dan gasifikasi.
Dari inspeksi lapangannya, banyak teknologi insenerator diklaim ramah lingkungan. Namun, belum ada standar regulasi untuk menentukan tingkat keamanan limbahnya. Misalnya kontrol pencemar udara yang menyaring polutan. “Ada banyak klaim lain, misal bottom ash (debu bawah) bisa jadi pupuk padahal isinya plastik,” sergah Yobel. Salah satu polutan yang berbahaya adalah POPs, polutan organik yang bertahan lama di lingkungan. Larut di lemak dan memicu kanker, serta menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Modus lain adalah penyebutan instalasi insenerator dengan sebuatn green park, taman, dan sejenisnya. Namun menurutnya selalu ada jejak pembakaran yang melepas gas rumah kaca yang instan dengan proses ekstraksi panjang. Plastik ketika dibakar memicu hujan asam yang mengandung klorin dan logam berat.
baca juga : Setelah Gagal, Pembakaran Sampah Jadi Listrik Kembali Dilakukan di Bali
Untuk menjaga pemanasan global di bawah 1.5°C, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Paris, dalam mencegah bencana perubahan iklim, GAIA dan AZWI mendesak para pengambil kebijakan di Indonesia maupun pemimpin global untuk mengambil tindakan. Di antaranya memasukkan target dan kebijakan zero waste ke dalam rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kedua, segera menerapkan phasing out menuju pelarangan sampah organik di TPA melalui pengolahan dan pemanfaatan sampah organik. Ketiga, hentikan proyek teknologi termal yang sedang berlangsung dan yang direncanakan. Misalnya insinerator/tungku, waste-to-energy, dan RDF.
Berikutnya, memprioritaskan pencegahan sampah makanan dan pelarangan plastik sekali pakai (PSP) dan mempercepat kewajiban produsen untuk menerapkan sistem refill, repair, dan inovasi reuse lainnya secara maksimal.