- Masyarakat Palembang dan Sumatera Selatan umumnya memiliki kearifan membangun permukiman di lahan basah.
- Ini terlihat dari adanya rumah rakit maupun rumah panggung yang dibangun masyarakat di sekitar sungai.
- Beragamnya rumah panggung dan rumah rakit di pinggiran sungai-sungai di Palembang, berkaitan erat dengan upaya masyarakat untuk berdamai dengan geografis daerah yang merupakan lahan basah berupa rawa.
- Pembentukan pola permukiman masyarakat di lahan basah merupakan hasil lanskap budaya, dari proses sejarah kompleks dan mencerminkan keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari penduduknya dengan lingkungan.
Jika Anda menyusuri Sungai Musi di Palembang dengan perahu, jangan heran bila melihat rumah terapung di pinggir sungai.
Rumah tersebut namanya rumah rakit. Rumah khas daerah sungai di Sumatera Selatan, khususnya masyarakat Komering.
“Rumah didirikan di atas rakit, makanya disebut rumah rakit. Rakit terbuat dari bambu atau balok-balok kayu dengan atap nipah,” kata Andy Wijaya, Warga Palembang, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [01/02/2023].
Baca: Menjaga Lahan Basah, Merawat Peradaban Bangsa Indonesia
Di sepanjang aliran Sungai Musi juga berdiri rumah panggung, mengunakan tiang dan tangga untuk memasukinya. Rumah panggung terbagi dua: rumah limas dan rumah gudang.
Rumah limas merupakan rumah panggung dengan ciri khas memiliki lima tingkat dengan nilai filosofis masing-masing. Hal ini ada hubungannya dengan hirarki ruang dan sosial yang berlaku masa itu.
Bentuk atapnya seperti rumah joglo [rumah Jawa] yang berdiri di atas tiang-tiang dan tiang-tiang tersebut berdiri di tanah dengan ketinggian tertentu.
“Ketinggian tiang menyesuaikan air pasang, sehingga saat air naik tidak menggenangi rumah,” tutur Andy.
Sedangkan rumah gudang paling banyak dibangun masyarakat Palembang dan sekitar. Biasanya, ditempati para pedagang dan sering dilengkapi gudang sebagai penyimpanan dagangan.
Bentuk bangunannya empat persegi panjang dan tidak ada tingkatan, dengan atap berbentuk limas. Hal inilah yang membedakannya dengan rumah limas.
“Rumah gudang sampai sekarang masih banyak digunakan, terutama daerah rawa,” lanjutnya.
Baca: Capung, Lahan Basah, dan Helikopter
Palembang kota rawa
Beragamnya rumah panggung dan rumah rakit di pinggiran sungai-sungai di Palembang, berkaitan erat dengan upaya masyarakat untuk berdamai dengan geografis daerah yang merupakan lahan basah berupa rawa.
Dalam Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” Vol. 08 No. 02, Juli 2017 berjudul “Kearifan Lokal Dalam Pembentukan Lansekap Budaya Pada Permukiman Lahan Basah di Kota Palembang” karya Tutur Lussetyowati, dijelaskan masyakarat yang menetap di lahan basah sekitar Kota Palembang, sebagian besar berasal dari masyarakat Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Musi Rawas, Musi Banyuasin, dan Palembang yang termasuk Suku Melayu.
Selain itu, terdapat juga penduduk yang berasal dari Jawa, keturunan China, dan Arab.
“Penduduk yang tinggal di atas lahan basah pada kenyataannya bisa langsung menyesuaikan dengan kondisi permukiman dan kondisi alamnya,” tulis peneliti.
Permukiman di rawa mempunyai karakteristik unik, sebagian besar kegiatan penduduknya dilakukan di atas air atau daerah yang masih bisa diinjak.
Penduduk yang bermukim di rawa memiliki mata pencaharian terkait keberadaan sungai seperti nelayan, pedagang di tepi sungai, hingga tukang perahu.
“Pola kegiatan sehari-hari penduduk di atas rawa tidak ada bedanya dengan penduduk di daratan, hanya saja dalam penggunaan ruangnya menyesuaikan kondisi alam yang ada,” tulis peneliti.
Daerah rawa di Palembang dibagi tiga jenis, yaitu rawa yang dalam dan terus menerus berair; rawa sedang, yang saat pasang terendam dan saat surut agak becek; serta rawa dangkal.
Baca: Tersesat Saat Migrasi, Apakah Ada Pengaruh Medan Magnet Bumi pada Burung?
Membelakangi sungai
Tutur Lussetyowati, dalam penelitiannya menyimpulkan pembentukan pola permukiman di lahan basah merupakan hasil lanskap budaya, dari proses sejarah kompleks dan mencerminkan keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari penduduknya dengan lingkungan.
Adapun riwayat warga Palembang yang kini pemukimannya meninggalkan sungai, berawal saat Belanda di zaman kolonial datang dan mulai membangun permukiman.
Saat itu, Belanda memilih darat sebagai daerah yang dibangun, disertai pembangunan kolam-kolam retensi untuk penampungan air [drainase].
“Hal itu sudah mereka perhitungkan terhadap kondisi tanah yang kurang bisa menyerap air,” tulis Tutur.
Namun pada perkembangannya, seiring pesatnya perkembangan Kota Palembang, permukiman dan fasilitas kota semakin gencar dibangun di daratan. Bahkan lahan basah berupa rawa pun ditimbun.
“Hal ini juga dipicu perubahan prasarana transportasi dari sungai ke jalan (darat).”
Penimbunan rawa pun kini sering tidak memperhitungkan persyaratan teknis untuk reklamasi rawa. Akibatnya, timbul dampak pada daerah-daerah yang semula rawa, seperti terjadinya genangan air pada saat musim hujan dan terjadinya banjir pada kawasan-kawasan tertentu.
Tutur menjelaskan, kawasan permukiman yang masih mempertahankan rawa sebagai lahan tempat berdirinya rumah atau bangunan makin berkurang. Kini hanya terdapat di beberapa kawasan, terutama di tepian sungai dengan pengaruh pasang surut air masih sangat terasa.
“Permukiman rawa pada tepian sungai masih sangat penting untuk dipertahankan dengan bentuk semula, mengingat penimbunan rawa yang tidak mengikuti aturan bisa menimbulkan dampak yang cukup serius bagi Kota Palembang.”
Tutur menyarankan, pengembangan rawa dengan cara reklamasi seperti yang sudah dilakukan perlu direncanakan secara skala makro [skala kota], karena dampak aliran air bisa mengakibatkan banjir.
“Oleh karena itu, perlu dilakukan perencanaan kota dengan tetap mempertahankan keberadaan rawa,” ujarnya.
Baca juga: Bagaimana Musang Luwak Menghasilkan Kopi Bercita Rasa Tinggi?
Lahan basah
Lahan basah merupakan sumber kehidupan yang sangat vital bagi seluruh makhluk hidup. Contoh lahan basah antara lain bakau, gambut, rawa-rawa, sungai, danau, delta, daerah dataran banjir, sawah, dan terumbu karang.
Beberapa perwakilan negara di dunia telah menandatangani kesepakatan untuk melestarikan lahan basah. Kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Ramsar ini tepatnya terjadi pada tanggal 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran. Setiap 2 Februari kita memperingatinya sebagai Hari Lahan Basah.
Indonesia menjadi anggota Konvensi Ramsar pada 1991 dengan diterbitkannya Keppres 48 Tahun 1991 yang merupakan Ratifikasi Konvensi Ramsar di Indonesia. Setiap anggota berhak mendaftarkan lokasi-lokasi lahan basahnya yang diakui memiliki kepentingan internasional.