- Kawasan konservasi perairan Jawa Tengah bertambah menyusul penetapan tiga lokasi terbaru sebagai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun lalu. Organisasi lingkungan, Walhi menilai, penetapan kawasan konservasi perairan bisa jadi sekadar di atas kertas karena banyak celah untuk mengeksploitasi kawasan itu.
- Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Kelautan Walhi Nasional Ridwanuddin mengatakan, berapapun luas atau wilayah konservasi perairan ditambah, pada akhirnya dapat diubah dengan Undang-undang Cipta Kerja. Ada beberapa pasal dalam UU ini yang memperbolehkan perubahan wilayah konservasi agar bisa dieksploitasi.
- Penambahan wilayah konservasi perairan semata hanya bagian dari strategi pemerintah untuk mencari dana melalui pasar karbon, ketimbang kepentingan konservasi itu sendiri? Pemerintah, ingin menjadikan laut sebagai salah satu instrumen perdagangan karbon, selain hutan?
- Benovita Dwi Saraswati, Sub Koordinator Pengelolaan Ruang Laut Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng mengatakan, industri dan kepadatan penduduk di wilayah pesisir menjadi tantangan tersendiri bagi pengelolaan konservasi perairan.
Kawasan konservasi perairan Jawa Tengah bertambah menyusul penetapan tiga lokasi terbaru sebagai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun lalu. Organisasi lingkungan, Walhi menilai, penetapan kawasan konservasi perairan bisa jadi sekadar di atas kertas karena banyak celah untuk mengeksploitasi kawasan itu.
Benovita Dwi Saraswati, Sub Koordinator Pengelolaan Ruang Laut Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng mengatakan, ke depan kawasan konservasi perairan ini akan terus kami tambah.
Taman Pesisir Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang, katanya, jadi lokasi pertama kawasan konservasi perairan. Kala itu, pengelolaan kelautan masih jadi kewenangan kabupaten.
Dengan luas 6.800 hektar, penetapan kawasan konservasi ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan Nomor 29/2012. Dari 6.800 kawasan laut, 93,75 hektar terdiri dari daratan.
Penetapan Pesisir Ujungnegoro ini, katanya, sekaligus sebagai upaya melindungi tiga obyek penting sebagai kesatuan ekosistem, yakni, pertama, kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting untuk melindungi potensi sumber daya ikan bagi nelayan tradisional.
Kedua, kawasan situs Syekh Maulana Maghribi yang berperan penting dalam penyebaran ajaran agama di Batang. Ketiga, Pesisir Ujungnegoro yang turut memberi andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang.
“Jadi ini yang pertama kali ditetapkan,” kata Dwi, awal Maret lalu.
Kawasan konservasi ini memiliki ekosistem karang dan mangrove didominasi jenis Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculate, Avicennia arina, dan Bruguiera cylindrica. Juga habitat beberapa jenis ikan dari famili, Pomecentridae, Labridae, juga Siganidae.
Kawasan konservasi perairan kedua adalah Taman Wisata Perairan Pulau Panjang di Jepara. Ia sesuai SK Menteri KKP Nomor 77/2022 tentang penetapan Pulau Panjang sebagai zona konservasi.
Secara keseluruhan, katanya, luas wilayah konservasi Pulau Panjang 497,532 hektar terbagi dalam beberapa klasifikasi. Meliputi zona inti seluas 10,446 hektar (2%), zona pemanfaatan terbatas 482,79 hektar (97%), dan zona rehabilitasi 4,2 hektar.
Mengutip Taka.or.id, sebelum penetapan KKP, lokasi ini lebih dulu masuk dalam proyeksi zona pencadangan wilayah konservasi sesuai SK Bupati Jepara Nomor: 522.5.2/728/2013.
Pulau Panjang memiliki ekosistem termbu karang dihuni beberapa ikan karang dari Famili Pomacentridae, Apogonidae, Monachantidae, Labidae, Lutjanidae, Caesionidae, Nemipteridae, Siganidae, dan beberapa jenis ikan indikator.
Sebelah timur pulau ini ada ekosistem lamun. Ada delapan jenis lamun di Pulau Panjang, yakni, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichiii, dan Thalassodendron ciliatum.
Selain itu, ada juga ekosistem mangrove, terdiri dari tiga spesies, yaitu , Heritiera litoralis, Hibiscus tiliaceus, dan Thespia populnea.
Kemudian, kawasan konservasi Karang Jeruk, Tegal. Penetapan itu tertuang dalam SK Menteri KKP Nomor 75/2022 dengan luas 238,16 hektar. “Targetnya, penguatan konservasi ekosistem terumbu karang,” kata Dwi.
Kawasan konservasi Karang Jeruk terbagi dalam beberapa peruntukan, zona inti 7 hektar (2,9%) untuk habitat penting. Lalu, zona pemanfaatan terbatas 228,16 hektar (95,8%) dengan habitat penting 5,05 hektar. Lalu, zona rehabilitasi 2,9 hektar (1,2%).
Kawasan konservasi terakhir adalah Perairan Karang Jahe di Kabupaten Rembang seluas 33,6 hektar, tertuang dalam SK Menteri KKP Nomor 76/2022.
Kawasan konservasi Karang Jahe terbagi ke beberapa peruntukan, zona inti 1,37 hektar (4,0%), zona pemanfaatan terbatas 24,13 hektar (71,7%) dan zona rehabilitasi 8,15 hektar (24,28%).
Dwi bilang, empat kawasan konservasi itu masih jauh dari rencana zonasi wilayah konservasi perairan yang dicadangkan ada 33 titik meliputi perairan Pantai Utara (Laut Jawa) dan Pantai Selatan (Samudera Hindia).
“Kan memang proses bertahap. Sebelum diajukan, harus ada kajian-kajian terlebih dulu,” katanya ditemui di kantornya. Terlepas dari persoalan itu, baginya, penetapan wilayah konservasi ini sangat penting.
Dia bilang, semangat utama penetapan wilayah konservasi ini adalah perlindungan. Lokasi yang telah ditetapkan dinilai memiliki peran penting terhadap ekosistem misal, terumbu karang.
Bagi Dwi, ekosistem terumbu karang punya peran penting untuk menjaga sumber daya ikan. Di sanalah habitat ikan-ikan.
Untuk itu, katanya, melindungi kawasan itu berarti menjaga setok ikan masa depan. “Sebaliknya, tatkala karang rusak, ikan juga akan enggan datang.”
Karena itu pula, penetapan kawasan konservasi membawa sejumlah konsekuensi. Pada zona inti, misal, hanya untuk pendidikan dan penelitian. Sedangkan pemanfaatan, hanya bisa pada zona pemanfaatan sekalipun dalam scope sangat terbatas. Sebut saja untuk penangkapan ikan, hanya bagi kapal tradisional atau di bawah 5 GT.
Dalam dokumen Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian KKP, Indonesia setidaknya memiliki sembilan klasifikasi wilayah konservasi perairan. Tiga kelompok dikelola KKP meliputi Taman Nasional Perairan satu titik seluas 3,3 juta hektar.
Kemudian, Suaka Alam Perairan tersebar di tiga lokasi dengan total luas 445,630 hektar. Lalu, Taman Wisata Perairan pada enam lokasi berbeda dengan total luasan 1.541.040 hektar.
Selain KKP, ada juga kawasan konservasi perairan dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ada 32 titik terdiri dari Taman Nasional Laut di tujuh titik seluas 4.043.541 hektar.
Ada Taman Wisata Alam Laut tersebar di 14 titik dengan luasan 491.248 hektar. Lalu, Suaka Marga Satwa Laut dan Cagar Alam Laut.
Pada 2015, misal, Suaka Marga Satwa Laut dikelola KLHK ada lima titik seluas 5.678,25 hektar. Pada 2019, jumlah menyusut jadi empat titik seluas 5.400 hektar, berkurang 278,25 hektar.
Kondisi sama terjadi pada Cagar Alam Laut, pada 2015 tercatat enam titik luasan 154.480 hektar. Pada 2019, berkurang jadi lima titik dengan luasan hampir tinggal separoh, 91.820 hektar.
Ada juga wilayah konservasi perairan dikelola provinsi. Bila pada 2015, tercatat ada 103 titik seluas 6,4 juta hektar. Pada 2018, bertambah jadi 10,9 juta hektar tersebar di 132 lokasi.
***
Langkah KKP menetapkan tiga lokasi terbaru sebagai wilayah konservasi perairan di Jawa Tengah disambut positif kalangan nelayan. Lestari Priyanto, Ketua Paguyuban Nelayan Dampo Awang Rembang mendukung kebijakan itu.
“Memang seharusnya begitu. Pemerintah perlu menambah spot-spot kawasan konservasi untuk menjaga sumber daya kelautan, sekaligus sebagai tempat pemijahan ikan,” kata Riook, sapaan akrab, tengah Maret lalu.
Dia bilang, sektor kelautan dan perikanan kian menghadapi banyak tantangan belakangan ini. Armada kapal bertambah dipastikan mengakibatkan penangkapan makin massif. Karena itu, perlu upaya agar sumber daya ikan tetap terjaga. Salah satunya, dengan menambah wilayah-wilayah konservasi ini.
“Yang lebih penting lagi pengawasannya. Bagaimana pengelolaan dan pengawasannya? Jangan sampai setelah ditetapkan, tidak diawasi sehingga akhirnya percuma.”
Ancaman UU Cipta Kerja?
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Kelautan Walhi Nasional Ridwanuddin merespons positif penambahan wilayah konservasi perairan di Indonesia termasuk di Jawa Tengah. Hanya saja, ada beberapa hal perlu jadi catatan penting, terutama berkaitan dengan Undang-undang Cipta Kerja.
“Karena bagaimanapun juga bicara konservasi tidak bisa lepas dari regulasi yang satu ini,” katanya.
Menurut Parid, berapapun luas atau wilayah konservasi perairan ditambah, pada akhirnya dapat diubah dengan Undang-undang ini.
Menurut Parid, ada banyak pasal dalam UU ini yang memberi legitimasi peluang perubahan status itu. Sebab, ada beberapa pasal dalam UU ini yang memperbolehkan perubahan wilayah konservasi agar bisa dieksploitasi.
“Jadi, sekalipun ada banyak wilayah konservasi yang dibuat, toh kalau kepentingan investasi membutuhkan, bisa diubah tuh statusnya. Artinya, perluasan wilayah konservasi ini akhirnya tidak berguna selama UU Cipta Kerja masih seperti itu.”
Beberapa pasal itu antara lain menyebutkan, pemerintah pusat berwenang menetapkan perubahan status zona inti pada kawasan konservasi nasional. Begitu pula dengan Pasal 5 yang membuka ruang ada kegiatan eksploitasi panas bumi di wilayah perairan.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan mempertegas keraguan akan komitmen pemerintahan mengkonservasi laut. Dalam aturan itu, dijelaskan, kawasan konservasi nasional boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional.
Karena itu, kata Parid, penambahan wilayah konservasi perairan tak ubahnya hanya dokumen di atas kertas bahkan beberapa tumpang tindih.
Dia contohkan, Kawasan Konservasi Perairan di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Kendati sudah jadi kawasan konservasi, dalam waktu sama, juga masuk dalam Kawasan Industri Weda Bay untuk proyek pertambangan nikel yang masuk proyek strategis nasional.
Menurut Parid, apa yang terjadi pada wilayah konservasi perairan di Kalimantan Utara (Kaltara) juga contoh. Bagaimana tidak, kawasan konservasi perairan yang sebelumnya seluas 8.000 hektar, dipersenpit tinggal 2.000 hektar hanya demi pembangunan pelabuhan.
Parid juga mengkritik pola yang dilakukan pemerintah dalam menetapkan wilayah konservasi. Selama ini, katanya, pemerintah cenderung pakai pendekatan top down ketimbang buttom up dalam menentukan wilayah konservasi. Akhirnya, kebijakan itu justru menimbulkan persoalan lain di kalangan nelayan. Atas nama keberlanjutan, kawasan tangkap nelayan jadi sebagai kawasan inti konservasi
“Jarang sekali pemerintah tidak membicarakan rencana penetapan itu dengan masyarakat atau nelayan setempat. Padahal, yang merasakan dampak pertama dari kebijakan itu adalah masyarakat itu sendiri,’ kata Parid.
Parid melihat, penambahan wilayah konservasi perairan semata hanya bagian dari strategi pemerintah untuk mencari dana melalui pasar karbon, ketimbang kepentingan konservasi itu sendiri.
Pemerintah, katanya, ingin menjadikan laut sebagai salah satu instrumen perdagangan karbon, selain hutan. Terlebih lagi luas hutan makin terdegradasi.
Benovita mengatakan, industri dan kepadatan penduduk di wilayah pesisir menjadi tantangan tersendiri bagi pengelolaan konservasi perairan.
‘Kayak contoh kasus di Batang itu yang bersebelahan dengan PLTU. Tentu itu menjadi tantangan tersendiri. Jadi, semua harus concern supaya aktivitasnya tidak mengganggu. Semua harus bersinergi.”
******