- Pulau Kayoa di Halmahera Selatan, provinsi Maluku Utara ternyata menyimpan jejak arkeologi manusia purba berupa situs gua Uattamdi I dan Uattamdi II.
- Hasil ekskavasi arkeologi Universitas Tokai Jepang dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Indonesia di situs Uattamdi Pulau Kayoa pada 2015, membuktikan proses migrasi dan sisa-sisa peradaban manusia era Paleometalik dan Neolitik pada 5.000 tahun lalu.
- Maluku Utara menjadi bagian penting migrasi manusia purba dari daratan utara yaitu Cina dan Filipina, ke Kepulauan Oseania di Selatan.
- Sayangnya situs arkeologi Uattamdi Pulau Kayoa tidak terurus, bahkan terancam oleh aktivitas pertambangan pasir pantai dan abrasi yang telah menggerus 30 meter daratan pesisir dalam 30 tahun terakhir
Jalan agak menurun, dihiasi batu karang menonjol dan tajam muncul di atas tanah. Jalan pintas menuju situs arkeologi purba Uattamdi di Pulau Kayoa, Halmahera Selatan, Maluku Utara ini, berada sekitar 500 meter dari ujung barat daya Desa Guruapin.
Mongabay Indonesia bersama beberapa rekan berkesempatan melihat langsung situs arkeologi Uattamdi pada akhir Maret 2023 lalu.
Situs ini jauh dari perhatian, bahkan dalam kondisi sangat terancam. Terutama akibat tambang pasir dan abrasi yang semakin mendekati lubang gua situs itu berada.
Ada dua akses jalan menuju situs ini. Pertama melalui pesisir pantai sejauh dua kilometer. Kedua melalui bagian utara ujung kampung Guruapin yang lebih dekat, melewati jalan tanah yang menjadi akses mobil yang hampir setiap hari mengangkut pasir yang ditambang warga tak jauh dari situs.
Sekitar 350 meter kemudian sampai ke dua situs purba yakni gua Uattamdi I dan Uattamdi II yang berjarak hanya sekitar 75 meter.
Kondisi kedua situs terlihat sama yakni tidak ada penanda seperti papan nama atau penunjuk sebagai situs arkeologi awal kehidupan atau migrasi manusia di pulau Kayoa ini.
“Sebelum tahun 1990-an, jarak gua ini dengan bibir pantai masih sangat jauh, mungkin 50 sampai 60 meter. Saat ini hanya 30-an meter,” kata M. Rahmi Husen, tokoh masyarakat Desa Guruapin, Pulau Kayoa yang menemani melihat situs itu.
baca : Lembah Bada, Situs Megalitik Tertua Indonesia yang Diusulkan Jadi Warisan Dunia
Dia bercerita, saat masih berusia belasan tahun, kawasan pantai di Uattamdi ini menjadi tempat bermain. Pantai pasir putihnya cukup jauh dari gua. Tetapi saat ini, pepohonan di tepi pantai sudah banyak yang roboh tersapu abrasi parah. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, sekira 30 meter kawasan pantai hilang akibat abrasi.
Tak jauh dari mulut gua situs Uattamdi II, terdapat aktivitas penambangan pasir untuk bahan bangunan di kampung itu memperparah abrasi dan mengancam keberadaan situs purba itu.
Setiap hari, ratusan kubik pasir dikeruk menggunakan alat berat dan diangkut menggunakan mobil pick up untuk keperluan pembangunan rumah warga. Penuturan warga setempat, pasir itu juga digunakan untuk pembangunan salah satu proyek.
Sementara di tepian pantai itu, pohon kelapa maupun jenis pohon pantai seperti ketapang, waru dan jenis lainnya bertumbangan saling menindih menghiasi bibir pantai Uattamdi. Kondisi diperparah dengan sampah plastik kiriman dari laut yang berserakan sepanjang dua kilometer bibir pantai. “Kondisinya benar-benar memprihatinkan,” komentar Rahmi.
Kondisi memprihatinkan akibat penambangan pasir pantai yang masif serta abrasi, tetapi tak ada larangan aktivitas tambang. “Hal ini yang paling disesalkan karena tak ada larangan atau batasan sehingga pasir pantai terus diambil. Dampaknya sangat nyata abrasi makin parah. Situs arkeologi ini juga cepat atau lambat semakin terancam,” ujar Rahmi.
baca juga : Cerita Makhluk Hidup dan Alam Papua di Situs Megalitik Tutari
Pemerintah desa misalnya sejauh ini belum memberikan perhatian terhadap situs purbakala ini. “Sejauh ini pemerintah desa belum punya rencana menjadikan situs ini sebagai salah satu perhatian semisal destinasi wisata ilmu pengetahuan,” katanya.
Rahmi bercerita, pada awal ekskavasi arkeologi situs Uattamdi ini, dia menyaksikan beberapa hasil yang ditunjukan kepada khalayak di Pulau Kayoa pada waktu itu. Misalnya tembikar dan alat-alat yang digunakan manusia di zaman itu.
Peneliti dan Dosen Arkeologi Universitas Khairun Ternate Maluku Utara, Dr. Nurracman Irianto mengatakan, Maluku Utara terutama daerah pulau-pulaunya, banyak memiliki tinggalan arkeologi yang belum dikaji lebih mendalam. Padahal pulau-pulau tersebut, memiliki kekayaan tersebut yang bisa dikembangkan menjadi sumber ilmu pengetahuan dan pariwisata.
Gugusan Pulau Kayoa di Maluku Utara, katanya, memiliki bukti banyak tinggalan masa lalu. “Selain di Pulau Kayoa, Siko, Tameti dan beberapa pulau kecil lainnya memiliki tinggalan arkeologi yang perlu ditelusuri lebih lanjut,” katanya. Di Pulau Kayoa sendiri masih banyak rock shelter yang belum dikaji lebih mendalam.
Menurutnya, para arkeolog telah memperkirakan beberapa daerah di Maluku Utara adalah daerah lintas yang sangat strategis bagi perpindahan penduduk dari Asia Tenggara (Indonesia dan Filipina) ke Pasifik. Karena itu tidaklah mengherankan apabila di Maluku Utara ditemukan gua atau rock shelter yang digunakan sebagai tempat tinggal untuk berlindung para imigran yang melintasi wilayah tersebut.
menarik dibaca : Inilah Makanan Manusia Purba Sulawesi
Menurut Nurrachman, Kayoa memiliki dua periode arkeologi yang muncul terwakili saat ekskavasi yang dilakukan di ceruk peneduh Uattamdi Tenggara, Desa Guruapin, Pulau Kayoa oleh Peter Bellwood dan timnya. Mulai dari manik-manik kaca, pecahan tembikar koin-koin China dan cangkang kerang sebagai bekal untuk penguburan.
Karena kekayaan arkeologi yang dimiliki Maluku Utara termasuk di gugusan Pulau Kayoa ini, Nurrachman mengimbau pemerintah ikut memberikan perhatian pada kekayaan di bidang arkeologi ini. Sebab menurutnya, kekayaan ini tak hanya untuk fungsi ilmu pengetahuan dan kekayaan budaya masa lalu saja tetapi juga memiliki manfaat lebih untuk pengembangan pariwisata Maluku Utara ke depan.
Sebelumnya, sekelompok arkeolog gabungan dari School of Marine Science and Technology Tokai University Jepang, dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Indonesia melakukan ekskavasi arkeologi di situs Uattamdi Pulau Kayoa pada tahun 2015. Riset ekskavasi yang sama dengan yang dilakukan Peter Bellwood ini ingin membuktikan proses migrasi dan sisa-sisa peradaban manusia era Paleometalik (2.500-3.000 tahun lalu) dan Neolitik (3.500-5.000 tahun lalu) di Maluku Utara.
Menurut Rintaro Ono, profesor di Department of Maritime Civilizations Tokai University, posisi Maluku Utara termasuk penting dalam kegiatan migrasi manusia dari daratan utara, Cina dan Filipina, ke Kepulauan Oseania di Selatan. “Letak geografis Maluku memungkinkan sebagai tempat migrasi atau transit,” kata Ono seperti dikutip dari Tempo.co.
Ono beserta timnya melakukan tiga kali penggalian, yaitu pada 2012, 2013, dan Maret 2015. Mereka menggali di tiga lokasi di Maluku Utara untuk mencari bukti-bukti migrasi manusia yang diduga melakukan perjalanan ke Maluku melalui dua jalur.
Migrasi jalur utara yaitu dari Mindanao, Filipina ke Maluku Utara melalui Sangihe-Talaud, Sulawesi Utara dan Daratan Sunda, Sulawesi Tengah. Dan migrasi jalur selatan, dari Mindanao, Filipina ke Jawa, Nusa Tenggara, hingga akhirnya ke Maluku, Papua, dan Australia. Tiga titik penggalian yaitu Situs Gorua di Halmahera Utara, Aru Manara di Halmahera, dan Uattamdi di Pulau Kayoa.
baca juga : Ekspedisi Ini Temukan Peninggalan Budaya Maritim Sangihe
Para peneliti melakukan ekskavasi pertama di Uattamdi pada 2012. Situs tersebut pertama kali digali oleh Peter Bellwood pada 1991-1996. Seperti Bellwood, tim yang dipimpin Ono mendapatkan tempayan tembikar merah dan hitam berumur 3.400 tahun lalu, yang mirip dengan yang ada di Mindanao, Filipina. Di situs ini juga ditemukan tulang babi dan ratusan kerang serta ikan dari lapisan tanah Neolitik.
Hal tersebut membuktikan ada dua peradaban berbeda di Uattamdi, yakni peradaban Paleolitik dan Neolitik akhir. Sisa-sisa dua peradaban ini sebelumnya banyak ditemukan di Filipina dan dataran Cina Selatan. Ada satu temuan yang semakin menguatkan hipotesa migrasi yaitu benda kaca dan tiga manik-manik bekas gelang dari dua jenis kaca berbeda. Setelah dianalisis ternyata kedua benda berwarna biru ini mengandung potassium (Ka), mangan (Mn), dan besi (Fe), yang kandungannya mirip dengan yang ditemukan di Cina.