Dalam opini “Hutan IKN Harusnya Hutan Masyarakat” (Kompas.id, 1/6/2023), R Yando Zakaria menuliskan Hutan kota di Ibukota Negara Nusantara (IKN) ke depan haruslah dapat menjadi hutan (adat) sebagaimana yang dikonsepsikan dalam kehidupan masyarakat adat. Antara lain, hutan adat dimaksud juga bisa menjadi sumber kehidupan ke depan, seperti untuk mendapatkan bahan-bahan makanan dan obat-obatan.
Namun dalam bagian akhir tulisannya, Yando mengingatkan bahwa kita harus cermat dalam menentukan siapa masyarakat adat dan juga masyarakat lokal di kawasan itu agar tidak menimbulkan masalah baru. Untuk itulah, menurut Yando kajian yang lebih dalam diperlukan.
Saya kira inilah problem krusialnya yaitu menentukan siapa masyarakat adat dan masyarakat lokal di kawasan IKN tersebut. Pertanyaan lanjutannya adalah siapa yang berwenang menentukan, pemerintah atau masyarakat adat sendiri?
Pertanyaan lanjutan ini sepertinya belum tuntas sampai saat ini. Di banyak daerah, menentukan siapa yang berhak disebut sebagai komunitas masyarakat adat sepertinya masih menjadi persoalan yang berlarut-larut. Perbedaaan persepsi tidak hanya terjadi antara Pemerintah dengan masyarakat adat sendiri.
Permasalahannya kemudian, ada tarik menarik yang terjadi antara sesama kelompok dalam masyarakat adat bersangkutan. Kelompok tertentu misalnya merasa lebih berhak disebut sebagai masyarakat adat, sementara kelompok lain juga merasa memiliki hak yang sama. Muaranya adalah berkaitan dengan kewenangan pengelolaan sumber daya alam yang diklaim menjadi milik masyarakat adat bersangkutan. Konflik pada akhirnya tidak hanya vertikal tetapi juga horisontal.
baca : Masyarakat Adat di Tengah Proyek IKN Nusantara
Sekalipun sejak lama Pemerintah telah mengeluarkan peraturan terkait keberadaan dan eksistensi masyarakat adat, misalnya Menteri Dalam Negeri pernah mengeluarkan Permendagri No.52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No.10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu. Terakhir peraturan tersebut diganti dengan Permen No.18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Namun berbagai beleid itu nampaknya tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Konflik pengusahaan tanah dan sumber daya alam belum sepenuhnya bisa terselesaikan dan akumulasinya akan menjadi bom waktu yang bisa meletus tanpa terduga.
Permasalahannya sekian banyak peraturan yang dibuat Pemerintah dinilai miring oleh sebagian kelompok masyarakat adat sebagai bentuk intervensi negara yang ujung-ujungnya dirasakan masyarakat adat sebagai upaya meminggirkan masyarakat adat dari hak ulayat dan sumber daya alam yang diyakini menjadi kewenangan penuh masyarakat adat.
Versi Pemerintah
Dalam Permendagri No.52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, gubernur dan bupati/walikota diberi kewenangan melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Langkah awalnya, bupati/walikota membentuk panitia masyarakat hukum adat yang beranggotakan sekretaris daerah sebagai ketua dan Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris. Selanjutnya sebagai anggota adalah kepala bagian hukum, camat dan kepala SKPD terkait.
Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dilakukan melalui tahapan identifikasi,verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat, dan penetapan masyarakat hukum adat. Identifikasi dilakukan dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat dengan mencermati sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Setelah dilakukan verifikasi dan validasi, hasilnya diumumkan kepada masyarakat hukum adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.
Bila tidak ada keberatan, bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi panitia masyarakat hukum adat dengan keputusan kepala daerah. Bila masyarakat hukum adat keberatan terhadap keputusan tersebut, dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
baca juga : IKN Nusantara Melaju, Was-was Nasib Masyarakat Adat
Pertanyaannya kemudian sudah berapa keputusan yang dikeluarkan bupati/walikota di seluruh Indonesia tentang penetapan dan pengukuhan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Permendagri tersebut? Sepertinya inilah persoalannya. Tidak ada data resmi tentang pengukuhan masyarakat hukum adat dimaksud sejak peraturan tersebut dikeluarkan.
Perkiraan saya, Permendagri tersebut tidak dapat diimplementasikan. Mendapat resistensi dari masyarakat adat mengingat dominannya kewenangan dan keterlibatan pejabat pemerintahan. Sebaliknya sangat minim peran serta masyarakat adat sendiri yang hanya dijadikan obyek penetapan. Masyarakat adat tidak diposisikan sebagai subyek dalam proses identifikasi sampai penetapan.
Model Pengakuan Ideal?
Dalam RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang disusun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), masyarakat adat berwenang melakukan identifikasi secara mandiri tanpa melibatkan aparatur pemerintahan. Hasil identifikasi diverifikasi oleh panitia pengakuan masyarakat adat yang keanggotaannya mencerminkan unsur pemerintah, unsur akademisi, masyarakat adat dan masyarakat sipil.
Untuk masyarakat adat yang wilayahnya lintas kabupaten/kota, verifikasi dilakukan oleh panitia pengakuan masyarakat adat provinsi. RUU juga mengamanatkan pembentukan komisi perlindungan dan pengakuan masyarakat adat yang salah satunya berwenang melakukan verifikasi pengukuhan masyarakat adat lintas provinsi. Hasil verifikasi disampaikan kepada presiden untuk ditetapkan.
baca juga : IKN Nusantara, Bagaimana Pastikan Ramah Alam dan Lindungi Hak Masyarakat Adat?
Sayangnya sampai saat ini RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan menjadi UU. Sementara itu persoalan di lapangan terkait isu keberadaan masyarakat dan perlindungan masyarakat adat masih terus mengemuka antara lain terkait pembangunan Ibukota Negara Nusantara (IKN).
Maka menjadi sangat penting dan prioritas sekali bagi Pemerintah dan DPR untuk segera menegaskan sikap terkait pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sudah hampir 15 tahun terkatung-katung dan mengendap di DPR. Kita berharap ada kompromi kebijakan yang terbaik bagi pengakuan dan penetapan masyarakat adat, sehingga RUU Masyakat Adat bisa segera disahkan.
*Zenwen Pador, Praktisi Hukum Sumber Daya Alam, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI). Artikel ini adalah opini pribadi penulis