- Banjir rob bisa menjadi masalah serius bagi eksistensi batik Pekalongan. Perubahan iklim dan eksploitasi air tanah memperparah terjadi penurunan muka air tanah di pesisir utara Jawa.
- Bencana ini sangat berdampak bagi masyarakat di pesisir, termasuk para buruh batik. Tak hanya kerugian ekonomi yang dirasakan, mereka pun harus berjuang saat banjir rob datang berulang kali. Khususnya bagi mereka yang tidak memiliki pilihan untuk berpindah. Pendapatan harian tersedot untuk bertahan hidup dari serangan banjir rob. Apalagi industri batik informal tidak ada ikatan kerja juragan dengan buruh.
- Sebuah penelitian Mercy Corps Indonesia (MCI) bersama akademisi dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Diponegoro, memproyeksikan kabupaten dan kota Pekalongan akan kehilangan 5.271 hektar wilayah pada 2035 karena kenaikan permukaan air laut dan penurunan tanah.
Batik dengan warna-warna cerah, seperti biru, hijau, kuning, jingga dan merah muda sangat identik dengan batik Pekalongan. Tak dapat dipungkiri, kekhasan batik pesisir pantai utara Jawa ini pun banyak diburu wisatawan. Bahkan batik menjadi salah satu industri yang menjadi tulang punggung bagi Pekalongan. Sementara itu, para buruh batik Pekalongan kini dihadapkan dengan ancaman banjir rob yang berulang.
Lukni Maulana, Kartini, dan Faizyah merupakan tiga buruh batik yang ada di Pekalongan. Mereka bisa jadi menjadi bagian dari 1.300 jumlah pembatik yang terdaftar di pemerintahan Pekalongan. Sebagai buruh batik, penghasilan mereka seringkali tak menentu dan terhimpit dengan kondisi banjir rob.
Kartini dan Faizyah adalah ibu dan seorang anak yang tinggal di Degayu, kelurahan paling utara Pekalongan dan paling terdampak banjir rob. Sedangkan, rumah pertama Lukni yang berada di Tegaldowo jebol karena banjir rob dan kini berpindah dua kilometer ke arah utara.
Mereka tidak ada pilihan untuk pindah rumah, bahkan untuk meninggikan rumah. Jika air pasang naik, mereka akan mengungsi. Di tengah banjir, mereka pun harus tetap membatik untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka pun termasuk keluarga miskin penerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH).
Kartini dan Faizyah merupakan kelompok rentan yang terdampak perubahan iklim. IPCC dalam laporannya juga pernah menyebutkan bahwa kelompok miskin menjadi kelompok paling terdampak perubahan iklim karena aktivitas ekonomi yang terus terganggu.
Berbeda cerita dengan Lukni Maulana. Sebagai mantan juragan batik, dia terpaksa pindah pada Juni 2022 karena banjir rob di Tegaldowo Wetan. Rumahnya kini hanya tinggal puing yang menjadi saksi perjuangan Lukni merintis usaha batiknya.
Dia harus berpindah rumah dua kali karena hal yang sama–banjir rob. Modal bisnis batik habis untuk perkara pindah rumah. Hingga kini, Lukni sang juragan harus menjadi buruh pewarna batik. Pendapatannya pun menurun dan habis untuk bertahan hidup dari serangan banjir rob.
Baca juga: Kala Kota Batik Pekalongan Alami Banjir Rob
Analisis Yayasan Auriga Nusantara memperlihatkan, ada perubahan signifikan pada daratan di Degaayu—rumah Lukni, Kartini dan Faizyah—dari 2000-2021. Berdasarkan citra satelit awal 2020, daratan di Degayu masih belum terendam air karena laut masih jauh dari pemukiman.
Citra satelit 2021 memperlihatkan bibir pantai tergerus dan air laut yang membasahi hampir 50% daratan di ujung utara Kota Pekalongan. Terutama, di sebelah timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Batang.
Ancaman ini pun diperkuat dengan berbagai penelitian yang menyebutkan penurunan tanah di Pekalongan pasti terjadi di masa depan. Peneliti ITB menyebutkan 1-20 cm per tahun, sedangkan peneliti BRIN menyebutkan 10-11 cm per tahun.
Prediksi kota Pekalongan akan tenggelam pun diproyeksi dari hasil penelitian Mercy Corps Indonesia (MCI) bersama para akademisi. Tahun 2035, Kabupaten dan Kota Pekalongan akan kehilangan 5.271 hektar dan kerugian ekonomi ditaksir mencapai USD 2,15 Miliar.
Heri Andreas, ahli Geodesi dari ITB menyebutkan bahwa eksploitasi air tanah akan memperparah banjir rob. Apalagi, eksploitasi air tanah di Pekalongan terbilang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekalongan mencatat, pertumbuhan penduduk hampir 40.000 jiwa selama 2000-2021. Data terakhir 2021 mencatat, penduduk Kota Pekalongan mencapai 308.310 jiwa.
Pertumbuhan penduduk, industri dan perkantoran membuat kebutuhan air tanah meningkat. Mayoritas penduduk kota, katanya, masih mengandalkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.
Heri mengatakan banjir rob di Pekalongan bisa selesai dengan kemauan kuat. Yang paling utama, kata Heri, menghentikan eksploitasi air tanah. Banyak kota di dunia sudah setop penggunaan air tanah dengan tegas dan berhasil.
Dalam sebuah penelitian 2013, Tokyo berhasil menekan penggunaan air tanah sejak awal 1960 dan berhasil menghentikan penurunan tanah dalam waktu 10 tahun setelah itu.
Baca juga: Banjir Rob Pekalongan Hidup Pembatik Makin Tak Menentu
Eksistensi Batik yang Terancam Hilang
Pada 2009, batik menjadi warisan budaya tak benda yang ditetapkan oleh UNESCO. Pekalongan menjadi salah satu wilayah yang dikenal sebagai pelopor pembuatan batik secara massal dengan teknik cetak.
Dinas Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan menilai banjir rob sebagai bencana yang mengancam eksistensi pembatik. Padahal batik memberikan sumbangsih bagi pendapatan daerah Pekalongan. Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Pekalongan menymbang 37% ekspor pada 2021 yang angkanya terus naik.
Meskipun demikian, tak ada program khusus dari dinas ini pada penggerak perekonomian lokal itu. Menurut Nugroho Hepi Kuncoro, Kabid Koperasi Dindangkop Pekalongan, yang bisa mereka lakukan hanya menelurkan regulasi yang mengimbau para juragan memerhatikan kesejahteraan pembatik, terutama di bagian utara yang terkena banjir rob.
“Kami atur supaya ada BPJS Ketenagakerjaan untuk mereka. Tapi tidak semua bisa. Memang sektor informal ini susah ya, tergantung dari juragannya,” kata Hepi.
Alokasi dana atau bantuan dari pemerintah bagi perajin atau warga dengan lahan terendam rob pun belum ada. HA Afzan Arslan Djunaid, Walikota Pekalongan mengatakan, sampai saat ini tak ada mekanisme ganti rugi yang diberikan Pemerintah Pekalongan terhadap lahan-lahan yang hilang ditelan air laut. Afzan hanya bilang, lahan yang hilang tidak bisa lagi kembali ke daratan.
“Tidak ada (ganti rugi). Kecuali, mereka pembebasan lahan untuk dibikin tanggul.”
***
Tulisan selengkapnya:
Tulisan pertama: Kala Kota Batik Pekalongan Alami Banjir Rob
Tulisan kedua: Banjir Rob Pekalongan Hidup Pembatik Makin Tak Menentu