- Pemberian hak kelola hutan kepada masyarakat di Siak, Riau, terbilang kecil. Pemerintah Siak pun diminta mempercepat izin kelola hutan warga dengan skema perhutanan sosial. Gayung bersambut. Baru-baru ini, dilakukan penandatanganan komitmen oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra dan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak.
- Pemerintah Siak memang harus mengejar percepatan pemberian akses legal kelola hutan pada masyarakat. Pasalnya, capaian dan realisasi perhutanan sosial di Riau keseluruhan, termasuk Siak, secara khusus, masih jauh dari target.
- Riko Kurniawan, Direktur Paradigma, merekomendasi pembentukan Tim Satgas Percepatan Perhutanan Sosial di Siak. Disertai dukungan anggaran desa untuk usulan perhutanan sosial dan dukungan pengelolaan pasca peroleh izin.
- Data Dyah Sih Irawati, Kasubdit Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, menyatakan, target perhutanan sosial Indonesia 12,7 juta hektar pada 2030, baru terealisasi 5.383.778 hektar, hingga Juni 2023. Ia melibatkan 1.201.941 keluarga dengan 10.027 surat keterangan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
Pemberian hak kelola hutan kepada masyarakat di Siak, Riau, terbilang kecil. Pemerintah Siak pun diminta mempercepat izin kelola hutan warga dengan skema perhutanan sosial. Gayung bersambut. Baru-baru ini, dilakukan penandatanganan komitmen oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra dan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak.
Kegiatan ini difasilitasi Perkumpulan Elang, organisasi masyarakat sipil yang tengah mengkampanyekan penyelamatan hutan alam Semenanjung Kampar-Kerumutan. Penyelamatan hutan ini, salah satu lewat pemberian hak kelola hutan pada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Turut hadir menyaksikan sejumlah kepala kampung maupun kepala desa.
Pemerintah Siak dan Pelalawan—dua wilayah di mana Semenanjung Kampar dan Kerumutan membentang—sama-sama berkomitmen dan berinisiatif andil dalam Indonesia folu net sink 2030, dengan mendorong dua lanskap jadi proyek ujicoba nasional dalam konteks mengurangi emisi.
Semenanjung Kampar-Kerumutan masih memiliki tutupan hutan alam 600.000 hektar lebih. Di sana ada wilyah kelola masyarakat atau indikatif perhutanan sosial sekitar 55.000 hektar. Total peta indikatif areal perhutanan sosial (PIASP) dua ekosistem ini 209.116,33 hektar.
Bentuk folu net sink di Semenanjung Kampar-Kerumutan yang hendak didorong dengan mempertahankan hutan alam tersisa seluas 652.115,74 hektar. Kemudian, merestorasi kawasan hutan terdegradasi 65.000 hektar. Diikuti penyelesaian sawit masyarakat dalam kawasan hutan 25.353,80 hektar.
“Harus ada percepatan. Takutnya, dengan perubahan kebijakan, wilayah itu malah didorong untuk konsesi perusahaan lagi,” kata Janes Sinaga, Direktur Perkumpulan Elang, baru-baru ini.
Wan Muhammad Yunus, Kepala Bappeda Siak saat membacakan pidato Bupati Siak, Alfedri, mengatakan, komitmen Pemerintah Siak dorong percepatan perhutanan sosial sudah termaktub dalam Peraturan Bupati 22/2018 tentang Siak Kabupaten Hijau. Kemudian dijabarkan ke dalam dokumen peta jalan.
Perbup Siak Hijau bahkan ditingkatkan lagi jadi Peraturan Daerah Nomor 4/2022. Diikuti pembentukan Tim Koordinasi dan Sekretariat Siak Kabupaten Hijau. Tim ini mengkoordinir semua kegiatan berkenaan Siak Hijau dari para pihak. Terdiri dari pemerintah daerah, swasta dan masyarakat sipil yang berhimpun dalam Sedagho Siak.
“Kami menyadari isu lingkungan hidup dan penuruan emisi gas rumah kaca, perlu bantuan maupun dukungan para pihak. Apa yang jadi komitmen dan kebijakan kami perlu masukan semua pihak,” kata Wan, Juni lalu, dikutip dari Youtube Perkumpulan Elang.
Perda Siak Hijau, katanya, makin mempertegas komitmen pemerintah kabupaten dalam mendukung kebijakan pencapaian nol emisi, salah satunya dengan pendekatan Indonesia folu net sink 2030.
Indonesia folu net sink 2030 merupakan strategi menjamin tujuan Perjanjain Paris tercapai, dengan menahan kenaikan laju suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. Ia jadi panduan Indonesia bikin aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Hal itu, kata Wan, sejalan dengan komitmen percepatan perhutanan sosial Pemkab Siak. Antara lain, mendorong inisiatif tim percepatan perhutanan sosial dan rencana kegiatan kelompok kerja tingkat kabupaten dalam mendukung capaian target perhutanan sosial di Riau.
“Komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca jadi salah satu indikator capaian Siak Hijau, selain indeks kualitas lingkungan hidup, peningkatan ekonomi masyarakat dan indikator lainnya,”kata Wan.
Pemerintah Siak hadir di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim, Mesir, tahun lalu. Pada kesempatan itu, Bupati Alfedri, memaparkan komitmen di dunia internasional, bahwa Siak benar-benar akan bekerja untuk lingkungan hidup lebih baik ke depan.
Pada Conference of the Parties (COP) 28 di Dubai, mendatang, Pemerintah Siak, berencana bersama para pihak menghitung penurunan karbon di ekosistem Semananjung Kampar-Kerumutan. Ia sebagai bentuk kontribusi komitmen nyata dalam capaian net zero emission di Indonesia.
“Meskipun pengelolaan hutan bukan kewenangan Pemerintah Siak, namun masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Sudah jadi tugas Pemerintah Siak melindungi dan meningkatkan kesejahteraannya. Seperti tertuang dalam rencana jangka menengah daerah,” katanya.
Capaian dan masalah
Pemerintah Siak memang harus mengejar percepatan pemberian akses legal kelola hutan pada masyarakat. Pasalnya, capaian dan realisasi perhutanan sosial di Riau keseluruhan, termasuk Siak, secara khusus, masih jauh dari target.
Data Dyah Sih Irawati, Kasubdit Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, menyatakan, target perhutanan sosial Indonesia 12,7 juta hektar pada 2030, baru terealisasi 5.383.778 hektar hingga Juni 2023. Ia melibatkan 1.201.941 keluarga dengan 10.027 surat keterangan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
Pemberian legalitas hak kelola hutan masyarakat ini tersebar di 33 provinsi, 375 kabupaten/kota, 2.123 kecamatan dan 3.882 desa.
Menurut catatan Riko Kurniawan, Direktur Paradigma, Riau baru capai 10% realisasi perhutanan sosial dari alokasi 1,3 juta hektar. Padahal, katanya, Riau satu provinsi dengan alokasi indikatif areal perhutanan sosial terluas di Indonesia.
Di Siak, sekitar 40.831,18 hektar PIAPS tersebar di 40 desa, baru enam izin perhutanan sosial 9.150,34 hektar untuk empat desa, Siak, salah satunya.
Riko bilang, perhutanan sosial merupakan satu political will pemerintah untuk berikan akses pada masyarakat, mengelola kawasan hutan untuk kesejahteraan dan kelestarian.
Menurut Janes, selain capaian alokasi perhutanan sosial rendah, dalam pengelolaan juga belum mencapai tujuan, yakni menyejahterakan masyarakat.
Senada Dyah, perhutanan sosial ini program yang membantu masyarakat, khusus yang hidup di dalam atau sekitar hutan. “Harapannya berdampak langsung terhadap kondisi perekonomian, penurunan kemiskinan dan pemerataan,” katanya, dalam diskusi kelompok terfokus percepatan perhutanan sosial di lanskap Semenanjung Kampar-Kerumutan, beberapa waktu lalu.
Kemendagri bagian dari kelompok kerja nasional penanganan percepatan akses legal pada masyarakat dalam kelola perhutanan sosial.
Dalam pengelolaan hutan pasca izin, masih terdapat kendala dari sejumlah kelompok. Hal itu dapat dilihat dari pengelompokan KUPS yang mayoritas masih berada di tingkat bawah. Antara lain, KUPS kelas blue 48.08%, silver 43,41%, gold 9,48% dan 0,52$% tergolong kelas platinum. Pengelompokan ini bertujuan untuk menilai peningkatan kerja kelompok dan kualitas usaha pasca izin perhutanan sosial.
Hasil monitoring Kemendagri di 33 provinsi, penyebab kelambanan perhutanan sosial setelah dapat izin, antara lain, masalah kelembagaan. Jadi, katanya, sinergi program dari masing-masing sektor belum maksimal. Selain itu, pengembangan usaha terbatas, sumber daya manusia termasuk tenaga pendamping.
Mendagri telah mengeluarkan surat edaran, pada 2020 dan 2021, ke pemerintah daerah untuk memastikan ketersediaan anggaran daerah, berkoordinasi membangun pusat ekonomi di desa sekitar hutan yang berujung pada pengentasan kemiskinan. Himbauan ini mengarah pada dukungan realisasi percepatan perhutanan sosial di daerah.
Selain itu, Riko Kurniawan, kembali menegaskan bahwa masalah lambannya target capaian perhutanan sosial di Riau juga karena minimnya sosialisasi. Padahal, fakta dilapangan menampakkan banyak alokasi ruang perhutanan sosial sudah berubah fungsi. Bukan rahasia umum lagi, ditemukan tanaman lain di luar sektor kehutanan yang tumbuh di atasnya.
Catatan Riko, dari 1,3 juta hektar alokasi PIAPS di Riau, sekitar 600.000 hektar telah jadi perkebunan sawit.
Khairul Anas, Penghulu Kampung Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau, Siak, mengamini data yang dipaparkan Riko. Katanya, jangankan perkebunan, pemukiman masyarakat, fasilitas sosial dan umum di kampung saja masuk kawasan hutan. Bahkan, satu dusun dalam kawasan hutan.
“Padahal, masyarakat sudah puluhan tahun di sana. Kami berharap dengan percepatan penyelesaian masalah penduduk dalam kawasan hutan ini. Karena menyangkut hak kami dari turun temurun,” katanya.
Riko merekomendasi pembentukan Tim Satgas Percepatan Perhutanan Sosial di Siak. Disertai dukungan anggaran desa untuk usulan perhutanan sosial dan dukungan pengelolaan pasca peroleh izin.
Berkenaan anggaran, Wan kembali menegaskan komitmen dalam percepatan perhutanan sosial. Tahun ini, Pemerintah Siak, mengalokasikan dana bagi hasil dana reboisasi (DBH-DR) untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan Rp6 miliar.
Alokasi anggaran ini, katanya, dapat diarahkan mendukung kegiatan usaha pada areal perhutanan sosail.
*******