- Komitmen pendanaan transisi energi lewat Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar atau setara Rp314 triliun punya tantangan beragam. Salah satunya, pengetahuan masyarakat minim soal JETP, membuat ruang partisipasi publik terbatas.
- Kajian CELIOS juga menemukan perempuan punya kesadaran lebih terhadap JETP dibanding laki-laki. Perempuan menaruh banyak perhatian terhadap isu energi karena mayoritas punya kendali terhadap efisiensi penggunaan energi rumah tangga.
- Ignatius Ardhana Reswara, peneliti Unitrend, mengatakan, dalam transisi energi, masyarakat juga menilai nuklir, co-firing PLTU, gasifikasi batubara dan geothermal sebagai sumber yang harus dihindari. Masyarakat meminta transisi energi tak menimbulkan masalah lingkungan baru yang berisiko bagi masyarakat.
- Media Wahyudi Iskandar, Direktur Unitrend menegaskan, JETP di Indonesia harus mendorong transisi berkeadilan untuk masyarakat rentan dan terdampak. Masyarakat rentan di sekitar pertambangan paling berisiko menerima dampak negatif dari transisi energi.
Komitmen pendanaan transisi energi lewat Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar atau setara Rp314 triliun punya tantangan beragam. Salah satunya, pengetahuan masyarakat minim soal JETP, membuat ruang partisipasi publik terbatas.
“Meskipun JETP mengangkat urgensi pensiun dini PLTU batubara dan percepatan transisi energi bersih, namun isu JETP masih belum dipahami sebagian besar masyarakat Indonesia,“ kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira saat peluncuran riset soal JETP beberapa waktu lalu.
Riset CELIOS melibatkan 1.245 responden nasional, menemukan 76% masyarakat tak tahu ada JETP. Yang dinilai paham soal JETP kebanyakan masyarakat Bali tentu berkaitan dengan perhelatan G20 di Bali tahun lalu. Namun, sebaran informasi tindak lanjut komitmen transisi energi berkeadilan, belum merata.
Dia menyayangkan, rendahnya pemahaman masyarakat dan cenderung terpusat pada wilayah dan kelas ekonomi tertentu. Karena, katanya, penutupan PLTU-sebagai salah satu prioritas utama JETP–, berada di Kalimantan dan Sumatera.
Daerah tempat PLTU beroperasi pun, katanya, perlu terlibat aktif merumuskan program JETP.
Selain itu, perlu lebih banyak sosialisasi di perdesaan mengenai potensi energi terbarukan yang bisa dikembangkan. Sebab, katanya, elemen kunci dari transisi energi terikat erat dengan ruang dan sumber daya manusia di perdesaan.
“Idealnya, sebelum Comprehensive Investment Plan (CIP) JETP diluncurkan masyarakat terdampak bisa memahami dan ikut aktif dalam perumusan program,” katanya.
Menurut kajian ini, persepsi masyarakat sangat potensial terus ditingkatkan dalam mengawal JETP. Masyarakat yang tahu JETP cenderung dapat informasi utuh mulai dari tujuan JETP hingga programnya.
Sekitar 9 dari 10 orang yang tahu JETP setuju penutupan PLTU. Menurut Bhima, pengetahuan mengenai tujuan dan program JETP memungkinkan masyarakat lebih kritis dan mengawal kerja-kerja transisi energi.
Menariknya, kajian ini juga menemukan perempuan punya kesadaran lebih terhadap JETP dibanding laki-laki. Perempuan menaruh banyak perhatian terhadap isu energi karena mayoritas punya kendali terhadap efisiensi penggunaan energi rumah tangga.
“Peran perempuan dekat dengan pengelolaan energi mendorong minat tinggi ketika mendapat informasi seputar energi, khusus dalam JETP,” katanya.
Survei CELIOS juga menunjukkan mayoritas, atau 53% perempuan cenderung mendukung penutupan PLTU batubara. Mereka minta transisi ke energi terbarukan paralel dengan penutupan PLTU.
Meski demikian, responden menyadari transisi energi masih terhambat dominasi penggunanan energi fosil. Sebanyak 32% menilai penghambat utama adalah batubara, disusul 26% lainnya menunjuk minyak bumi, 26% nuklir dan 11% gas sebagai hambatan.
Ignatius Ardhana Reswara, peneliti Unitrend, yang terlibat dalam kajian ini menambahkan, dalam transisi energi, masyarakat juga menilai nuklir, co-firing PLTU, gasifikasi batubara dan geothermal sebagai sumber yang harus dihindari. Masyarakat meminta transisi energi tak menimbulkan masalah lingkungan baru yang berisiko bagi masyarakat.
Temuan lain yang menarik dari survei opini JETP ini, ketertarikan perempuan dalam pekerjaan berkaitan dengan transisi energi cukup rendah. Sebanyak 48% responden perempuan tak tertarik bekerja di sektor terkait transisi energi seperti energi terbarukan.
“Ada bias gender yang perlu dicermati pemerintah. Seolah transisi energi adalah pekerjaan laki-laki yang sifatnya teknis,” kata Ardha.
Padahal, katanya, perempuan bisa terlibat, seperti dalam pengembangan instalasi panel surya skala rumah tangga dan pembangkit mikro hidro dan lain-lain.
JETP juga diharapkan mendorong ekonomi masyarakat terutama di sektor pertanian. Sektor pertanian, katanya, paling optimis dalam penggunaan energi terbarukan dengan biaya lebih murah dan dapat membantu pertanian skala kecil misal untuk mesin penggiling padi.
Intinya, kata Ardha, JETP ke depan perlu menempatkan masyarakat di berbagai profesi dan wilayah sebagai aktor sentral yang mengawal dan memberi masukan pada pemerintah, BUMN dan lembaga internasional -IPG dan GFANZ- dalam memastikan program transisi energi berjalan transparan dan adil.
Media Wahyudi Iskandar, Direktur Unitrend menegaskan, JETP di Indonesia harus mendorong transisi berkeadilan untuk masyarakat rentan dan terdampak. Masyarakat rentan di sekitar pertambangan paling berisiko menerima dampak negatif dari transisi energi.
Temuan studi ini menyiratkan sosialisasi mengenai JETP masih perlu khusus di Sumatera, Sulawesi, Papua dan Maluku yang punya banyak konsesi tambang dan PLTU.
Selain itu, menurut Media, perlu pendekatan yang inklusif dalam mewujudkan transisi energi di Indonesia. Laki-laki 63% lebih tertarik berkontribusi dalam pekerjaan di transisi energi dibanding perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sektor energi, katanya, dapat mengawal perspektif dan kepentingan perempuan agar terakomodasi hingga menghasilkan kebijakan inklusif dan berkelanjutan.
“Perempuan masih memikirkan energy security untuk konsumsi listrik rumah tangga. Dengan kata lain akses terhadap energi terbarukan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga berdampak signifikan terhadap perempuan.”
Dia bilang, transisi energi harus menutupi jurang ketimpangan bukan sebaliknya. Ketertarikan seseorang untuk bekerja di bidang transisi energi sangat dipengaruhi oleh kapasitas dan kemampuan yang dimiliki.
Pemerintah, katanya, perlu memberikan program pengembangan keterampilan dan kebijakan perlindungan sosial selama proses transisi energi.
Pendanaan JETP, katanya, juga tak boleh untuk mensubsidi swasta yang sepenuhnya dapat didanai pasar. JETP harus memberikan prioritas dalam mendukung aspek-aspek transisi yang sulit didanai secara independen. Termasuk pendanaan implementasi terkait dengan aspek lingkungan dan sosial dalam penutupan tambang batubara dan PLTU.
Beberapa rekomendai kajian ini, pertama, JETP harus mendorong pelibatan masyarakat khususnya masyarakat rentan yang mengalami dampak negatif transisi energi dalam proses penyusunan program yang berkaitan dengan transisi energi.
Kedua, perlu penguatan peran koalisi masyarakat sipil dalam proses penyusunan kebijakan transisi energi dan pengumpulan data sehingga bisa melahirkan solusi kebijakan yang inklusif, efektif dan berdampak.
Ketiga, penutupan PLTU dilakukan secara bertahap diiringi skema kompensasi dan insentif yang tepat bagi masyarakat rentan yang terdampak signifikan akibat penutupan PLTU.
Keempat, mendorong upskilling bagi masyarakat rentan khusus di kawasan desa dan menerapkan lensa gender saat merancang program pembangunan si sektor energi terbarukan.
Menanggapi kajian ini, Adhityani Putri, Communication Specialist Sekretariat JETP, sepakat pemahaman masyarakat soal JETP penting karena membawa perubahan signifikan dalam perekonomian.
“Karena itu, butuh dukungan masyarakat. Salah satu prinsipnya berkontribusi pada perekonomian berkelanjutan dan menjaga stabilitas perekonomian,” katanya.
Prinsip lain yang tak bisa dilepaskan dari skema ini yakni keterjangkauan energi. Bagaimanapun energi tetap harus terjangkau bagi masyarakat.
“Menjamin listrik murah dan affordable. Tak hanya sambungan tapi dalam jumlah pasokan yang bisa mendorong daerah tertinggal di luar Jawa dan Bali.”
Dhitri menegaskan, pada level mikro JETP juga diatur agar melindungi golongan rentan yang terdampah transisi energi, mulai pekerja formal maupun informal, perekonomian daerah, spesifik pada perempuan, difabel dan lansia.
Saat ini, kata Dhitri, sekretariat sedang merumuskan CIP yang akan dirampungkan pada 16 Agustus. Dokumen ini kelak akan menjadi panduan teknis pelaksanaan kemitraan JETP. Baik hibah dan pinjaman yang ada dalam JETP, kata Dhitri, akakn disalurkan ke berbagai tipe program melalui berbagai jalur.
Porsi hibah, katanya, akan diberikan lebih banyak untuk pendampingan teknis yang biasa lebih mahal, teknologi baru, penguatan kapasitas dan kebijakan seperti penelitian dan modelling.
Selain itu, hibah juga akan diprioritaskan untuk mengurangi risiko proyek yang belum pernah dilakukan di Indonesia. Hal penting lain yang akan masuk dalam hibah, kata Dhitri, terkait pewujudan keadilan dalam transisi energi termasuk penanganan sektor informal yang terdampak seperti warung di sekitar PLTU, kos-kosan atau perempuan yang terdampak.
“Kita butuh porsi hibah yang lebih besar,” katanya.
Tugas sekretariat JETP juga menyisir suplai dana agar tidak ada pendanaan lama yang di daur ulang dalam skema JETP.
Menurut Dhitri ada berbagai analisis yang masih harus dirampungkan, baik sisi pendanaan maupun program.
“Yang ambil keputusan adalah pemerintah dan IPG.”
******