PLTU Air Anyir, Solusi Energi Bersih di Pulau Bangka?

 

  • Pemerintah membangun co-firing PLTU [Pembangkit Listrik Tenaga Uap] Air Anyir, Kabupaten Bangka. PLTU yang memproduksi sekitar 354.391 MWh per tahun, menggunakan batubara sebesar 365.933 ton dan wood chip sebesar 15.000 ton, setiap tahun.
  • Kehadiran co-firing PLTU Air Anyir adalah solusi palsu dari transisi energi bersih di Indonesia. Bahkan PLTU Air Anyir akan menambah bencana ekologis di Kepulauan Bangka Belitung. Sebab mendorong aktivitas HTI.
  • Aktifitas HTI akan berdampak pada masyarakat adat. Misalnya Suku Mapur dan Suku Jerieng di Pulau Bangka. Sebab, sebagian besar ruang hidup masyarakat adat menjadi konsesi HTI.
  • Aktivitas HTI yang membuka hutan alam, dan mengubahnya menjadi hutan monokultur, juga berdampak hilangnya habitat beragam jenis flora dan fauna khas di Pulau Bangka.

 

Dengan label green energy, pemerintah membangun co-firing PLTU [Pembangkit Listrik Tenaga Uap] Air Anyir di Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Benarkah PLTU Air Anyir adalah energi bersih? Bagaimana dampaknya bagi masyarakat adat di Pulau Bangka?

Kepulauan Bangka Belitung tidak memiliki potensi energi kotor, seperti batubara, minyak bumi, dan gas. Semua kebutuhan energi, seperti listrik dan BBM, didatangkan dari Pulau Sumatera, yang sebagian besar berasal dari energi fosil.

Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi energi bersih, seperti surya, angin, dan arus laut. Tapi, pemerintah tidak memanfaatkanya secara optimal. Pemerintah justru membangun co-firing PLTU [Pembangkit Listrik Tenaga Uap] Air Anyir.

Dikutip Wowbabel.com, co-firing PLTU Air Anyir dengan produksi sekitar 354.391 MWh per tahun, mulai dibangun pada 20 April 2021 dan diresmikan 27 September 2022. Dalam satu tahun, PLTU Air Anyir menggunakan batubara sebesar 365.933 ton dan menggunakan wood chip sebesar 15.000 ton.

Guna memenuhi woodchip, PT. Maharaksa Biru Energi [OASA] membangun pabrik Wood Chip Co-firing di Air Duren di Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Pabrik yang peletakan batu pertamanya pada 10 Juli 2023 itu, akan memproduksi wood chip dan wood pellet. Selain untuk kebutuhan PLTU di Kepulauan Bangka Belitung, juga akan diekspor.

Pabrik yang dibangun PT. Maharaksa Biru Energi bekerja sama dengan Koperasi Energi Terbarukan [Kopetindo] ini direncanakan memproduksi kisaran 6.000 ton wood chip dan wood pellet per bulan.

“Keberadaan co-firing PLTU Air Anyir tidak pantas menggunakan label green energy. Sebab, aktivitas di hulunya tetap melepaskan karbon dan metana, dari kegiatan penambangan batubara dan penebangan kayu,” kata Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu [15/07/2023].

“Ini solusi palsu dari transisi energi bersih di Indonesia,” ujar Jessix.

Bahkan, Jessix memperkirakan kehadiran PLTU Air Anyir tersebut akan menambah bencana ekologis di Kepulauan Bangka Belitung, yang sebelumnya disebabkan oleh penambangan timah dan perkebunan sawit skala besar.

“Disebutkan, kebutuhan kayu untuk wood chip dan wood pellet dipasok dari hutan produksi di Kepulauan Bangka Belitung. Artinya kemungkinan besar oleh sejumlah perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] di Kepulauan Bangka Belitung. Kalau dari pohon karet rakyat, tidaklah mungkin terpenuhi dalam jangka panjang.”

Dijelaskan Jessix, luas HTI di Kepulauan Bangka Belitung 256.290 hektar. Luasan HTI ini cukup besar, sebab luas daratan di Kepulauan Bangka Belitung hanya 1,6 juta hektar. Tapi, hanya sebagian kecil konsesi HTI yang sudah ditanam akasia, sengon, dan karet. Sebagian besar masih berupa hutan alam.

“Dalam beberapa tahun ke depan, akan terjadi penebangan pohon di hutan alam yang masuk dalam konsesi HTI. Jelas, penebangan ini akan mengubah ekosistem yang selama ini terjaga.”

Dampaknya, akan banyak flora dan fauna di dataran tinggi, rendah, dan pesisir [konsesi HTI],  hilang, juga terganggunya sistem hidrologi yang menyebabkan banjir, longsor, dan kekeringan.

“Intinya, kehadiran co-firing PLTU Air Anyir merupakan ancaman bagi ekologi, bukan solusi dalam mengatasi persoalan energi kotor. Kami harap pemerintah menghentikan aktivitas co-firing pada PLTU Air Anyir,” kata Jessix.

Baca: Tergerusnya Hutan Adat Suku Melayu Tua di Pulau Bangka

 

Bukit Tabun, hutan larangan Suku Mapur di Dusun Pejem, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Bagi Suku Mapur, jika hutan larangan ini rusak, bencana akan menyerang manusia. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Mengancam masyarakat adat

Kelompok masyarakat yang paling terdampak dari aktivitas HTI di Kepulauan Bangka Belitung, yakni masyarakat adat. Misalnya, Suku Mapur dan Suku Jerieng di Pulau Bangka.

“Ruang hidup Suku Mapur di Kecamatan Riau Silip dan Kecamatan Belinyu [Kabupaten Bangka] yang sudah dijadikan HTI, baik di dataran tinggi maupun pesisir seluas 29.497 hektar, yang merupakan konsesi PT. Inhutani V Unit Bangka [16.057 hektar] dan PT. Istana Kawi Kencana [13.440 hektar]. Dari luasan tersebut, dilaporkan baru 10 persen yang sudah digarap. Artinya, sisanya masih berupa hutan alam,” kata Ahmad Subhan Hafiz, dari Umah Berandun, sebuah lembaga yang mendampingi masyarakat adat di Kepulauan Bangka Belitung, Minggu [16/07/2023].

Dijelaskan Hafiz, Suku Mapur merupakan salah satu Suku Melayu di Pulau Bangka yang hidupnya harmonis dengan alam.

“Hutan bagi Suku Mapur adalah ruang spiritual.”

Suku Jerieng, yang berada di Kabupaten Bangka Barat, juga terdampak hadirnya HTI. Ruang hidup Suku Jerieng yang tersebar di 14 desa, di Kecamatan Simpang Teritip dan Kecamatan Mentok, masuk dalam kawasan HTI PT. Bangun Rimbah Sejahtera [BRS], yang luasnya sekitar 56 ribu hektar.

Hadirnya konsesi ini mendapat penolakan sekitar 10 ribu masyarakat yang tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Simpang Teritip, Kecamatan Kelapa, dan Kecamatan Mentok. Pada 2018 lalu, mereka melakukan aksi dan meminta Gubernur Kepulauan Bangka Belitung membuat surat rekomendasi ke KLHK [Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] untuk mencabut izin HTI PT. BRS Nomor SK.336/Menhut-II/2013. Tuntutan tersebut sampai saat ini belum berhasil.

Sama seperti Suku Mapur, Suku Jerieng juga hidup harmonis dengan alam. Mereka menjadikan hutan, selain sebagai sumber pangan nutrisi [madu], juga sumber obat-obatan, serta ruang spiritual.

“Beraktivitasnya HTI ini, menjadi pemasok kayu bagi perusahaan yang memproduksi wood chip dan wood pellet untuk co-firing PLTU, sangat mengganggu ruang hidup Suku Jerieng dan Suku Mapur. Berbagai bencana, seperti banjir, longsor, kekeringan, serta serangan penyakit, akan dialami masyarakat adat, serta masyarakat perkotaan di wilayah hilirnya,” kata Hafiz.

“Solusinya, hentikan aktivitas co-firing pada PLTU Air Anyir,” tegasnya.

Baca: Energi Bersih, Upaya Serius Melawan Perubahan Iklim

 

Hutan di wilayah perbukitan yang masih lestari dan banyak terdapat pohon ara di Pelangas [Bangka Barat], ini menjadi habitat utama kangkareng hitam di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terancamnya flora dan fauna

Randi Syafutra, peneliti satwa dari Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung [Unmuh Babel], menilai aktivitas HTI seperti membuka hutan alam dan mengubahnya menjadi hutan monokultur, berdampak pada hilangnya habitat beragam jenis flora dan fauna khas Pulau Bangka.

“Terkait fauna, kegiatan ini berdampak pada hilangnya habitat. Sebab, HTI melakukan land clearing, yang membuat fauna khas Bangka kehilangan ruang hidupnya. Berbeda dengan perkebunan rakyat [karet] yang masih terdapat semak, sehingga sejumlah fauna masih dapat hidup atau beradaptasi,” kata Randi yang juga Ketua Program Studi Konservasi Sumber Daya Alam Unmuh Babel, Minggu [16/07/2023].

Fauna yang terancam itu, kata Randi, bukan hanya mentilin atau tarsius bangka [Cephalopachus bancanus bancanus] , yang merupakan fauna identitas Kepulauan Bangka Belitung, juga kukang [Nycticebus bancanus], trenggiling [Manis javanica], kijang [Muntiacus muntjak] dan binturong [Arctictis binturong].

“Saat ini, status mentilin Rentan [Vulnerable/VU] berdasarkan IUCN Red List. Jika banyak hutan alam terbuka, bukan tidak mungkin statusnya menjadi kritis. Sementara flora khas Bangka, yaki nyatoh [Palaquium rostratum], juga akan terancam.”

Pada saat ini, di Pulau Bangka tidak ada lagi hutan primer.

“Yang tersisa saat ini adalah hutan sekunder.”

Dikutip dari penelitian yang dilakukan Randi Syafutra, Hadi Sukadi Alikodra, dan Entang Iskandar yang diterbitkan Asian Primates Journal pada 2019, dari 657.510 hektar tutupan hutan di Kepulauan Bangka Belitung [luasan ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Indonesia No. 357/Menhut-II/2004 tentang Kawasan Hutan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung], hanya 28 persen yang relatif tidak terganggu. Sisanya, 72 persen terdegradasi.

Baca juga: Kelekak, “Rumah Terakhir” Kukang Bangka yang Terancam Punah

 

Hutan adat milik Suku Jerieng yang masih bertahan. Hutan ini terancam oleh aktifitas HTI, yang kemungkinan besar mulai beraktivitas dengan hadirnya co-firing PLTU Air Anyik. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kelekak

Randi Syafutra menilai, salah satu upaya menyelamatkan sejumlah flora dan fauna khas Kepulauan Bangka Belitung, dari aktivitas HTI, yakni melindungi dan memperluas keberadaan kelekak.

“Kelekak itu agroforestry yang merupakan tradisi masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung. Di kelekak terdapat tanaman hutan, baik tanaman buah maupun obat. Kelekak ini menjadi ruang hidup sejumlah fauna seperti mentilin, kukang, trenggiling, dan binturong.”

Ada baiknya, tidak semua kawasan konsesi tersebut dimanfaatkan menjadi hutan produksi.

“Mungkin, setengahnya dijadikan kawasan kelekak. Selain menjadi ruang hidup flora dan fauna tersisa, kelekak juga menjadi sumber pangan dan ekonomi bagi masyarakat,” tegasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,