- Keberadaan ratusan jenis anggrek di Jambi, terancam karena berbagai persoalan dari alih fungsi lahan, kebakaran dan lain-lain.
- Sahrial Hafids, Dosen Pertanian Universitas Jambi, berupaya menyelamatkan ratusan jenis anggrek alam di Jambi. Di wilayah Muaro Jambi, Kerinci, dan Merangin, sangat istmewa, banyak jenis anggrek liar ditemukan.
- Luas hutan Jambi pada 2012 tercatat 1,15 juta hektar lebih. Dalam rentang 2012-2016, Jambi kehilangan 189.125 hektar tutupan hutan. KKI Warsi, lembaga non profit yang melakukan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan mencatat, sampai 2022, luas tutupan hutan di Jambi tersisa 912.947 hektar.
- Pada 2013, Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMJB) mengusulkan agar Batang Damar jadi kawasan konservasi anggrek Muaro Jambi, tetapi pemerintah daerah tak setuju. Sekarang, Batang Damar sudah berubah jadi perkebunan sawit perusahaan.
Cuaca panas menghancurkan mimpi Sahrial Hafids. Ratusan jenis anggrek yang dia kumpulkan selama 14 tahun mati tak sampai tiga bulan. Dia frustasi. Petualangan Sahrial mencari anggrek Jambi mulai 2000. Dosen Pertanian Universitas Jambi ini rutin keluar masuk hutan sampai perbatasan Sumatera Barat. Terkadang harus kucing-kucingan dengan petugas taman nasional demi mendokumentasikan jenis anggrek baru.
Mulai 2014, dia berhenti. “Sekarang sudah tidak kuat lagi, sudah tua,” kata lelaki itu tertawa. Usianya kini 56 tahun.
Setidaknya dia pernah mengoleksi 287 jenis anggrek alam, sebelum mati karena kemarau panjang 2019.
“Waktu itu sempat panik karena yang mati ratusan jenis. Sekarang paling tinggal 30-an tersisa,” katanya.
Anggrek jenis Bulbophyllum sumatra, Bulbophyllum lobi banyak mati. Anggrek ini banyak ditemukan dari dataran tinggi di Kecamatan Jangkat, Merangin, Kerinci hingga perbatasan Sumatera Barat.
“Yang tersisa kini jenis Dendro dan Cymbidium. Pelan-pelan mereka bisa adaptasi. Kalau jenis anggrek Arundina memang tahan panas.”
Waktu 14 tahun tidak cukup untuk mengumpulkan semua jenis anggrek Jambi di alam. Sahrial memperkirakan jumlah lebih 500 jenis. “Saya yakin banyak yang masih belum ketemu.”
Peneliti lulusan IPB ini menunjukkan buku berisi anggrek Jambi. Hampir semua merupakan koleksinya. Dia menunjukkan foto anggrek berwarna merah yang tumbuh di cabang pohon. Foto itu diambil di perbukitan di kaki Gunung Masurai, Merangin. Nama latinnya Bulbophyllum sumatranum, menurut Sahrial sangat langka.
“Kalau kamu bisa ketemu ini istimewa sekali, lidahnya bisa bergerak, bisa bercanda.”
Habitat terancam
Sahrial bilang, wilayah Muaro Jambi, Kerinci, dan Merangin, sangat istmewa. Banyak jenis anggrek liar ditemukan. Alih fungsi lahan, kebakaran yang diperparah krisis iklim, telah mengancam kehidupan anggrek Jambi di alam.
“Di Sungai Gelam—kecamatan di Muaro Jambi—dulu banyak [anggrek], sekarang sudah jadi sawit semua. Di Desa Parit, juga sudah jadi sawit,” katanya.
Sementara di Jangkat, Merangin, puluhan ribu hektar hutan ditebang untuk perkebunan kopi. Di Kerinci, perkebunan sayur dan kayu manis mulai merambah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) hingga ketinggian 1.200 mdpl.
Untung Santoso, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) katakan, alih fungsi lahan jadi ancaman serius bagi anggrek di alam. “Paling dahsyat itu perubahan lahan,” katanya.
Dia belum bisa memastikan berapa jenis anggrek terancam punah, karena setiap daerah punya jenis anggrek berbeda.
Luas hutan Jambi pada 2012 tercatat 1,15 juta hektar lebih. Dalam rentang 2012-2016, Jambi kehilangan 189.125 hektar tutupan hutan. KKI Warsi, lembaga non profit yang melakukan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan mencatat, sampai 2022, luas tutupan hutan di Jambi tersisa 912.947 hektar.
Menurut Sahrial, konservasi di luar habitat asli satu-satunnya cara menyelamatkan anggrek alam Jambi.
“Eksitu, buat green house. Kemudian memodifikasi iklim mikro agar sesuai habitat aslinya. Kalau masih di hutan itu tidak terjamin.”
Dia nmemperkirakan setiap lima tahun Jambi kehilangan separuh dari jenis anggrek yang masih bertahan di alam. “Kita perkirakan saat ini ada 500 jenis, lima tahun lagi tinggal separuh, begitu seterusnya hingga akhirnya habis.”
Konservasi
Adi Ismanto, Ketua Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMJB) hampir 14 tahun berjuang menyelamatkan anggrek rawa gambut di Muaro Jambi. Lelaki paruh baya itu menunjukkan bunga Cymbidium aloifolium yang lagi mekar. Kelopak merah keunguan dengan lidah kuning, menjuntai hingga 50 sentimeter.
Setidaknya, ada 84 jenis anggrek alam dia selamatkan dari Batang Damar—barang kali habitat anggrek rawa gambut terbesar di Muaro Jambi. Sebelumnya, hutan rawa gambut itu habis terbakar pada 2015. Lebih dari 100 jenis anggrek musnah.
“Waktu Batang Damar terbakar, kito sudah putus asa, dak ado lagi yang biso diselametin. Anggrek-anggrek ikut musnah, habis semuo,” kata Adi.
Pada 2013, GMJB pernah mengusulkan agar Batang Damar jadi kawasan konservasi anggrek Muaro Jambi, tetapi pemerintah daerah tak setuju. Sekarang, Batang Damar sudah berubah jadi perkebunan sawit perusahaan.
Sementara anggrek alam liar di sepanjang sungi Jambi kini terancam program normalisasi guna mendukung wisata KCBN Candi Muaro Jambi. Anggrek kehilangan habitat setelah pohon di sepanjang Sungai Jambi yang jadi rumah berbagai jenis anggrek alam bertumbangan.
Cuaca panas membuat beberapa jenis anggrek yang diselamatkan GMJB mati. Hidup di luar habitat aslinya membuat anggrek-anggrek alam begitu rentan.
“Sekarang tinggal 74 jenis, sebagian mati,” ujar Adi.
Hanya jenis Dendrodium, Pomatocalpa, Phalaenopsisi atau Eria, Trichotocia ferox, Thelasis, Flicking ceologyne, Cymbidium, Appendicula, Javanica, Bulbophyllum dan Dendrobium Lapongense, masih mampu bertahan hidup sampai sekarang.
Sedangkan Dendrobium hendersonii atau merpati biru, mati. Daun anggrek itu berwarna hijau kebiru-biruan. Menurut Adi, merpati biru jenis anggrek langka di Jambi.
Adi merawat anggrek alam di luar habitatnya bukan perkara gampang. Untuk membuat green house butuh modal besar. Hampir semua anggota GMJB adalah petani yang hidup pas-pasan. Merekayasa rumah mereka untuk menjadi habitat anggrek adalah hal mustahil.
“Merawat anggrek alam ini biayanyo besak (besar), bukan sikok (satu) duo (dua) anggrek yang kito selametin dari alam ini, tapi puluhan jenis. Kalau jumlahnya biso seratusan.”
Anggrek-anggrek yang hidup liar di lahan gambut memiliki banyak keunikan, mulai dari corak, warna bahkan aroma wangi yang berbeda-beda.
Setiap anggrek punya keunikan sendiri-sendiri. Macam jenis Coelogyne asperata itu mirip anggrek hitam (Coelogyne pandurata) di Kalimantan, katanya, tetapi kalau di sini corak tengah merah dan kuning.
Di Muaro Jambi, juga ditemukan tujuh varian anggek macan (Gramatophyllum speciosum).
Adi berniat, mengembangkan anggrek macan sebelum akhirnya dilepas kembali ke alam.
Mulai 2017, GMJB membuat program gerakan 1001 anggrek macan. Anggek ini dianggap unik karena jenis anggrek terbesar dan terberat di dunia. Dia juga lebih mudah dikembangkan di luar habitatnya.
Komunitas GMJB kemudian membuat Taman Sakat Lebung Panjang. Kebun sawit milik Adi 3,5 hektar jadi pembibitan anggrek rawa gambut sekaligus tempat wisata minat khusus.
“Sayo mikirnyo, anggrek-anggrek ini harus biso hidup dari hasil dio dewek. Perawatannyo dari hasil kunjungan wisatawan.”
Wisatawan yang datang ke Taman Sakat bisa mengadopsi anggrek macan dengan berdonasi Rp100.000. Mereka akan mendapatkan satu anggrek macan yang akan dirawat Komunitas GMJB.
Sampai sekarang sudah lebih 50-an anggrek macan telah diadopsi. “Ada yang dari Yogyakarta, Bandung, Bali, Jakarta, dari Jambi banyak.”
Pengunjung juga bisa mendonasikan anggrek miliknya untuk mendukung gerakan 1001 anggrek macan. Adi bilang, jika mencapai 1.000, anggrek-anggrek itu akan dikembalikan ke alam liar, terutama hutan yang masih asri dan dilindungi.
“Dulu, Muaro Jambi ini habitatnya anggrek, dan itu yang ingin kita pertahankan.”
Upaya penyelamatan GMJB di Muaro Jambi mendapat dukugan dari Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI).
Irawati, Ketua Departemen Konservasi PAI menyebut, upaya konservasi di daerah-daerah yang muncul dari kesadaran masyarakat lebih kuat.
“Ini yang tumbuh dari masyarakat, saya kira tumbuh lebih kuat, karena menyatu dengan akar budaya setempat.”
******