- Mentawai, merupakan kabupaten kepulauan di Sumatera Barat. Masyarakat di sana bergantung hidup dari alam dan hutan dengan berkebun, bertani maupun tangkap ikan dari laut dan sungai. Alam mereka kaya, termasuk sumber energi seperti matahari.
- Di Siberut Utara, salah satu pulau di Mentawai, sejak 2017 sudah memanfaatkan energi surya ini walau masih terbatas dari malam hingga pagi hari.
- Karena energi matahari di Siberut baru ada malam hari, aparat desa membawa pekerjaan kantor ke rumah, seperti untuk print dokumen dan lain-lain.
- Amalya Reza, peneliti dari Trend Asia mengatakan, pemerintah selalu menerapkan kebijakan dari atas (top-down) terkait pemenuhan kebutuhan listrik tanpa mendengarkan apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat.
Pagi itu, di Dusun Sinaki, mentari baru terbit di ufuk timur. Yulianti Mairian Siripeibu, perempuan Sinaki, Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara, Mentawai, Sumatera Barat ini
sudah bebersih rumah dan memberi makan ayam. Sekitar pukul 8.00-9.00 pagi sudah ke ladang.
Hari itu, Yulianti tak bisa membawa music box ke ladang. Radio sekaligus speaker kecil berbentuk kubus merah bagian depan dan hitam bagian belakang itu rusak beberapa hari ini.
Beberapa perempuan pergi ke ladang akan meletakkan wadah yang mereka jinjing di punggung dan menikmati musik dari situ.
“Listrik di sini cuma bisa untuk lampu dan mencas (charge) handphone, senter dan speaker itu,” katanya pada Mongabay.
“Senang kami kalau ada lampu. Apalagi tidak banyak orang di sini. Tentu gelap,” katanya. Rumahnya di ujung desa, dekat laut.
Rumah Yuliati hanya sekitar 20 meter dari pusat pembangkit listrik tenaga surya, Desa Malancan. Energi surya hanya mengalir dari pukul 18.00-7.00 pagi. Itu pun kalau cuaca bagus.
“Kalau nggak bagus ya sebentar hidupnya. Tadi malam dua kali mati. Entah apa yang rusak, entah konslet,” katanya Juli lalu.
Dia dan keluarga membayar Rp10.000 per bulan untuk listrik. Harga ini tak dirasa mahal. Keluarganya sempat menunggak dua bulan. Semua teratasi setelah dia meminjam uang pada anaknya. Pendapatan keluarga ini sebulan tidak menentu.
Terkadang mereka tak dapat ikan saat melaut. Mereka upaya jual pinang. Harga pinang merosot jauh sampai Rp2.000 per kg. Sempat naik Rp20.000 awal tahun tapi hanya bertahan sebulan. Harga menurun dan berhenti di angka uang pecahan baru itu.
“Sekarang pinang ndak laku, cuma Rp2.000 perkg. Sudah tidak Rpmengolah pinang lagi. Sudah menguras tenaga, harga anjlok. Pinang sudah masuk dua tahun tapi harganya rendah, Kalau ikan bisa Rp20.000 satu ikat (kadang lima),” katanya.
Yulianti sehari-hari ke ladang dan ke sawah. Berangkat sekitar pukul 8.00-9.00 dan pulang sekitar pukul 5.00 atau 6.00 sore.
Dia bersama ibu-ibu lain bekerja membersihkan ladang dan merawat tanaman seperti kacang, pinang, cengkih, talas atau keladi, dan ubi.
Khusus tanaman pangan untuk masak di rumah, katanya, biasa ibu-ibu yang menanam. “Bapak-bapak cari uang buat beli gula, minyak, ikan,” katanya.
Kalau ladang cengkih itu, katanya, yang mengerjakan bersama-sama.
“Kalau ke sawah yang lebih kuat kami. Kadang suami ikut menanam. Sudah bersih ladang dan menanam baru ibu-ibu yang mengerjakan.”
Juliana Linggai, tetangga Yulianti mengatakan, tanah sekitar situ banyak batu dan susah untuk menanam tanaman pangan.
“Lebih bagus menanam di bukit. Tanah bagus dan lembut,” kata Juliana.
Juniardi Sakela’asak, Sekretaris Desa Malancan, mengatakan, ada sekitar 253 titik (bangunan) termasuk sekolah, mesjid, gereja dan kantor desa mendapat penerangan dari PLTS ini sejak 2017. Masing-masing rumah mendapat 600 watt.
“Kalau banyak pemakaian jam 12 malam sudah mati. Ada juga yang (menyambung) dengan genset, kalau tidak bisa hidup sampai jam 5.00 pagi,” katanya.
Bahkan, seringkali orang-orang kantor desa baru bekerja mencetak berkas atau mengirim surat elektronik pada malam hari.
“Kita tampung dulu pekerjaan baru dikerjakan di rumah. Ada juga sebagian yang mengerjakan di kantor,” katanya.
Ada lima dusun menikmati energi dari PLTS ini, yaitu Dusun Sinaki, Kelak Bunda, Langgurek, Malancan dan Dusun Bakla.
Mengutip Mentawaikita, PLTS terpusat punya daya 100 kWp masing-masing rumah dapat arus 600 watt. PLTS ini bantuan KESDM.
Mimi Susanti, perawat di puskesmas desa setempat mengatakan, listrik membantu ketika ada yang melahirkan malam hari.
“Terkadang malam hari kalau harus dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit ya malam-malam pakai sampan ke kecamatan,” katanya pada Mongabay. Jarak lebih dari satu jam.
Meskipun begitu kata Mimi, belum ada dampak fatal karena kurang penerangan selama tujuh tahun tinggal di sana.
Sebelum 2017, masyarakat yang punya uang lebih akan membeli genset. Bagi yang tak punya genset langsung tidur.
Sebelum ada PLTS, katanya, listrik hanya pukul 18.00-23.00 dengan genset. Warga membayar Rp50.000. Ketika ada PNPM desa, mereka dapat tiga mesin diesel dengan bayar iuran Rp35.000 dan tergantung lampur yang dimliki. “Misal, ada lima lampu dikalikan Rp20.000.”
Dia mengatakan, di Desa Malancan, PLTS baru dapat dinikmati lima dari sembilan dusun dengan 235 titik.
“Untuk Sirilanggai sudah masuk PLN walaupun mungkin belum semua. Dusun Terekan Ulu dapat solar 20 watt-an. Selebihnya pakai genset.”
Dia bilang, ada beberapa warga memanfaatkan fasilitas internet untuk jualan, seperti agen jualan online, warga pesan barang mereka yang ambil. “Mereka minta upah ongkos kirim. Kalau misal pesan Rp1,5 juta itu sudah masuk ongkir jemput misal Rp50.000,” katanya.
Ada juga, katanya, warga yang menjual hasil bumi seperti durian, manggis, pisang melalui social media seperti Facebook.
Tak paham keperluan rakyat
Amalya Reza, peneliti dari Trend Asia mengatakan, pemerintah selalu menerapkan kebijakan dari atas (top-down) terkait pemenuhan kebutuhan listrik tanpa mendengarkan apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat.
“Hingga seringkali bukan hanya program yang tidak tepat sasaran, tapi berimplikasi buru bagi masyarakat seperti perampasan lahan, penggusuran, penghapusan budaya lokal dan meningkatnya potensi bencana hidrologis di wilayah itu,” katanya, kepada Mongabay.
Dia mengatakan pemerintah seharusnya mulai mendengar aspirasi dari bawah (bottom up) dengan mengidentifikasi kebutuhan rakyat soal energi ini.
“Rakyat perlu listrik apa tidak. Kalau iya, saatnya pemerintah menunjukkan komitmen iklim dan transisi energinya, dengan memenuhi kebutuhan mereka dengan energi terbarukan, bersih dan berkeadilan,” katanya.
Sebaliknya, apabila masyarakat memilih tak memakai listrik, seperti Masyarakat Adat Baduy atau Masyarakat Adat Taileleu di Siberut, Mentawai, pemerintah juga harus menghargai keputusan itu serta mendukung keputusan mereka mengonservasi ekosistem dan kebudayaan.
“Jadi yang dikejar jangan hanya rasio elektrifikasi. Kita lihat, yang jadi patokan hitungan rasio elektrifikasi adalah berdirinya pembangkit listrik, tanpa melihat implementasinya,” katanya.
Dia mengatakan, posisi Kepulauan Mentawai cukup jauh dari pantai Barat Sumatera mewajibkan pemerintah mendasarkan analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan pada pemenuhan kebutuhan listrik sesuai karakteristik kepulauan.
“Hingga kondisi ekologi, sosial, dan budaya pulau-pulau kecil dan kehidupan masyarakat adat terjaga. Karena itu, seharusnya tugas negara, melindungi dan mengayomi rakyat. Mencapai kesejahteraan yang bukan hanya berdasarkan standar BPS, tapi juga standar masyarakat adat dan lokal sudah harus mulai dipertimbangkan.”
Potensi energi terbarukan Sumatera Barat adalah surya sebesar 5.898 MW, mikrohidro 1.353 MW dan potensi air 1.100 MW. Namun di Mentawai malah mengembangkan bioenergi.
Pengembangan bioenergi di tengah melimpahnya potensi sumber energi lain, katanya, dapat dikatakan mencurigakan.
Indira Suryani, Direktur LBH Padang yang juga konsern isu-isu energi mengatakan, negara seringkali menerjemahkan kebutuhan masyarakat dari asumsi kurang tepat hingga program tak berhasil di lapangan. Dia contohkan, listrik bagi masyarakat Mentawai. Pasca bantuan solar panel malah banyak yang menjual kembali.
“Artinya mereka tidak butuh tapi dipaksa butuh. Penerapan kebijakan apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat?”
Contoh lain di Malancan, masyarakat diberikan listrik dan bayar Rp10.000 per bulan dan itu pun ada yang telat bayar. Persoalannya, perputaran uang minim di Malancan karena masyarakat memenuhi keperluan sehari-hari dari alam sekitar.
“Kalau perputaran uang tidak ada, bagaimana mereka mau membayar? Apalagi kalau mau masuk listrik dari PLN yang menggunakan token. Mereka harus membayar Rp50.000-Rp75.000 per bulan.”
Indira mengatakan, bisa saja di awal program masyarakat Mentawai tergiur ingin mengikuti namun ada situasi yang tidak cocok dengan keadaan sosial, ekonomi dan budaya mereka.
“Listrik dapat menjadi beban ekonomi baru bagi masyarakat Mentawai. Karena hampir tidak mungkin listrik disubsidi seutuhnya oleh pemerintah.”
Belum lagi masuknya pembangkit biomassa dengan hutan tanaman energi, katanya, bisa merusak hutan Mentawai yang berujung berdampak pada ruang hidup masyarakat.
*******