- KKP berhasil mengamankan tujuh unit kapal perikanan yang melanggar aturan WPPNRI. Kapal Indonesia tersebut mulai dari tidak memiliki izin, hingga melanggar zona tangkap.
- KKP menegaskan akan terus melakukan pengawasan ketat di zona perairan Indonesia, apalagi menggunakan UU Penangkapan Ikan Terukur (PIT).
- Namun pengamat menilai PIT harus diperbaiki, terutama dari segi orientasinya, PIT Indonesia orientasi masih ekonomi, bukan orientasi pemulihan lingkungan.
- Selain itu pemerintah diharapkan lebih gencar melakukan sosialisasi PIT. Terutama terkait perubahan aturan untuk menyambut diberlakukannya PIT pada awal tahun 2024 nanti.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya memperketat pengawasan kepatuhan zona penangkapan ikan di Indonesia. Apalagi menjelang diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
Upaya tersebut telah membuahkan hasil. Setidaknya baru-baru ini KKP sudah menghentikan tujuh kapal perikanan yang kedapatan melanggar aturan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Mulai dari kapal perikanan yang beroperasi tanpa dilengkapi dokumen perizinan berusaha sub sektor penangkapan ikan (SIPI) hingga kapal yang melakukan penangkapan ikan tidak sesuai dengan jalur penangkapan yang sudah ditentukan.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Adin Nurawaluddin mengatakan, tujuh kapal dihentikan beraktivitas saat patroli pengawasan serentak oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).
“Ada tujuh kapal yang diamankan petugas, dua kapal tidak mengantongi izin, lima kapal mengantongi izin Gubernur namun melanggar jalur penangkapan ikan, yakni di atas 12 mil laut,” ujar Adin dalam siaran persnya, yang diterima Mongabay Indonesia, Jumat, 13 Oktober 2023.
Tujuh kapal tersebut diamankan pada saat patroli pengawasan serentak oleh KP. ORCA 03 di Selat Karimata, KP.HIU 07 di Perairan Laut Sulawesi dan KP.HIU 03 di Laut Natuna Utara. Ketujuh kapal tersebut antara lain KM. BS IV (30 GT), KM. SG (28 GT), KM IB 1 (30 GT), KM. MZ 3 (26 GT), KM. F 738 (30 GT), KM. BL 85 (29 GT), KM. AJ (29 GT).
Adin mengatakan, setidaknya KKP berhasil mengamankan barang bukti 1,9 ton cumi, 3 ton ikan pelagis (cakalang dan layang), dan 11,5 ton ikan campur yang diamankan pada saat penghentian, pemeriksaan dan penahanan (henrikhan).
baca : Resmi, 1 Januari 2024 Penangkapan Ikan Terukur Dimulai
Pengusaha Mengeluh
KKP juga menerima langsung keluhan pelaku usaha perikanan terkait penangkapan tersebut. “Banyak pelaku usaha yang mengeluh kami tangkap padahal hanya melanggar jalur sedikit saja,” kata Adin.
Adin menegaskan, bahwa zona penangkapan sudah diatur. Kalau kapal beroperasi tidak sesuai zona maka disana akan terjadi penangkapan ikan overfishing. “Kita tidak tahu ikan ini diambil dari mana, ini yang menyebabkan overfishing,” kata Adin.
Adin melanjutkan bahwa dengan diberlakukannya PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono optimis bahwa praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan yang selama ini terjadi di WPPNRI dapat beralih menjadi penangkapan ikan secara legal, diatur dan dilaporkan secara bertahap. Untuk itu, Adin menegaskan bahwa pengawasan terhadap kepatuhan zona penangkapan ikan akan terus diperketat.
Adin juga menyebutkan, jika pemilik kapal di bawah 30 GT dengan izin daerah ingin menangkap ikan di atas 12 mil laut, pemerintah telah memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan migrasi perizinanan berusaha melalui Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B. 1090/MEN-KP/VII/2023 tentang Migrasi Perizinan Berusaha Subsektor Penangkapan Ikan dan Pengangkutan Ikan.
baca juga : Lika Liku Penangkapan Ikan Terukur
Orientasi Ekonomi
Labour Officer Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Miftachul Choir menilai aturan penangkapan ikan terukur atau PIT tidak bisa menjadi cara mengurangi overfishing apalagi orientasinya ekonomi atau ekonomi biru. PIT bisa digunakan untuk mengurangi overfishing ketika orientasi adalah pemulihan lingkungan. “Kalau kami melihat PIT di Indonesia itu orientasi ekonomi,” kata Miftachul kepada Mongabay Indonesia, Rabu, 18 Oktober 2023.
Lebih lanjut Miftachul mengatakan, program PIT di Indonesia merupakan bentuk dari perampasan laut. Dulu laut itu milik bersama, sekarang diserahkan kepada pemerintah, dan pemerintah memberikannya nanti kepada perusahaan. “Ini yang kami sebut PIT sebagai bentuk privatisasi laut, kita bisa lihat di aturan PIT itu ada tiga bentuk kuota, untuk industri, untuk non komersil dan nelayan kecil,” katanya.
Miftachul tidak menyangkal kemudian, PIT mendapatkan keluhan dari pelaku usaha perikanan terutama nelayan kecil. Pasalnya, nelayan kecil dalam aturan itu hanya bisa melaut di bawah 12 mil. Misalnya di Cirebon, DFW menemukan laut 12 mil ke bawah sudah rusak terdampak pembangunan PLTU.
“Banyak studi menyebutkan perairan 12 mil ke bawah itu sudah rusak, baik karena pembangunan, perubahan iklim maupun karena sudah overfishing. Kalau 12 mil ke bawah sudah rusak dimana lagi nelayan kecil melaut?,” katanya.
Selain itu aturan PIT tidak transparan dan akuntabel, temuan DFW di lapangan banyak nelayan baru mendapatkan surat perintah migrasi aturan pada Agustus 2023 lalu. Migrasi aturan untuk menyambut diberlakukannya PIT awal tahun 2024 mendatang.
Seharusnya kata Miftahcul sosialisasi dilakukan sebelum aturan ini dibuat. “Pelaku usaha diberikan aturan perizinan baru bulan Agustus ini, serta ada sanksi Rp200 juta jika melanggar, banyak yang tidak tahu perubahan perizinan ini, makanya banyak yang ditangkap,” katanya.
baca juga : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur
Ia berharap pemerintah bisa memperbaiki aturan PIT ini terutama menunjukan naskah akademik aturan tersebut untuk menunjukkan siapa penyebab overfishing sesungguhnya.
Jika PIT tidak diperbaiki dan dijalankan dengan orientasi bukan pemulihan lingkungan, overfishing akan tetap berlanjut. “Kalau kita lihat studi kasus negara lain Chile, Denmark dan Islandia, overfishing tetap berlanjut karena sistem kuota itu menjadi perburuan rente oleh industri, kuota ini hanya didominasi segelintir industri besar, jadi alat konsolidasi kekayaan di laut,” katanya.
Selain itu, kalau PIT untuk pemulihan lingkungan yang dibatasi seharusnya kapal-kapal besar yang merusak ekosistem laut, bukan kapal kecil nelayan yang dibatasi. “Karena selama ini kapal besar yang merusak ekosistem laut, menggunakan alat tangkap bahaya lingkungan,” katanya.
Kepastian Regulasi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, penangkapan ikan terukur belum memberikan keadilan dan kepastian berusaha kepada pengusaha perikanan baik skala kecil, menengah maupun besar. “Menurut saya KKP menerapkan kebijakan PIT secara parsial tanpa melakukan pembenahan internal terlebih dahulu, daripada harus memaksakan law enforcement (penegakan hukum),” kata Halim saat dihubungi Mongabay Indonesia, Selasa, 18 Oktober 2023.
Pembenahan internal yang dimaksud Halim adalah terkait pelayanan KKP terhadap pelaku perikanan baik pra ataupun pasca melaut. Pra melaut yaitu mencakup layanan perizinan.
baca juga : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Halim mengatakan perlu dipastikan bahwa penerbitan perizinan meskipun melalui aplikasi daring sering ditemukan dilapangan memperlambat pelaku usaha untuk mendapatkan izin melaut. “Sementara itu kebutuhan dapur terus berjalan, imbasnya ya pelaku usaha melaut berbekal izin yang berstatus masih dalam proses,” katanya.
Kondisi itu membuat KKP justru menjadi penyebab lahirnya praktek IUU Fishing. “Karena disebabkan oleh ketidakpastian regulasi yang dibuat,” tambahnya.
Abdul Halim juga menyoroti SDM atau sumber daya manusia yang berada di pelabuhan-pelabuhan perikanan. Jumlah yang diperlukan tidak menggambarkan kebutuhan ideal yang mestinya dicukupi terlebih dahulu. “Misalnya jumlah syahbandar dan fasilitas pendukungnya,” kata Abdul.
Sedangkan pembenahan internal pasca melaut, Abdul bilang, KKP harus mencakup inspeksi dan pendataan hasil tangkapan ikan. Abdul menemukan masih banyak ikan hasil tangkapan menggunakan destructive fishing masih diloloskan oleh oknum aparat, dengan pertimbangan demi meningkatkan pendapatan negara bukan pajak. “Sementara langkah penegakan hukumnya masih timpang dan tebang pilih di antara aparat keamanan yang memiliki kewenangan pengawasan di laut,” katanya.