- Gita Syahrani raih penghargaan Climate Breakthrough 2023. Dia menjadi penerima kedua dari Indonesia yang mendapatkan penghargaan sebagai individu untuk melakukan terobosan dan inovasi untuk iklim.
- Penghargaan ini diberikan karena perjalanan karir Gita dalam menjembatani industri, pemerintah dan masyarakat dalam aksi lingkungan yang lestari di Indonesia.
- Melalui penghargaan ini, Gita akan menunjukkan model ekonomi alternatif bagi Indonesia dengan pendekatan yang lebih berkesadaran dan dengan hati agar lebih berdampak. Ini akan dibangun berdasarkan produk dan layanan bernilai tambah serta berkualitas tinggi yang berasal dari inovasi berbasis alam yang berkelanjutan.
- Direktur Eksekutif Climate Breakthrough, Savanna Ferguson mengatakan penghargaan ini bisa menjadi katalisator dalam upaya-upaya transformasi iklim para penerima hibah. Harapannya, keduanya mampu memiliki dampak iklim secara global.
Ritual menyiram tanaman sambil mengucapkan terima kasih dan tanya kabar ke tanaman dan burung kakaktua sangat lekat di ingatan masa kecil Gita Syahrani (38). Ritual yang diajarkan sang nenek menjadi inspirasinya untuk bisa terus berterima kasih kepada alam.
Inspirasi itu terus menjadi panduan pada perjalanan karirnya. Lebih dari satu dekade, Gita memiliki pengalaman di bidang hukum yang fokus pada isu iklim dan investasi hijau, bekerja dengan para pemimpin sektor publik, swasta, dan nirlaba hingga masyarakat untuk melindungi ekosistem penting dan mempromosikan alternatif berkelanjutan terhadap sumber daya alam.
Pada 1 November 2023, dia menerima penghargaan Climate Breakthrough. Tahun ini, Climate Breakthrough mengumumkan dua penerima penghargaan kepada individu yang konsisten dan memberikan inspirasi untuk beraksi demi melindungi bumi.
Penghargaan ini diberikan karena perjalanan karir Gita sebagai individu dalam menjembatani industri dan masyarakat dalam aksi lingkungan yang lestari di Indonesia. Baginya, ini menjadi kesempatan untuk bisa mewujudkan ide yang ‘aneh’ dalam mewujudkan aksi keberlanjutan bagi alam di Indonesia.
“Aku sangat excited karena idenya susah mencari dukungannya. Tapi ternyata bisa, ada (Climate Breakthrough) memberi pengakuan ,” ujarnya saat diwawancara Mongabay pada 26 Oktober lalu.
“Saya ingin membangkitkan imajinasi masyarakat Indonesia, khususnya Generasi Z, agar mereka dapat membayangkan masa depan dengan model pertumbuhan ekonomi yang lebih regeneratif dan adil,” tambahnya.
Sejak 2017-2023, Gita menjadi Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), sebuah asosiasi pemerintah kabupaten yang dibentuk untuk mempertemukan lintas pemangku kepentingan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Bersama dengan Koalisi Ekonomi Membumi, dia juga melakukan gerakan bersama untuk mendorong tumbuhnya ekosistem investasi hijau untuk bisnis skala besar dan UMKM di Indonesia dengan kerjasama multipihak dan antar negara.
Apa yang menjadi cita-cita Gita dalam model ekonomi alternatif untuk mengkatalisasi bisnis berbasis alam dan di wilayah hutan dan gambut di Indonesia. Simak wawancaranya bersama Lusia Arumingtyas dari Mongabay Indonesia.
Mongabay: Apa yang menginspirasi Anda konsisten dalam menyuarakan isu lingkungan?
Gita: Jika dari sisi inspirasi, bahasa mudahnya memang aku harus mencari muka terus sama bumi. Kondisi ini terus dilakukan karena memang tanggung jawab kita, setidaknya aku, dan mudah-mudahan lebih banyak orang yang punya kepercayaan yang sama. Yakni, untuk memberitahu bumi bahwa kita worth it ada di sini.
Kepercayaan itu bukan aku dapat ilham dari langit, tapi diajarkan nenek saya sejak kecil. Kita punya ritual menyiram tanaman sambil bilang terima kasih, sambil menanyakan kabar ke tanaman. Tanya kabar ke burung kakaktua. Dia bilang kalau mereka tidak kasih kamu hidup disini tuh, kamu tidak ada.
Mongabay: Apa yang terjadi jika Manusia tak ada di Bumi?
Gita: Bumi sebenarnya baik-baik saja tanpa manusia. Pandemi menunjukkan tidak ada manusia dan aktivitas bumi malah thriving (berkembang). Spesies yang tadinya tidak ada lalu muncul lagi. Aku yakin alam itu baik-baik saja, sebetulnya yang tidak baik-baik saja itu manusianya. Kalau sampai kita buat buminya marah. Aku tidak tahu ya ini abstrak atau tidak, tapi kalau untuk aku sejujurnya memang begitu.
Mongabay: Dari perjalanan karir yang panjang, mana yang paling berkesan?
Gita: Semua pekerjaan punya pengalaman yang spesial. Tapi kalau ditanya “mana yang gue banget”? Rasanya saat aku bekerja di Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL). Disitu aku sadar bahwa profesi convener atau perangkai gotong royong itu harus dilegitimasi dan dibutuhkan. Dan buat aku ini sangat menyenangkan untuk mengulik profesi ini.
Yang kedua, aku sadar bahwa perubahan-perubahan besar yang ada dimanapun terutama di Indonesia itu munculnya dari daerah. Kekayaan terbesar di Indonesia itu memang ada di daerahnya, mulai dari budaya, keanekaragaman hayati, masyarakatnya, ceritanya. Semua datangnya dari seantero penjuru daerah.
Awalnya saat ketemu semua kabupaten di LTKL aku tidak tahu ada namanya Sigi, Sintang, Sanggau dan sebagainya. Di LTKL ini aku menemukan Indonesia itu keren banget ya.
I can do this the rest of my life. Membantu daerah-daerah di Indonesia untuk punya pola pembangunan yang betul-betul sesuai sama karakteristik mereka. Lingkungannya terjaga, tapi mereka bisa punya inovasi, masyarakat sejahtera, ada pertumbuhan ekonomi.
Baik staf pemerintah daerah, pemimpin di dinas-dinas, komunitas profesional muda hingga teman-teman masyarakat sipil semua membantu.
Mongabay: Apa makna pendekatan perangkai gotong royong yang digunakan?
Gita: Dalam salah satu pidato kepada para cendekiawan, Bung Karno pernah bilang kalau Pancasila jika diperas jadi satu, esensinya gotong royong, karena itu membuat bangsa kita berbeda dengan bangsa lain.
Bayangkan jika kita kembali ke esensi dasar yang adalah gotong royong. Jika orang berniat baik sama bangsa, sayang sama Indonesia ini kumpul, bikin karya atau sesuatu bersama jadi keren banget.
Lalu, aku mengulik keilmuan itu untuk mendekatkan proses untuk antar lembaga baik pemerintah, sektor privat, masyarakat itu berinteraksi, memberi kepercayaan satu sama lain dan berkembang. Itu yang aku coba wujudkan sebagai convener (diartikan perangkai gotong royong).
Jadi sebetulnya yang aku coba lakukan bukan menggotong royongkan orang, gak kaya gitu. Tapi setidaknya ini profesi yang tujuannya adalah memastikan proses bisa terselenggara dengan baik sehingga pihak-pihak yang gotong royong itu bisa ketemu.
Dalam teori collective impact, dia sebagai backbone yang memastikan profesi ini punya kesetiaan terhadap proses dan mengajak semua pihak untuk bersama dalam berproses dan bekerja sama.
Mongabay: Bagaimana agar pendekatan ini bisa dilaksanakan secara masif untuk pembangunan yang lestari. Apa saja tantangannya?
Gita: Jadi LTKL ini adalah punya teman-teman kabupaten. Mereka bagian dari APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia). Pada 2017, LTKL terdiri dari sembilan anggota. Yakni, Kabupaten Sintang, Siak, Gorontalo, Bone Bolango, Sanggau, Musi Banyuasin, Sigi, Aceh Tamiang dan Kapuas Hulu
LTKL tidak memilih anggota tersebut, mereka yang menentukan dan mereka yang tertarik membuat forum ini. Awalnya mereka yang reach out aku dengan bilang. “Mbak kamu suka bikin meeting antar daerah. Coba dong bikinin, siapa tau bisa jadi sesuatu.”
Juli 2017, APKASI menyarankan untuk di launching forum tersebut secara formal dengan 8 anggota pendiri untuk pembangunan nasional terutama isu SDGs, penurunan emisi yang dikerjakan dengan gotong royong. Itu tiga entry point-nya.
Tahun 2021, diperkuat deklarasi dengan angka. Untuk menyelamatkan setidaknya 50% ekosistem penting di 2023. Tapi cara-caranya harus menyejahterakan setidaknya satu juta keluarga.
LTKL ini sebagai akselerator. Kita membuat kelompok yang membuat konsep bersama dengan kabupaten anggota. Kita buktikan ekonomi lestari itu bisa, kita bikin resep dan blueprint-nya. Lalu harapannya bisa dioper ke semua kabupaten di Indonesia agar bisa digunakan.
Tahun 2025, ada momentum RPJP (Rancangan Pembangunan Jangka Panjang) mau habis. Dokumen ini menjadi rencana pembangunan jangka panjang dalam 20 tahun ke depan mau dibawa kemana negara kita. Nasional hingga daerah harus berpikir. Jadi kita memutuskan bahwa kita perlu membuat program bersama APKASI untuk mengarah ekspansi pengetahuan.
Di bulan September, ada 59 kabupaten yang menandatangani deklarasi untuk mengintegrasikan elemen pembangunan yang lebih tangguh iklim dan lestari dalam RPJP mereka. Ini momentum yang penting meski baru bisa level dokumen, karena kalau sudah kalah, kita perlu menunggu 20 tahun lagi.
Mongabay: Apa yang akan dilakukan setelah menerima penghargaan ini?
Gita: Awalnya aku kaget dapat penghargaan ini, ada yang memberi pengakuan kepada aku sebagai individu. Padahal peranku saat ini sebagai convener, perangkai gotong royong, dimana aku sangat mudah bercerita tentang LTKL, koalisi ekonomi membumi yang sebetulnya punya bersama.
Apa yang telah dilakukan menjadi sebuah semangat, buat tim kerja advokasi bersama dengan teman-teman koalisi, masyarakat, sektor privat dan pemerintah.
Mongabay: Apa harapan Anda ke depan untuk lingkungan dan masyarakat di Indonesia?
Ke depan, aku akan membantu lebih banyak orang untuk sadar kita terkoneksi dengan alam satu sama lain. Harapannya begitu orang ingat maka dia akan mengapresiasi lebih. Dengan begitu, mereka akan mencari cara supaya mereka terlibat menjaga.
Pada saat mereka mau terlibat lebih, maka semakin banyak orang yang terlibat aktif untuk menjaga, memulihkan dan mengembalikan keseimbangan antara manusia dengan semesta.
So, it’s a bit abstract. Tapi ini akan menonjolkan lebih ke rasa yang diolah. Karena ternyata there is very powerful. Terkadang, banyak orang yang mengotak-kotakan pendekatan yang sangat data oriented.
Padahal bisa juga melalui pendekatan spiritual yang benar-benar mindfull dan pakai hati. Kalau keduanya kalau digabungkan, akan powerful banget. Makanya (dengan pendanaan ini) aku akan mengulik bagian itu.
***
Climate Breakthrough adalah filantropi global yang mendukung para pemimpin luar biasa untuk melakukan aksi iklim yang ambisius dan transformatif yang dengan cepat dan adil menutup kesenjangan antara saat ini dan masa depan yang berkelanjutan.
Penghargaan ini merupakan pendanaan iklim terbesar untuk individu yang dirancang secara unik untuk meningkatkan peran filantropi dalam mendorong aksi iklim. Setiap penerima akan mendapatkan total dukungan hibah multi tahun sebesar USD 3 juta untuk pengembangan kapasitas dalam melakukan aksi iklim yang ambisius dan transformatif.
Selain Gita, penghargaan Climate Breakthrough 2023 juga memberikan penghargaan kepada Jane Fleming Kleeb dari Amerika Serikat. Keduanya bergabung dengan 17 penerima Climate Breakthrough Award sebelumnya yang telah menggunakan dana hibah untuk menciptakan atau meningkatkan inisiatif baru dengan potensi kuat dalam mengatasi krisis iklim.