- Warga Parak Laweh, terutama yang tinggal di sekitar tempat penimbunan batubara (stockpile) lebih dua bulan ini merasakan derita debu penuhi tempat mereka. Dari halaman, debu batubara sampai masuk ke dalam rumah nempel di lantai maupun perabotan seperti piring, gelas dan lain-lain.
- Warga laki-laki, perempuan terlebih anak-anak mengalami batuk dan pilek tak sembuh-sembuh. Bahkan, ada yang harus pindah demi kesehatan. Tempat usaha seperti warung jualan pun ada yang tutup karena debu batubara sudah terlalu tebal.
- Sebelumnya, warga bersama Walhi Sumatera Barat, PBHI dan LBH Padang mendatangi Komnas HAM dan Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat 4 Oktober lalu. Dari laporan itu, stockpile batubara sempat disegel tetapi tak menyetop operasi. Alasan petugas Dinas Lingkungan Hidup, sanksi administratif sesuai UU Cipta Kerja, tak menyetop aksi perusahaan. Mau melangkah hukum lebih jauh, alasannya, merupakan wewenang pemerintah pusat.
- Pada 31 Oktober lalu warga beramai-ramai mendatangi Polda Sumbar untuk melaporkan kasus pencemaran debu batubara itu. Indah dari tim hukum Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumbar yang mendampingi warga berharap, Polda Sumbar segera mengambil sikap tegas melakukan dugaan tindak pidana lingkungan ini.
Saat membuka jendela kamar, Listawati bisa langsung melihat aktivitas bongkar muat batubara karena tempat penimbunan (stockpile) tak jauh dari rumahnya. Debu pun menyerbu rumah. Bantal, kasur, meja rias, kamar mandi dan setiap sudut rumah menghitam oleh debu batubara.
Dia punya toko di depan rumahnya di Parak Laweh, Kota Padang, Sumatera Barat. Lantai keramik putih tertutup abu batubara yang terbang dari jalan atau pun dari stockpile sebelah rumahnya.
Truk-truk batubara yang lewat sering menjatuhkan bongkahan-bongkahan batubara beserta debunya. Warga harus menyiram jalan agar tak beterbangan dan masuk ke rumah atau toko mereka.
Biasanya penjualan di toko Lista sekitar Rp1,5 juta per hari. Itu dari orang-orang yang membeli bahan makanan atau sekadar mampir minum kopi. Kini, sudah dua bulan toko tidak buka karena debu batubara terlalu tebal.
Kalau dihitung dengan pendapatan minimal saja, dia kehilangan potensi penjualan Rp90 juta.
“Apakah kami harus mati dulu baru ada konsekuensi untuk mereka?” kata Lista dengan volume meninggi dan membelalakkan mata, 23 Oktober lalu.
Dia geram dengan pemerintah yang sudah menyegel stockpile tetapi tidak berdampak positif untuk masyarakat. “Penyegelan itu tidak ada artinya!” katanya.
Lista mengetahui penyegelan itu dari informasi Dinas Lingkungan Hidup dan mendapat kabar stockpile diberi waktu satu minggu.
“Kami rasa satu atau dua hari barang itu habis. Tapi sekarang malah tambah menggunung dan mereka tidak menyiramnya. Mereka semena-mena pada kami,” katanya.
Dia pun mempertanyakan makna dari ‘penyegelan.“ ”Apa hukumnya, ada atau tidak dan dampak kami bagaimana? kesehatan kami, anak-anak ini, kami di sini semua pada sakit,” katanya.
Lista hampir putus asa karena tidak bisa berjualan dua bulan dan kebisingan terus terjadi hampir 24 jam.
Kini, Lista harus mengungsi ke tempat orang tuanya. Dia juga memeriksakan diri ke dokter dan dirujuk ke dokter spesialis paru. “Saya didagnosis kena bronkitis. Setiap pagi sesak napas saya,” katanya.
Dia mengatakan , stockpile di sebelah rumahnya ini mulai beroperasi 6 Agustus 2023.
“Pernah saya menanyakan pada mereka, bagaimana ini batubaranya? Mereka yang beraktivitas kami yang kena imbas abu mereka, tapi mereka bilang itu bukan batubara mereka tapi milik PLN.”
Akhirnya, dia tahu kalau batubara itu milik PT EMI setelah ada mediasi dan dalam berita acara Dinas Lingkungan Hidup ada nama perusahaan itu.
Baca juga: Debu Resahkan Warga Parak Laweh, Akhirnya Tim Gabungan Setop Operasi Stockpile Batubara
Kekhawatiran juga dialami Tina. Perempuan 26 tahun ini cemas melihat anaknya demam disertai batuk pilek dua bulan belakangan. Sebenarnya dia juga sesak napas saat bangun tidur.
“Anak saya sudah tiga hari ini, tiga kali ini bolak-balik ke klinik. AC saya juga macet karena debu. Sudah dua bulan ini,” katanya.
Dia mengatakan, hasil pemeriksaan dokter karena cuaca dan dampak dari abu juga. Kini, Tina lebih sering menutup pintu, tetapi ventilasi rusak. “Jadi sama saja abu masuk dan lantai menghitam walaupun sudah dipel.”
Anaknya yang berusia enam tahun banyak mengonsumsi obat.
Ada tiga botol obat sirup dan lebih dari enam obat pil dan tablet.
Anaknya yang satu lagi berusia delapan tahun ngungsi ke tempat neneknya.
Bagi Tina, kesembuhan anaknya paling utama. “Dia disuruh pakai masker sama gurunya. Untung ada BPJS jadi tidak terlalu terasa biayanya. Biarlah berobat yang penting anak saya cepat sembuh. Iba melihat anak berobat terus, makan obat terus, ini sore ini mau ke klinik lagi,” katanya.
Dia juga harus sering membersihkan rumah. “Harus disapu tiap jam, sudah dipel hitam juga, kalau ga disapu debunya nggak tanggung,” katanya, berharap, bisa kembali seperti dulu taka da debu batubara lagi.
Suci, warga lain pun merasa debu-debu batubara ini sangat meresahkan. Dia harus menyapu rumah setiap jam, menutup jendela rumah setengah agar tak terlalu banyak debu masuk dan menutup pintu. Debu-debu itu ada di kulkas, tudung makanan di meja makan yang bundar serta piring dan gelas.
Pindah jelas bukan pilihan untuk keluarga Suci. Orang tuanya kerja di pabrik kecap. Rumah mereka merupakan fasilitas pabrik.
Suci bilang, debu batubara yang sebelumnya pun juga meresahkan. Dia sempat jual lontong namun berhenti. “Tebal pula debu batubara dari pada lontong kita. Tu hitam lontongnya,” katanya.
Lantas dia tak lagi jual lontong. Kondisi makin parah dengan debu batubara dari stockpile yang baru masuk dua bulan ini.
Sebelumnya dia tak perlu harus menutup jendela.
Gusnidar, pemilik warung kecil di pinggir bypass pun alami keluhan serupa. Dia menjual minuman ringan dan kopi di kedainya. Ada juga sendal. Namun sendal yang biasa dipajang tiap subuh itu jadi hitam, orang tak ada yang mau membeli.
“Ini kerupuk aja yang baru datang sudah hitam. Biasanya yang punya mengantar dua kali ke sini, ini hanya sekali,” katanya.
Sudah lebih 10 tahun Gusnidar tinggal di kedai itu. Dengan kedai itu dia membiayai hidupnya dan anak-anaknya. Kini, pendapatan turun sampai setengah dari biasa.
“Kadang bapak-bapak atau ibu-ibu ke sini tanya obat. Tidak ada obat di sini.”
Dia juga sering tak enak badan sejak debu batubara memenuhi warungnya. Dia hanya minum air hangat, sesekali susu kaleng beruang, kadang minum obat demam. Dia tak berobat ke dokter.
Sanksi administratf tak digubris, mau tutup stockpile terhambat UU Cipta Kerja?
Sebelumnya, warga bersama Walhi Sumatera Barat, PBHI dan LBH Padang mendatangi Komnas HAM dan Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat 4 Oktober lalu. Dari laporan itu, stockpile batubara sempat disegel tetapi tak menyetop operasi.
Lista bilang, mereka juga laporkan pencemaran debu ini ke DLH Kota Padang.
Dalam pertemuan dengan DLH Padang, Indrawati sambil menggendong anaknya yang batuk kesal debu makin tebal. “Ini anak nggak sembuh-sembuh, berulang berobat ke dokter nggak sembuh-sembuh, mau sampai kapan minum obat terus. Cuma itu yang bisa saya sampaikan,” katanya.
Warga lain, Johan membuka masker sampai ke dagu dan mengeluarkan telepon seluler serta menyorongkan ke meja pegawai Dinas LIngkungan Hidup Kota Padang.
“Kami dari warga sudah habis. Sudah capek untuk bicara. Kepada siapa kami mengadu? Kepada siapa lagi kami mengadu soal perbuatan semena-mena ini?” katanya kesal.
Dia bilang, matanya merah dan sakit karena debu batubara tetapi tak ada penyelesaian hingga kini.
Suara batuk warga terengar tak henti dalam pertemuan dengan DLH itu.
Dua pegawai dari DLH Kota Padang menerima kedatangan warga. Yakni, Auwilla Putri, selaku Kepala Bidang Penataan dan Penegakkan Hukum Lingkungan dan Fuad Syukri, selaku fungsional pengawas lingkungan hidup ahli muda.
Fuad sempat mengatakan kalau wewenang lebih besar ada di kepolisian. Mereka perlu dukungan kepolisian dan sudah berkoordinasi dengan Polresta Padang karena sanksi administratif yang mereka berikan tak didengar pengelola stockpile.
“Kami hanya mampu sampai level administratif,” katanya.
Dia menyebut, saat menggunakan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, walikota masih bisa memaksa stockpile tutup. Sekarang, katanya, tidak bisa karena ada Undang-undang Cipta Kerja.
“Dalam Undang-undang Cipta Kerja pemerintah pusat yang punya wewenang. Yang bisa bergerak ada di kementerian.”
Fuad melemparkan tanggungjawab mengawal pada masyarakat dan Walhi sebagai lembaga yang mendampingi masyarakat.
Lapor polisi
Pada 31 Oktober lalu warga beramai-ramai mendatangi Polda Sumbar untuk melaporkan pencemaran debu batubara dan perusahaan itu. Lista menceritakan keluhan kepada polisi.
“Walaupun sudah disegel mereka tetap beraktivitas sampai saat ini. Katanya mereka harus mengosongkan stockpile itu per 12 Oktober 2023 tapi mereka tetap melakukan aktivitas mereka seperti biasa memasukkan batubara ke stockpile,” kata Lista.
Adi Saputra rumahnya hanya dua meter di belakang stockpile merasakan betul dampaknya. “Banyak yang batuk, demam sekarang ni lagi demam itu keponakan saya sudah berulang kali, kata dokter kalau masuk kan pengaruh debu angin yang nggak sehat,” katanya.
Wili, petugas Subdit I Reskrimsus Polda Sumbar mengatakan, sudah menerima laporan dan meminta keterangan. Selanjutnya mereka akan meneruskan surat itu ke Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) agar menindaklanjuti kasus ini.
Indah dari tim hukum Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumbar yang mendampingi warga berharap, Polda Sumbar segera mengambil sikap tegas melakukan dugaan tindak pidana lingkungan ini.
Johan, ikut lapor duduk terpekur di depan ruangan Dirkrimsus Polda Sumbar. Pelahan dia berguman. “Kemana lagi mau mengadu, ke DLH tidak bisa, ke sini entah bagaimana lagi,” katanya. Matanya merah diduga terkena abu batubara setiap hari.
********