- Nelayan Panipahan, Rokan Hilir, Riau,mengeluhkan pukat harimau dan bubu tarik masih merajalela merusak perairan di sana. Pengguna kapal dengan alat tangkap merusak ini itu bukan nelayan lokal tetapi dari daerah lain seperti Tanjung Balai Asahan hingga dari Belawan, Sumatera Utara. Mereka melaut, keluar dari zona penangkapan daerah masing-masing.
- Temuan para nelayan, pukat harimau dan bubu tarik merusak tanah karena alat tangkap itu dikendalikan sampai ke dasar laut. Segala jenis ikan ukuran kecil termasuk bibit ikan sekalipun masuk ke jaring berkantong ini. Setelah tanah rusak dan mengakibatkan perairan keruh, ikan juga tak mau bertelur lagi.
- Konflik nelayan pun terjadi. Konflik antar nelayan lokal dan luar karena pukat harimau dan bubu tarik ini merembet ke mana-mana. Nelayan lokal kadang tidak berani melaut jauh sampai perbatasan. Pernah juga terjadi penabrakan kapal nelayan lokal oleh nelayan luar ketika aksi kejar-kejaran. Semua berujung pada keselamatan jiwa nelayan di laut.
- Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan, berubah-ubahnya aturan mengenai alat penangkapan ikan karena ada yang tidak jalan dari nalar berpikir negara terkait konsep keberlanjutan. Sebaliknya, pemerintah lebih fokus pada produksi perikanan, komoditi tertentu hingga penangkapan ikan tertukur sedang masalah besarnya tidak diselesaikan.
Nelayan Panipahan, Rokan Hilir, Riau,mengeluhkan pukat harimau dan bubu tarik masih merajalela merusak perairan di sana. Pengguna kapal dengan alat tangkap merusak ini itu bukan nelayan lokal tetapi dari daerah lain seperti Tanjung Balai Asahan hingga dari Belawan, Sumatera Utara. Mereka melaut, keluar dari zona penangkapan daerah masing-masing.
“Kalau (nelayan) Panipahan tak ada pakai alat tangkap yang menghancurkan laut ini,” kata Bustami alias Tomi, nelayan Desa Teluk Pulai, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Rokan Hilir.
Temuan para nelayan, pukat harimau dan bubu tarik merusak tanah karena alat tangkap itu dikendalikan sampai ke dasar laut. Segala jenis ikan ukuran kecil termasuk bibit ikan sekalipun masuk ke jaring berkantong ini. Setelah tanah rusak dan mengakibatkan perairan keruh, ikan juga tak mau bertelur lagi.
“Tanah rusak. Segala ikan habis. Segala bibit hancur. Udang bertelur. Ikan bertelur. Lama-lama bibit habis. Kalau tak ada bubu tarik, bibit (ikan) tak mati dan tanah tak rusak,” kata Ban Hook, nelayan Desa Panipahan Laut.
Ban Hook bilang, satu bulan saja tak ada pukat harimau dan bubu tarik dari Belawan dan Tanjung Balai Asahan, hasil laut akan tampak dan berkembang kembali. Udang mulai bongkar. Ikan banyak lagi.
“Makin hari, makin enak cari makan, 10 tahun akan datang, orang cari makan senang.”
Dampak ekonomi ada pukat harimau dan bubu tarik pada area penangkapan ikan nelayan Panipahan, adalah penurunan hasil tangkapan mereka. Pendapatan makin merosot, tak jarang anak buah kapal tak dapat gaji atau bagian sama sekali.
Istilah lokal menyebut tepangkuk. Ini satu keadaan, ketika hasil melaut tak dapat menutupi utang kongsi atau modal yang dipinjam ke tauke.
“Hasil tangkapan bukan menurun lagi. Makin hancur. Bisa mati tak makan. Di Panipahan, sekitar 90% kerja sebagai nelayan,” kata Saparuddin, nelayan Desa Panipahan Darat.
Pukat harimau dan bubu tarik juga berimbas ke segala jenis alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Banyak nelayan tenggiri gantung jaring. Bahkan, pengusaha atau tauke ikan pun satu per satu berhenti melaut.
Bagi yang bertahan harus menambah jaring lebih panjang lagi. Kalau tidak, sulit mendapat ikan lebih banyak atau sekadar menutupi utang kongsi.
“Sikolah hajabnyo (sinilah susahnya). Kalau jaring tak panjang, bisa-bisa tak dapat ikan,” ucap Iran.
Soal mulai berkurangnya nelayan di Panipahan dibenarkan Ban Hook. Dia nelayan kapal apung, jenis sarana penangkapan ikan kelas besar karena di atas 20 gross tonnage (GT). Jumlah kapal apung pun terus menurun. Saat ini, tersisa kurang dari 30. Sebelumnya, lebih 60 kapal apung beroperasi di perairan Panipahan. Penyebabnya, tak lepas dari keberadaan pukat harimau dan bubu tarik yang mengusik wilayah tangkap mereka.
“Pukat tarik banyak. (kapal) Apung ni payah, sekarang. Kadang rugi. Sering libur (tak melaut). Hasil laut tak cukup belanja,” jelas Ban Hook.
Keresahan serupa juga diungkapkan Antoni dan Yan Keong, dua nelayan apung bersaudara. Pukat harimau dan bubu tarik, katanya, buat nelayan hajap atau susah cari makan.
Tahun lalu, nelayan apung banyak jual kapal karena ongkos melaut sangat tak sebanding dengan hasil yang didapat.
“Tahun semalam (2022), mau nangis semua (nelayan). Bayar upah anggota saja berat. Kami pun mau jual kapal. Tapi tak ada mau beli. Nelayan apung, sekarang, mati,” kata Antoni.
Tahun ini, aku Antoni, kondisi laut perlahan membaik dibanding tahun lewat karena kapal pukat harimau dan bubu tarik mulai berkurang dan jarang tampak di perairan Panipahan.
Kalau situasi itu terus pulih dan kapal dengan alat perusak betul-betul hilang, tahun depan, katanya, nelayan sudah bisa cari makan dengan aman dan tenang.
Nelayan pukat harimau dan bubu tarik dari Sumatera Utara beroperasi hingga ke perairan Kepulauan Aruah, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Rokan Hilir, Riau. Menteri Kelautan dan Perikanan telah menetapkan gugusan pulau itu sebagai kawasan konservasi pada 6 September 2021. Laut dan pantai menyimpan terumbu karang dan penyu hijau dilindungi.
Nelayan lokal khawatir, tidak mustahil pukat harimau dan bubu tarik akan merusak ekosistem perairan dengan segala jenis biota laut sekitar Kepulauan Aruah. Sebenarnya, mereka tidak tinggal diam.
Nelayan lokal kerap membakar kapal beserta alat tangkap terlarang itu. Sementara tekong atau nakhoda dan anak buah kapal ditangkap dan dibawa ke kantor aparat penegak hukum setempat.
“Masyarakat satu Panipahan bisa ikut menghakimi nelayan pukat harimau dan bubu tarik itu di laut,” kata Tomi.
“Pernah baku hantam. Baru, tahun ini, tidak bentrok. Kalau dulu terus bentrok. Mereka melanggar wilayah tangkap dan menabrak jaring nelayan. Hasil laut kami jadi kurang. Kami tangkap bawa ke perikanan (UPT Perikanan Rokan Hilir) kapal dan nelayannya. Kalau tak sempat, kami bakar di tempat,” kata Saripuddin.
Tak jarang, nelayan lokal yang mendapati kapal luar mengoperasikan pukat harimau maupun bubu tarik, ramai-ramai mengejar dan menyeret ke Pos Angkatan Laut atau Kepolisian Air setempat.
Penangkapan mandiri itu justru mengecewakan. Terkadang, kapal dan awak kapal yang sudah ditangkap dan dititipkan ke pos pengaman justru lepas begitu saja tanpa sepengetahuan nelayan.
Seperti diceritakan Saripuddin, mereka pernah menangkap tiga kapal pukat harimau dan bubu tarik berikut anak buah kapal dan nakhodanya.
“Tiba-tiba ABK (anak buah kapal) hilang dari dalam Pos AL. Padahal dititip di situ dengan kapalnya,” kata Saripuddin.
Kondisi ini menyebabkan ketidakpercayaan nelayan pada penegak hukum. Alhasil, main hakim sendiri di tengah laut terkadang tak terelakkan.
“Sekarang, kami kalau dapat kapal (pukat harimau dan bubu tarik) itu langsung bakar. Tak ada bawa ke tepi (Pos AL dan Pol Air) lagi. Sudah capek kami. Letih juga. Lebih bagus dibakar lagi. Sekali kerja,” kata Tomi, geram.
Konflik antar nelayan lokal dan luar karena pukat harimau dan bubu tarik ini merembet ke mana-mana. Nelayan lokal kadang tidak berani melaut jauh sampai perbatasan. Pernah juga terjadi penabrakan kapal nelayan lokal oleh nelayan luar ketika aksi kejar-kejaran. Semua berujung pada keselamatan jiwa nelayan di laut.
“Terjadi ‘perang’ persaudaraan. Kapal saya pernah dilanggar gara-gara kejar pukat tarik. Mesin mereka besar. Saya cuma pakai mesin empat piston,” ujar Saripuddin.
Bagaimana memberantasnya? Semua nelayan menyerahkan pada aparat penegak hukum.
“Setahu aku, tergantung pada aparat. Kala demo di sana (Kantor Pol Airud dan Pos AL), bisa saja,” kata Iran.
Masalahnya, sikap nelayan lokal yang meredam diri dan menyerahkan penindakan atas pelanggaran di laut itu sepenuhnya ke penegak hukum juga tidak menyenangkan hati mereka.
Antoni bilang, meski melapor ke penegak hukum setelah mendapati aktivitas pukat harimau dan bubu tarik, tak ada tindakan dan informasi lebih lanjut yang mereka dapatkan.
Keresahan itu juga dirasakan Saripuddin. Berkali-kali dia dan nelayan lain mengajukan permohonan ke UPT Perikanan, Pol Air dan AL agar kapal pukat harimau dan bubu tarik itu ditindak. Laporan itu terkadang disertai foto dan posisi kapal tetapi minim tanggapan. Nelayan muak.
“Sekarang, kami diam karena sudah malas. Capek.”
“Kalau itu diizinkan, nelayan Panipahan bisa bikin juga. Biar sama-sama hancur. Tapi kami tetap turut peraturan. Pertanyaannya, kenapa mereka bebas, kami tidak?” tanya Saripuddin.
Penindakan
Iran mengatakan, pukat harimau dan bubu tarik sudah beroperasi sejak era Soeharto—merujuk pada pemerintahan Presiden Indonesia kedua. Sempat lama tak muncul, beberapa tahun belakangan beroperasi kembali. Tak jera, meski nelayan lokal sering menangkap dan membakar kapal-kapal itu.
Dalam UU Perikanan melarang penggunaan sarana penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak sumber daya perikanan, aktivitas terlarang itu memang belum dapat diredam sepenuhnya.
Bagaimana penegakan hukum? Berdasarkan penelusuran Mongabay pada laman Direktori Putusan Mahkamah Agung, hanya ada tiga perkara tindak pidana khusus perikanan terunduh yang pernah diputus Pengadilan Negeri Rokan Hilir pada 2013.
Tindak pidana antara lain, tidak memiliki surat izin penangkapan ikan dan tidak memiliki izin berlayar kapal perikanan. Hanya satu perkara berhubungan dengan penggunaan alat penangkapan ikan yang menggangu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan.
Hukumannya pun tergolong ringan, antara empat bulan hingga satu tahun. Kalau merujuk UU Perikanan, hukuman kategori pelanggaran ini cukup tinggi. Mulai satu tahun sampai paling lama enam tahun penjara. Penegak hukum juga menyasar pelaku di laut seperti nakhoda dan ABK tak menyentuh pemilik modal atau pengusaha yang bermain di darat.
Mongabay berusaha menyurati tiga lembaga penegak hukum di Rokan Hilir untuk mendapat data dan informasi terhadap kasus tindak pidana perikanan yang ditangani, sepanjang 2015-2023. Surat resmi dikirim ke Polres, kejaksaan dan pengadilan, 31 Oktober 2023 tetapi tak ada jawaban.
Herimufty, Kepala Bidang Kelautan dan Pengawasan DKP Riau, dalam sosialisasi penetapan kawasan konservasi perairan Kepulauan Aruah, awal September lalu, tidak menampik masalah kapal pukat yang masih beroperasi di perairan Panipahan.
Dia kerap terima laporan dari UPT PSDKP Wilayah III. Pelakunya didominasi nelayan dari Sumatera Utara. Dia pun tidak menutup mata atas konflik sesama nelayan yang terjadi laut. Solusinya, UPT PSDKP antar wilayah sudah pernah bertemu, beri masukan dan saling memantau pergerakan nelayan dari wilayah kerja masing-masing.
Soal pengawasan, kata Herimufty, masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Meski ada kerjasama patroli dengan Polisi Air, TNI AL termasuk Bakamla, durasi dan rutinitas tergolong kurang. Kendalanya, juga masalah klasik soal biaya atau anggaran.
Anggaran pengawasan laut di DKP Riau, tahun ini, hanya tersedia buat enam kali patroli. Tahun lalu, bahkan hanya cukup empat kali. Tahun depan, akan ada peningkatan menjadi 10 kali patroli.
Minimnya anggaran pengawasan laut 0-12 mil oleh pemerintah daerah juga karena putusnya dukungan keuangan dari pemerintah pusat. Saat ini, penganggaran semata hanya dari APBD. Padahal, sekali patroli setidaknya menghabiskan biaya Rp40 juta buat bahan bakar dan sebagainya.
Selain soal anggaran, kendala pengawasan juga karena keterbatasan armada. Riau punya tujuh wilayah pesisir dari 12 kabupaten dan kota. Penanggungjawabnya dibebankan pada tiga UPT PSDKP.
Wilayah I berpusat di Tembilahan, mengawasi perairan Indragiri Hilir dan Pelalawan. Wilayah II, meliputi Bengkalis, Siak dan Meranti. Sementara Wilayah III, untuk perairan Rokan Hilir dan Dumai.
Perairan yang harus dijaga cukup luas tetapi DKP Riau hanya memiliki satu kapal pengawas yang berjaga di wilayah III. Itu pun, harus naik galangan, akhir tahun ini. Paling tidak baru operasi lagi, tahun depan.
Untuk UPT lain, katanya, harus menjalin kerjasama peminjaman kapal di wilayah kerja masing-masing. Padahal, panjang garis pantai Provinsi Riau mencapi 2.000 kilometer lebih.
Tahun ini, DKP Riau rencana mengadakan dua unit kapal panjang 12,5 meter bahan alumunium. “Semoga dengan bertambahnya armada bisa lebih intenskan pengawasan terutama di wilayah perairan,” harap Herimufty.
Tidak konsisten
Parid Ridwanuddin, Manager Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, benarkan cerita Iran, nelayan Panipahan Darat. Sejarah penggunaan pukat di laut Indonesia cukup panjang. Bahkan, pernah dilarang zaman Soeharto, sekitar tahun 1980-an.
Masalahnya, kata Parid, Pemerintah Indonesia tidak konsisten melarang penggunaan pukat dan alat tangkap perusak lain. Ketika Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, melarang pukat, cantrang, dan sejenisnya cukup ketat dengan Permen KP 2/2015.
Jelang akhir jabatan kebijakan itu kembali dilonggarkan setelah nelayan dari Pulau Jawa unjukrasa depan Istana Negara.
Ketika Edhy Prabowo menggantikan Susi, dia justru melegalkan pukat lewat Permen KP No 59/2020, tentang jalur penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dan laut lepas.
Parid bilang, Peraturan Menteri KKP itu keluar belum genap tiga tahun, sejak Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut 2018 rilis. Dokumen ini, secara umum menyebut sejumlah dampak penggunaan cantrang atau trawl. Mulai dari menimbulkan metode penangkapan yang tidak efektif dan ramah lingkungan, hingga menyebabkan konflik horizontal di kalangan nelayan.
Setelah Edhy Prabowo ditangkap KPK karena korupsi izin ekspor benih lobster, Sakti Wahyu Trenggono, pengganti Edhy, menerbitkan kembali aturan mengenai penggunaan alat penangkap ikan merusak lingkungan. Yakni, Permen KP 18/2021.
Dalam Permen KKP itu banyak alat tangkap yang dilarang di masa Susi justru dibolehkan. “Makin banyak alat tangkap yang dibolehkan, makin menunjukkan pemerintah akomodatif terhadap pelaku perikanan skala besar. Bukan nelayan kecil,” kritik Parid.
Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), sependapat dengan Parid. Menurut dia, berubah-ubahnya aturan mengenai alat penangkapan ikan karena ada yang tidak jalan dari nalar berpikir negara terkait konsep keberlanjutan.
Sebaliknya, pemerintah lebih fokus pada produksi perikanan, komoditi tertentu hingga penangkapan ikan tertukur. Sedang masalah besarnya, kata Susan, tidak diselesaikan seperti konflik karena penggunaan alat tangkap perusak, penangkapan ikan ilegal sampai transshipment.
Makin sulit
Pemerintah Indonesia klaim serius menjaga laut tetapi regulasi yang diterbitkan sarat beri karpet merah pada nelayan skala besar dan berorientasi pengerukan alias produksi semata. Sementara masalah dasar tidak diselesaikan, seperti konflik penggunaan alat tangkap merusak sumber daya perikanan dan kelautan dan sanksi tegas pelaku.
Parid menyoroti data KKP mengenai penurunan jumlah nelayan kecil namun nelayan skala besar terus bertambah. Karena sulit mendapat ikan, banyak nelayan kecil beralih profesi jadi anak buah kapal dan harus melaut jauh. Ada pula yang jadi ABK kapal ikan asing di Taiwan, China, Jepang hingga Korea.
“Itu dampak nelayan kecil yang mengalami kehancuran di laut. Selama ini, laut diobrak-abrik, dikeruk oleh cantrang,” kata Parid.
Praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan juga menambah kesulitan nelayan di laut, selain hadapi krisis iklim—gelombang besar dan angin kencang. Nelayan makin sulit beradaptasi dengan alam.
Tidak hanya itu, kata Susan, banyak laporan nelayan ke pemerintah dan penegak hukum terhadap kapal-kapal pukat berakhir di meja semata. Kalau pun ada penegakan hukum, hanya menyentuh anak buah kapal atau sebatas nakhoda bukan pemilik.
Tebang pilih penegakan hukum itu, katanya, berimbas pada konflik sesama nelayan. Mereka dihadapkan pada perang dan saling bertarung di laut.
“Karena ada pembiaran, orang (nelayan) dipaksa melindungi ruang hidup secara mandiri tanpa ada dukungan negara. Mereka hadapi keputusasaan luar bisa. Padahal sudah melewati proses panjang pengaduan,” kata Susan.
******