- Di era modern, tercatat peristiwa tsunami Aceh pada Desember 2004 menjadi kejadian bencana alam paling dahsyat yang melanda 14 negara dengan lebih dari 200 ribu korban jiwa
- Tsunami megatrust Aceh 2004 merupakan salah satu contoh kompleksitas tsunami yang terjadi di Indonesia, selain berbagai peristiwa tsunami seperti tsunami Mentawai (2010), tsunami di Palu (2018), dan tsunami senyap di selat Sunda (2018)
- Hamzah Latief, peneliti tsunami dan dosen ITB membagi sejarah tsunami Indonesia menjadi empat periode yaitu praliteratur sebelum tahun 1600, periode kolonialissi (1600 – 1945), periode perjuangan (1945 – 1992) dn periode modern (1992 hingga saat ini)
- Untuk meningkatkan kesadaran tentang kegempaan dan tsunami, BMKG merilis tiga buku tentang sejarah tsunami yang terjadi di Indonesia yang berjudul Tsunami di Negeri Para Raja, Sejarah Gempa Bumi Merusak dan Tsunami di Indonesia, dan Tsunami Nontektonik di Indonesia.
Peristiwa tsunami Aceh pada Desember 2004 menjadi kejadian bencana alam paling diingat di era modern. Kala itu ada 14 negara yang merasakan secara langsung dampak tsunami, dengan korban jiwa lebih dari 200 ribu orang di seluruh dunia. Tsunami Aceh adalah tsunami trans oceanik, yang melintasi Samudera Hindia dan membuat kerusakan di sepanjang pesisir pantai di sejumlah negara.
Tsunami Aceh disebabkan oleh gempa tektonik akibat bertemunya lempeng bumi di segmen Megatrust Aceh-Andaman. Gempa Aceh 2004 itu membentuk jalur rekahan sepanjang 1.500 km di zona subduksi dari Aceh hingga kepulauan Andaman. Energi yang terlepas kemudian menciptakan gelombang tinggi yang sangat kuat menuju daratan.
Tsunami megatrust Aceh hanya salah satu contoh kompleksitas tsunami yang ada di Indonesia. Masih ada beberapa lagi penyebab tsunami yang bukan berasal dari gempa dan menimbulkan jatuhnya korban.
baca : Inilah Gelombang Tsunami Tertinggi Dalam Catatan Sejarah Moderen
“Indonesia pernah merasakan dua kali tsunami yang justru bukan disebabkan oleh gempa bumi yaitu tsunami Palu yang terjadi pada bulan September 2018 disebabkan tanah longsor dan tsunami Selat Sunda yang terjadi pada bulan Desember 2018 yang dipicu aktivitas gunung berapi,” ungkap Dwikorita Karnawati dalam siaran pers Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Pernyataan Kepala BMKG itu disampaikan dalam webinar yang diadakan untuk memperingati hari Kesadaran Tsunami Sedunia (World Tsunami Awareness Day) 5 November, yang diselenggarakan oleh Unesco, Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) Intergovernmental Coordination Group for Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System, pekan awal November lalu.
Dalam kesempatan berbeda, Dwikorita menerangkan kompleksitas tsunami di Indonesia itu. Pada 2010, terjadi tsunami akibat gempa bumi melanda Mentawai. Saat itu warga merasakan guncangan bumi seperti diayun dalam waktu lama. Beberapa saat kemudian terjadilah tsunami.
Pada 2018, terjadi tsunami di Palu yang masuk kategori nonseismik. Tsunami yang terjadi diakibatkan longsoran yang dipicu oleh gempa dengan mekanisme mendatar. Selanjutnya masih pada 2018, terjadi tsunami senyap di selat Sunda. Tsunami senyap ini akibat letusan gunung api dan masyarakat tidak menyadari akan adanya tanda-tanda tsunami.
baca juga : Begini Mitigasi Tsunami dan Gempa Megathrust Selatan Jawa
“Dari pengalaman tsunami Aceh, dibangunlah sistem peringatan dini tsunami yang didesain untuk mengantisipasi potensi megatrust yang menghadap ke zona megatrust. Kejadian tsunami di Palu menyadarkan betapa pentingnya sistem peringatan dini untuk tsunami nonseismik. Sistem yang sudah ada harus segera disempurnakan untuk mendeteksi tsunami nonseismik dengan cepat,” katanya dalam dialog yang diselenggarakan secara hybrid, mengambil tema Melawan Kesenjangan Menata Ketangguhan Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Masa Depan, awal November 2023.
Hamzah Latief, peneliti tsunami dan dosen ITB yang menjadi salah satu narasumber kegiatan tersebut menjelaskan, sejarah tsunami Indonesia bisa dipisahkan sebelum tahun 1600 yang disebutnya sebagai praliteratur. Selanjutnya setelah tahun 1600 hingga 1945 merupakan periode kolonialisasi. Lalu tahun 1945 hingga 1992 Hamzah menyebutnya sebagai periode perjuangan karena banyak kejadian bencana yang tidak tercatat.
“Selanjutnya 1992 sampai kini adalah periode modern, ada kejadian tsunami di Flores yang sekaligus menandai bergabungnya peneliti Indonesia bersama Internasional Tsunami Survey Team (ITST). Pada 1992 sudah ada peneliti tsunami dari Indonesia. Sebelum itu pada 1977 dan 1979 sebenarnya pernah terjadi tsunami. Namun laporan tidak memakai standar laporan tsunami karena memang standarnya belum ada,” ungkapnya.
Literasi Tsunami di Indonesia
Terkait upaya meningkatkan kesadaran tentang kegempaan dan tsunami, BMKG merilis tiga buku. Masing-masing berjudul Tsunami di Negeri Para Raja, Sejarah Gempa Bumi Merusak dan Tsunami di Indonesia, dan Tsunami Nontektonik di Indonesia. Seluruhnya diterbitkan oleh Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Kedeputian Bidang Geofisika, BMKG.
Pada buku pertama memaparkan sejumlah tsunami yang pernah terjadi di kepulauan Maluku. Kepulauan Banda di Maluku menjadi titik pertemuan 3 lempeng utama dunia di Asia Tenggara. Yaitu lempeng Eurasia, Pasifik, dan India-Australia. Mengutip buku itu, selama 400 tahun terakhir di kepulauan Maluku telah terjadi 37 kali tsunami tektonik. Umumnya terjadi di sekitar Ambon dan Banda Neira. Catatan pertama terjadi pada 1 Agustus 1629, air naik setinggi 16 meter menerjang permukiman di pesisir Banda Neira.
baca juga : Foto: Di Goa Ini, Sejarah Tsunami Tersimpan Rapi
Buku kedua berisi tentang kejadian bencana gempa bumi yang merusak yang kadang diikuti oleh tsunami. Buku memaparkan sejumlah informasi parameter gempa seperti magnitudo, lintang, bujur, kedalaman, waktu kejadian gempa, dan lokasi, serta dampak yang ditimbulkan. Catatan gempa bumi yang merusak paling awal yang disajikan dalam buku adalah gempa di Bali pada 14 Juli 1976. Kala itu gempa di Buleleng menghancurkan sekitar 90 persen rumah, dan bencana tersebut menelan korban jiwa sebanyak 500 orang.
Dijelaskan, di selatan pulau Bali terdapat zona megathrust dan sistem sesar geser di sebelah timur. Selain itu, terdapat patahan aktif di darat yang mengakibatkan pulau Bali sangat rentan terhadap bahaya gempa bumi dan tsunami.
Buku juga menjelaskan tentang penyebab dan dampak gempa bumi yang disusul tsunami di Aceh (2004), Nias (2005), Mentawai (2010), Banyuwangi (1994), Pangandaran (2006), Banggai (2000), Palu (2018), Taliabu-Sula (1998), dan Aitape (1998). Sementara untuk gempa bumi yang merusak ada di Bali (1976), Biak (1996), Yogyakarta (2006), Padang (2009), Lombok (2018), dan Mamuju (2021).
Buku ketiga mendokumentasikan kejadian tsunami nontektonik di Indonesia. Mulai dari tsunami gunung Kapi (Krakatau) tahun 416, gunung Gamalama (1608), hingga Anak Krakatau (2018). Ada 14 peristiwa tsunami yang dijelaskan dalam buku ini. (***)