- Perairan Desa Sinaka, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kaya biota laut, salah satu gurita. Dulu, penangkapan biota laut di desa ini pakai tombak berisiko merusak rumah gurita. Penggunaan kail kini berangsur berubah berganti pakai cangkang kerang mata kucing (Cypraea maculifera).
- Penggunaan cangkang kerrang mata kucing selain tak merusak rumah gurita juga hasil lebih banyak. Sutrisno, nelayan Sinaka mengatakan, saat gunakan kucing-kucing pertama kali dapat gurita 15 kg sekali turun, lalu 18 kg.
- Meskipun sudah berkurang, nelayan yang tangkap ikan dengan bom atau potas masih ada, begitu pula penyelam dengan kompresor. Yang menyelam pakai kompresor biasa nelayan-nelayan masih muda, yang tua hanya memancing atau ke ladang.
- Yuni Rahmadani, akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta mengatakan, racun dalam dari potas itu mungkin menyebabkan ikan pingsan, namun terumbu karang akan mati.
Perairan Desa Sinaka, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kaya biota laut, salah satu gurita. Dulu, penangkapan biota laut di desa ini pakai tombak berisiko merusak rumah gurita. Penggunaan kail kini berangsur berubah berganti pakai cangkang kerang mata kucing (Cypraea maculifera).
Iwan, nelayan Desa Sinaka, Mentawai, ingat betul awal mula nelayan Sibolga mengenalkan alat pancing dengan cangkang kerang mata kucing. Setelah itu, dia membuat sendiri dan menjual Rp150.000 pada teman-teman nelayan.
Dulu, dia pakai kail pancing dan tombak untuk menangkap gurita. Sekarang, pakai cangkang kerang mata kucing jadi tak sulit lagi karena tak perlu mengejar gurita.
Dia mengambil kucing-kucing—begitu biasa mereka menyebut kerang ini– di laut, dibiarkan beberapa waktu lalu dibersihkan. Dia kemudian isi cangkang kerang dengan timah cair lalu memasangkan beberapa kail.
“Tentu, pemasangan ini perlu melubangi beberapa bagian kucing-kucing. Kalau tak hati-hati melubanginya, kerang-kerangan ini bisa pecah,” katanya.
Setelah terpasang, bagian pinggir akan diikatkan benang dengan ujung ada sendok. Sendok dipatahkan dan dibikin seperti ujung renda-renda di kucing-kucing itu.
Iwan merasa alat tangkap ini lebih ramah lingkungan dan tidak merusak rumah-rumah gurita. Dia juga tak perlu susah-susah harus ke dasar untuk menangkap gurita dengan tangannya. Kucing-kucing ini banyak di pulau-pulau sekitar Desa Sinaka.
Sutrisno, nelayan Sinaka mengatakan, tahu kucing-kucing ini dari warga Dusun Mabolag. “Terus datang orang ke sini cari kucing-kucing itu (yang belum dibikin jadi umpan). Saya kasih satu, saya tanya untuk apa ini, untuk mancing gurita katanya.”
Dia gunakan kucing-kucing pertama kali tak jauh dari pantai di dusunnya. “Pertama dapat 15 kg sekali turun, terus kita coba lagi besoknya dapat 18 kg.”
Kemudian, nelayan yang lain mengajaknya ke pulau. “Dari situ saya tahu kucing-kucing itu mantap pancingannya. Dapat 30-35 kg sekali turun.”
Masih terjadi
Meskipun sudah berkurang, nelayan yang tangkap ikan dengan bom atau potas masih ada, begitu pula penyelam dengan kompresor. Yang menyelam pakai kompresor biasa nelayan-nelayan masih muda, yang tua hanya memancing atau ke ladang.
Mongabay mendapati Fidelian, nelayan Desa Sinaka pingsan di satu sampan. Kepala berbantalkan paha rekannya di sampan yang bersandar di dermaga kecil Dusun Sinaka. Rekannya memanggil Rahmat, mantri alias tenaga kesehatan di dusun itu.
Hari sebelumnya setelah berlelah-lelah acara, Fidel langsung menyelam dengan kompresor. Mereka menyelam di kedalaman sekitar sampai 20 meter untuk menangkap teripang atau gurita.
Dia pingsan, menurut Rahmat, terkena tekanan dari laut atau dekompresi.
Jono, nelayan Desa Sinaka lain mengatakan, persaingan antara pencari ikan di luar Mentawai sangat keras. Saat nelayan menyelam dengan kompresor, beberapa kali terjadi kompresor dimatikan atau dilepaskan selangnya hingga yang menyelam tewas seketika.
Mereka yang pakai kompresor biasa menyelam dari 15-40 meter.
“Sekarang banyak yang membatasi cuma sampai 20 meter,” kata Iwan, nelayan Sinaka yang lain.
Yuni Rahmadani, akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta mengatakan, racun dalam dari potas itu mungkin menyebabkan ikan pingsan, namun terumbu karang akan mati.
“Dalam terumbu karang itu ada namanya polip, ketika terkena racun potas polip ini bisa mati atau pun pergi dari karang. Polip inilah yang membuat karang hidup,” katanya.
Ketika karang dalam jarak yang sulit ditentukan berapa jauh racun potas itu menyebar, terumbu karang mati, tak ada lagi ikan di sana. Terumbu karang, katanya, rumah ikan, tempat mereka makan dan bertelur.
“Ketika terumbu karang mati dan ditumbuhi alga, terumbu karang tidak bisa hidup lagi,” katanya.
Yuni bersama timnya melakukan mamantau bersama nelayan Desa Sinaka dan Unit Kegiatan Mahasiswa Aquatic and Marine Scientific UBH.
Mereka memilih lokasi di Pulau Pecah Belah. Mantatau adalah proses memantau sekilas kondisi terumbu karang di suatu lokasi.
Hasilnya, sebelah utara pulau itu ditemukan 20-40% tutupan karang masih bagus, sebelah barat 20-30% karang bagus, sebelah timur 15-35% masih terjaga. Sebelah selatan masuk kategori bagus karena tutupan masih 60-80%. Secara topografi lokasi didominasi pasir dan koral.
Mereka melihat terumbu karang yang dominan tumbuh adalah karang otak sekitar 30-40%, ada juga karang brence dan banyak lagi.
Kerusakan yang terlihat, kata Yuni, bisa jadi karena ombak dan gelombang besar yang membawa sedimentasi dari wilayah lain.
Namun, ada juga dugaan kerusakan karena aktivitas manusia.
“Biasanya kerusakan karena gelombang itu bentuk karang tetap besar namun posisi terbalik gitu, sedangkan beberapa lokasi terlihat patah-patah kecil dan ada pola,” katanya.
Ada dugaan, penggunaan jangkar dan bom ikan tetapi tidak bisa dipastikan sudah berapa lama terjadi. “Perlu penelitian lebih lanjut.”
Bayu Sisyara, Penyuluh Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Kecamatan Pagai Selatan mengatakan, kerusakan ekosistem di Sinaka adalah dampak dari perilaku merusak yang berjalan puluhan tahun.
“Kalau sekarang ini kerusakan yang berdampak besar tidak terlalu banyak. Kalau dulu, penggunaan bom sampai memakan korban dan banyak kejadian sampai kehilangan nyawa. Itu sangat merusak dan karang jadi banyak hancur,” katanya.
Saat ini, penggunaan bom hampir tidak ada karena peristiwa itu.
Selain itu, katanya, ketika tahun-tahun pertama ramai tangkap gurita, banyak perilaku yang mengakibatkan kualitas laut dan komoditas menurun. Pengepul pun tak mau terima gurita mereka.
“Nelayan dulu ada yang menggunakan sabun dan minyak hingga harga turun. Bahkan sampai tidak menerima tangkapan nelayan,” katanya.
Dia bilang, ada beberapa kategori alat tangkap ramah lingkungan, seperti, selektivitas penangkapan gurita tinggi, tetapi tangkapan sampingan rendah.
“Pengoperasian tidak membahayakan pengguna dan tidak menangkap biota dilindungi, tidak merusak lingkungan atau ramah lingkungan,” katanya.
Yuafriza, Program Manager Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan Berbasis Masyarakat dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, nelayan mengeluhkan alat tangkap merusak. “Artinya, mereka tahu itu merusak dan ingin itu diatur,” katanya.
Ada pula usulan mengatur soal penebangan mangrove, penggunaan pasir laut dalam jumlah besar, limbah hingga sampah di laut.
YCMM yang mendapat dukungan dari Blue Venture dan keterlibatan nelayan desa setempat mendorong munculnya peraturan desa enam bab dan 41 pasal terkait tata kelola wilayah perikanan tradisional berkelanjutan Desa Sinaka.
“Salah satunya, penggunaan alat tangkap merusak. Meskipun tak bisa langsung, mereka akan mencoba pelan-pelan.”
********