- Di masa lalu, lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung masih berupa wet forest yang sangat lembab, dan diduga merupakan habitat bagi gajah sumatera. Saat ini, tidak ada satupun megafauna yang tersisa di daratan Bangka Belitung.
- Sementara itu, sejumlah satwa yang masih bertahan, seperti mentilin atau tarsius, trenggiling, kukang, rusa sambar, kijang, pelanduk, binturong, musang congkok, hingga kangkareng hitam, harus hidup ditengah ancaman kepunahan dan semakin jarang ditemui di alam liar.
- Sejumlah hutan di Pulau Bangka menunjukkan fenomena silent forest atau hutan yang sunyi. Ini diperburuk dengan terancamnya satwa di kawasan konservasi dan lindung yang seharusnya menjadi rumah aman bagi mereka.
- Kian sulitnya perjumpaan satwa yang biasa terdapat di hutan Bangka Belitung jelas merupakan sinyal krisis ekologis. Upaya kolaboratif dengan mengadaposi sejumlah konsep lokal dalam skema konservasi dianggap penting untuk dilakukan.
Pada masa Plesitosen akhir atau penghujung Zaman Es [20.000-10.000 tahun lalu], kondisi lingkungan di Bangka Belitung masih berupa wet forest yang sangat lembab dan diduga menjadi habitat gajah sumatera, berdasarkan temuan fosil gajah pada 2019 lalu di Desa Nibung, Kabupaten Bangka.
“Jika dilihat dari usia fosilnya [16.000-25.000 tahun], gajah ini sudah ada sebelum sejumlah kerajaan besar di Nusantara yang terkenal dengan pasukan gajahnya, sehingga kecil kemungkinan gajah itu dibawa oleh kerajaan yang pernah mengusai wilayah Bangka,” kata Mika Rizki Puspaningrum, peneliti Paleontologi dan Geologi Kuarter dari ITB [Institut Teknologi Bandung], kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.
Namun, kematian gajah itu masih misteri karena tidak ditemukannya spesimen fosil lain. Bisa karena karena perburuan, perubahan iklim, atau karena daya dukung lingkungan yang kurang, mengingat spesies megafauna seperti gajah butuh wilayah jelajah luas, serta sumber makanan yang cukup.
Situasi mirip juga di alami oleh sejumlah spesies kucing kecil yang hingga saat ini belum pernah tercatat di pulau seluas 1,6 juta hektar itu. Hingga saat ini, tidak ada satupun spesies megafauna [gajah, harimau, tapir dsb.] yang tersisa di daratan Bangka Belitung.
Sementara itu, sejumlah satwa yang masih bertahan, seperti mentilin atau tarsius [Cephalopachus bancanus], trenggiling [Manis javanica], kukang [Nycticebus bancanus], rusa sambar [Cervus unicolor], kijang [Muntiacus muntjac], pelanduk [Tragulus], binturong [Arctictis binturong], musang congkok [Prionodon linsang], hingga kangkareng hitam [Anthracoceros malayanus], harus hidup ditengah ancaman kepunahan dan semakin jarang ditemui di alam liar.
Baca: Tenggelamnya Savana Sundaland, Hilangnya Spesies Megafauna di Pulau Bangka
Langka Sani, Langka Sani, founder Alobi Foundation, menceritakan saat dia bersama tim melakukan penelusuran di hutan Bukit Menumbing, Kabupaten Bangka Barat. Kondisi hutannya masih sangat perawan, vegetasi rapat dengan pohon-pohon besar, tidak ada jejak manusia yang pernah masuk ke hutan tersebut.
Tapi, setelah beberapa jam berkeliling, mereka tidak menemui satwa seperti mentilin, trenggiling, kukang, rusa sambar, dan sebagainya. Jejaknya juga tidak ada, bahkan suara burung juga minim, berbanding terbalik dengan kondisi hutannya yang masih sangat baik.
“Situasi ini mengingatkan kami pada fenomena atau teori silent forest [hutan sunyi] yang akan berujung pada ketidakseimbangan ekosistem alam, dan ini bukan kabar baik bagi Bangka Belitung,” lanjut Langka.
Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia ke sejumlah kawasan hutan tersisa di Kepulauan Bangka Belitung, di wilayah pesisir hingga perbukitan, sangat jarang ada perjumpaan dengan satwa dan tidak pernah ditemui jejak satwa [jejak kaki, kotoran, atau goresan tanduk rusa].
Perjumpaan dengan mengkubung yang berstatus Least Concern atau Risiko Rendah sejak 1996 oleh IUCN, di sekitar perkebunan warga di Desa Puput, Kabupaten Bangka Tengah, menjadi pertemuan perdana kami dengan satwa liar di Pulau Bangka.
Selanjutnya, ada burung paok hijau [Pitta sordida] yang berhasil didokumentasikan di sekitar pondok kebun warga, di kaki Bukit Peramun, Belitung. Sebelumnya, dalam memori sejumlah masyarakat Bangka Belitung, satwa seperti pelanduk, rusa, mentilin, mengkubung, dan lainnya sangat mudah ditemui.
“Bahkan dulu, pelanduk itu biasa bermain di sekitar pondok kami di sekitar kebun. Sekarang jangankan di kebun, di hutan juga tidak pernah terdengar suara beruk, monyet, burung berkicau, atau kawanan kalong yang biasanya terbang saat menjelang malam,” kata Atok Kasmin [78], Suku Mapur murni yang saat ini tinggal di sekitar hutan Bukit Cundong, Dusun Air Abik, Kabupaten Bangka.
Menurut Randi Syafutra, peneliti satwa dari Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, sulitnya perjumpaan satwa yang biasa terdapat di hutan Bangka Belitung jelas merupakan sinyal krisis ekologis.
“Penurunan jumlah atau bahkan ketiadaan satwa tersebut menjadi indikator penting bahwa terdapat gangguan serius pada ekosistem Bangka Belitung,” katanya.
Baca: Mengkubung yang Tak Lagi Nyaman di Hutan Bangka Belitung
Tidak ada ‘rumah aman’
Secara harfiah, kawasan hutan konservasi dan hutan lindung seharusnya dapat menjadi rumah aman bagi satwa di Kepulauan Bangka Belitung. Merujuk pada SK.6614/MENLHK-PTKL/KUH/PLA.2/10/2021, luas kawasan lindung di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 186.426,5 hektar yang didominasi oleh mangrove. Sementara kawasan konservasi hanya 36.353,84 hektar, terdiri dari Taman Nasional [17.244,84 hektar], Taman Wisata Alam [7.155,11 hektar], dan Taman Hutan Raya [11.953,89].
Menurut Langka Sani, hingga saat ini tidak ada kawasan hutan konservasi atau lindung di Bangka Belitung yang benar-benar aman bagi satwa liar. Aman dalam artian terhindar dari aktivitas perburuan, serta ekosistem yang mendukung keberlanjutan hidup satwa.
“Secara umum, tidak ada kawasan hutan yang bisa menjamin keberlangsungan hidup satwa di Bangka Belitung. Ada beberapa hutan yang kondisinya baik dan aman dari aktivitas perburuan, tetapi minim tumbuhan yang menyediakan pakan alami bagi satwa. Sebaliknya, ada kawasan hutan yang rentan dirambah, tetapi tumbuhannya mendukung kehidupan satwa,” lanjutnya.
Baca: Burung Pepak, Penjelajah Serasah Hutan di Bangka Belitung
Dia memberi contoh kasus hutan konservasi Bukit Menumbing yang berfungsi sebagai Tahura [Taman Hutan Raya] dengan luas sekitar tiga ribu hektar. Kawasan ini tergolong aman dari aktivitas perburuan dan perambahan, sehingga menjadi salah satu lokasi terbaik untuk pelepasliaran satwa.
“Tetapi minimnya tumbuhan yang menyediakan makanan sepanjang tahun bagi satwa seperti jenis Ficus Spp., menjadi dugaan kuat sedikitnya satwa yang kami jumpai saat melakukan monitoring. Ini penting, karena mayoritas satwa di hutan Bangka Belitung adalah herbivora” lanjutnya.
Di sisi lain, ada Tahura Bukit Mangkol [luas sekitar 6.000 hektar] yang selama ini tidak pernah lepas dari ancaman perambahan, perburuan, serta aktivitas pertambangan ilegal, namun memiliki jenis pohon-pohon yang dapat mendukung ketersediaan pakan alami bagi satwa.
“Harus ada regulasi yang mengontrol penggunaan senapan angin, karena saat ini mayoritas masyarakat di Kepulauan bangka Belitung memilikinya, sehingga rentan digunakan untuk berburu satwa. Selain itu, kami juga mulai menanam jenis tumbuhan seperti Ficus Spp., yang dapat berfungsi sebagai penyedia pakan alami bagi satwa,” lanjut Langka.
Dia juga mencatat, hampir semua kawasan konservasi di Bangka Belitung memiliki luasan yang terbatas, serta dikelilingi perkebunan skala besar atau aktivitas pertambangan ilegal, sehingga memutus koridor hijau bagi satwa.
“Padahal, koridor ini sangat penting, karena sejumlah satwa di Bangka Belitung seperti rusa sambar, memiliki wilayah jelajah cukup luas, kurang lebih 23 kilometer jika diambil garis lurus. Hal inilah yang membuat rusa sambar sangat jarang kami lepasliarkan, karena belum ada habitat yang bisa menjami kehidupan mereka,” lanjut Langka.
Baca: Dambus dan Kelestarian Rusa Sambar di Pulau Bangka
Menurut Endi R. Yusuf, Manager PPS [Pusat Penyelamatan Satwa] Alobi Foundation Bangka Belitung, saat ini sudah lebih tujuh ribu satwa yang berhasil diselamatkan dan dilepasliarkan oleh Alobi Foundation sejak berdiri 2014. Sejauh ini, satwa tersebut didominasi oleh kukang dan trenggiling.
“Dari ribuan satwa yang dilepasliarkan, belum ada proses pemantauan untuk memastikan apakah satwa tersebut selamat atau tidak di alam. Ini karena teknologi serta sumber daya manusia yang belum mendukung,” terangnya.
Dia menambahkan, banyak satwa yang dilepasliarkan merupakan serahan warga, yang keluar dari habitat alaminya, terdesak karena habitat, serta pakan alami yang terbatas.
“Bulan lalu ada empat kukang dan dua trenggiling yang diserahkan warga, karena keluar dari habitat alaminya dan masuk ke permukiman warga. Fenomena ini diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun,” lanjut Endi.
Dari sejumlah satwa yang hidup di Kepulauan Bangka Belitung, buaya mungkin menjadi salah satu satwa yang mampu bertahan ditengah kerusakan habitat saat ini. “Populasinya masih cukup banyak di Bangka Belitung,” kata Langka.
Garda Animalia mencatat, Bangka Belitung merupakan provinsi ketiga yang memiliki kasus konflik manusia dan buaya tertinggi di Indonesia. Ada sekitar 154 kasus pada rentang 2016-2023, yang mayoritas terjadi di sekitar kawasan pertambangan.
“Hal ini menunjukkan bahwa batas antara wilayah satwa dan permukiman manusia semakin kabur, meningkatkan risiko terjadinya konflik yang dapat membahayakan kedua belah pihak. Ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah,” kata Randy Syafutra.
Baca: Bukit Larangan, Habitat Tersisa Trenggiling di Pulau Bangka
Adopsi lanskap adat
Pembentukan koridor penghubung antara hutan yang terfragmentasi bisa menjadi langkah sangat penting, mendukung konservasi serta pergerakan satwa di Bangka Belitung.
Menurut Randi Syafutra, koridor semacam itu merupakan jalur yang memungkinkan satwa untuk bermigrasi atau berpindah dari satu habitat ke habitat lainnya, tanpa terhalang oleh aktivitas manusia atau hambatan fisik seperti jalan raya atau pembangunan lainnya.
“Ini membantu menjaga kelangsungan hidup populasi satwa dan keberlanjutan ekosistem dengan mempertahankan konektivitas antarhabitat. Langkah-langkah seperti pendirian koridor penghubung antarhabitat atau bahkan perluasan kawasan konservasi bisa dipertimbangkan untuk meningkatkan sistem konservasi yang ada,” lanjutnya.
Dalam penelusuran Mongabay Indonesia ke sejumlah masyarakat adat di Kepulauan Bangka Belitung, terdapat sebuah konsep koridor hijau yang telah diterapkan selama ratusan tahun, namun saat ini sudah terputus, biasanya dikenal sebagai “hutan riding”.
“Kalau dulu ada hutan riding di setiap kampung. Biasanya ada di sekitar bantaran sungai, bentuknya memanjang, menghubungkan setiap kampung dan bukit di Pulau Bangka. Hutan ini ibarat pembatas, antara manusia dan makhluk lain termasuk satwa, karena dulu banyak satwa yang terdapat di hutan riding itu,” kata Janum bin Lamat, Ketua Adat Suku Jerieng di Desa Pelangas, Kabupaten Bangka Barat.
Baca: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah
Menurut Randi Syafutra, pemerintah memiliki peran krusial dalam menjaga kawasan konservasi dan hutan lindung agar tetap aman bagi satwa. Langkah yang diperlukan meliputi peningkatan pengawasan lapangan dengan memperkuat tim pengawas untuk mengawasi aktivitas ilegal, seperti pembalakan liar dan perburuan satwa.
“Penegakan hukum yang tegas juga diperlukan sebagai penahan kuat terhadap kerusakan yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” lanjutnya.
Tidak kalah penting, melibatkan masyarakat lokal, serta mengintegrasikan berbagai kearifan lokal terkait konservasi dalam pengelolaan kawasan konservasi dan memberdayakan masyarakat agar ikut serta dalam pengawasan. Alternatif ekonomi berkelanjutan dapat dipikirkan gua mengurangi tekanan terhadap hutan.
“Penggunaan teknologi canggih seperti pemantauan satelit dan drone juga menjadi langkah efektif, untuk mendeteksi aktivitas ilegal lebih cepat. Kerja sama antarlembaga pemerintah, pemberian insentif kepada yang menjaga kelestarian lingkungan, dan kampanye kesadaran publik juga merupakan bagian penting dari strategi ini,” lanjut Randi.
Keanekaragaman hayati merupakan komponen vital dalam proses pemulihan lingkungan. Satwa memiliki banyak fungsi ekologis yang mendukung pemulihan lingkungan.
“Tanpa kehadiran satwa, proses alami pemulihan lingkungan dapat terhambat atau bahkan terganggu,” tegasnya.