- Ada kemiripan antara fenomena gempa yang terjadi di Sumedang pada tahun 1955 dengan awal 2024 kemarin, yaitu periode guncangan 10 kali, hanya belum diketahui pasti penyebab gempa.
- Dari gempa Sumedang kemarin, ditemukan sesar aktif baru yaitu segmen Cipeles. Sebelumnya para peneliti menduga gempa Sumedang terkait dengan Sesar Cileunyi-Tanjungsari
- Peneliti Gempa Bumi BRIN menyebutkan sejarah kegempaan (historical earthquakes) sangat penting untuk mempelajari suatu gempa.
- Meski bank data gempa bumi sudah cukup mumpuni, tetapi sampai saat ini belum bisa memprediksi gempa yang akan terjadi. Sehingga hal yang dapat dilakukan ialah meningkatkan kesiapsiagaan mengantisipasi gempa dengan memperkuat mitigasi adalah melalui pendidikan kebencanaan sejak dini
Deretan foto-foto hitam putih yang berjajar rapih dipajang pada dinding bilik itu seketika bergerak ketika Ny. Yayah Rokayah (97 tahun) baru saja terlelap. Pukul 20.34, hari Minggu (31/12/2023) itu, guncangan gempa terasa di atas ranjangnya.
“Saya digotong cucu keluar rumah,” kata Yayah bercerita saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Sabtu (6/1/2024)
Selama 94 jam sampai 6 Januari 2024, sedikitnya terasa 10 kali gempa pasca guncangan Magnitudo (M) 4.8 itu di wilayah Sumedang. Sekalipun sumber gempa diidentifikasi kecil tapi cukup menimbulkan kerusakan. Tercatat bangunan rusak berat sebanyak 81 unit, rusak sedang 197 unit, dan rusak ringan 1.184 unit.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis laporan gempa susulan dengan intensitasnya antara M 3,5-4,5. Episentrum gempa berasal dari gerakan sesar aktif yang melintasi wilayah Sumedang.
Dan Rokayah bukan kali pertama mengalami fenomena alam itu. Ingatannya terlempar jauh pada tahun 1955. Di rumah yang sama, dengan rasa yang sama. Rokayah merasakan guncangan serupa.
Katanya, guncangan itu seperti ranjang yang dinaikturunkan. Tanah bergerak membikin ubin rumah terangkat keatas, sementara di luar rumah orang-orang panik.
Kejadian tahun 1955 itu bersamaan dengan perhelatan balapan kuda yang sudah populer. Akibat gempa orang-orang berhamburan ke tengah lapang.
“Eensklaps ging er een luid geschreeuw op uit de staanplaatsen want de tribune, propvol met bezoekers, golfde op en neer, alsof een reuzenhand het gevaarte wilde optillen. (Tiba-tiba, teriakan keras terdengar dari tribun yang penuh sesak oleh pengunjung, bergoyang-goyang ke atas dan ke bawah, seakan-akan ada tangan raksasa yang ingin mengangkatnya.),” demikian tulis Indische Courant, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit 24 Agustus 1955.
Di sana dituliskan serangkaian gempa bumi terjadi sebanyak 10 kali. Guncangan pertama dirasakan pada Minggu pukul 10.30 pagi. Dan berakhir keesokan hari atau Senin pagi sekitar pukul 09.00 WIB.
Diinformasikan wilayah pemerintahan Sumedang kala itu dihuni 12.400 jiwa. Namun, tidak ada korban jiwa.
Hanya saja lebih dari 100 bangunan rusak termasuk kantor bupati, masjid raya dan kantor komandan militer mengalami retakan. Kebanyakan bangunan yang terdampak dekat dengan pusat kota Sumedang.
baca : Saat Gempa Cianjur Memberi Sinyal Literasi dan Mitigasi
Rokayah ingat betul, jika rumah berukuran 15×5 meter itu selesai dibangun tahun 1953. Sekitar 2 tahun dihuni, bangunan itu diuji gempa bumi.
Kini, rumah berarsitektur campuran beton dan tradisional itu sudah berumur 71 tahun. Dan fungsinya kembali menyelamatkan Rokayah bersama anak, cucu dan dua cicitnya yang masih berusia 4 dan 10 tahun.
Tak ada kerusakan. Tak ada pula yang berubah dari rumah berpondasi batu dan bertulang kayu itu.
Gempa pasti berulang
Peneliti Gempa Bumi Badan Riset Nasional (BRIN) Mudrik R. Daryono mengaku punya teka-teki tersendiri dalam membedah kejadian suatu gempa. Salah satu petunjuk adalah dengan melihat catatan historis kegempaannya.
Sekalipun saat ini bank data gempa bumi sudah cukup mumpuni melalui pembaharuan peta gempa tiap 5 tahun sekali. Sayangnya, masih belum banyak yang tercatat, kapan, di mana, dan berapa kuat gempa berikutnya, sampai saat ini masih menjadi misteri ilmu pengetahuan. Hal yang dapat dilakukan ialah meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapinya.
Mudrik meyakini. Catatan historical earthquakes atau sejarah kegempaan sangat penting untuk penelitian geologi. Jadi kalau ada catatan bahwa di situ pernah terjadi gempa, maka jelas wilayah tersebut punya sumber atau episentrum gempa.
Agaknya, ada kemiripan antara fenomena gempa tahun 1955 dengan 2024. Periode guncangan hampir sama yaitu 10 kali, hanya saja belum diketahui pasti penyebab gempa.
“Jadi kalau sudah pernah terjadi gempa, maka besar kemungkinan terjadi perulangan di lokasi yang sama,” terang Mudrik yang sudah meneliti kegempaan sejak tahun 2006 lalu. “Banyak yang kita mesti pelajari dan kita tidak tahu pasti 1955 itu adalah identik dengan gempa bumi yang sekarang atau jauh lebih besar.”
Namun, data historis juga menunjukan pada 19 Desember 1972, Sumedang, diguncang gempa merusak dengan kekuatan M 4,5. Gempa saat itu juga menyebabkan kerusakan ratusan bangunan rumah dan mengungsikan ribuan orang. Gempa itu nyatanya mampu memicu longsoran di beberapa lokasi.
“Karena secara prinsip magnitudonya itu akan mendekati yang sebelumnya. Dan mungkin (gempa Sumedang) itu karakteristik yang sangat penting untuk dipelajari.”
baca juga : Terancam Gempa Magnitudo 8,7 dan Tsunami 10 Meter, Begini Upaya Mitigasi di Pesisir Selatan Jawa
Secara teori, gempa bumi terjadi jika energi akibat pergerakan lempeng yang terkunci terlepas sesuai dengan siklusnya. Namun, kapan persisnya akan terlepas sehingga memicu guncangan masih misteri.
Maka, demi meningkatkan akurasi pembacaan karakter gempa di suatu wilayah dibutuhkan banyak penelitian dan pemantauan. Semisal, pengetahuan baru tentang karakter gempa Sumedang untuk mitigasi ke depan, termasuk juga mewaspadai kemungkinan terpicunya segmen gempa lain di jalur patahan.
Klasifikasi gempa dikatakan sebagai patahan aktif yakni pernah terbukti kejadian gempa bumi pada kurun waktu tentu. Sehingga ada kemungkinan perulangan di masa yang akan datang secara prinsip disebut archaic geology.
Di Jawa Barat, terdapat sejumlah sumber gempa patahan aktif yang telah dipetakan dengan baik. Setidaknya ada Sesar Cimandiri, Sesar Cugenang, Sesar Lembang, Sesar Cipamingkis, Sesar Garsela, Sesar Baribis, Sesar Cicalengka, Sesar Cileunyi-Tanjungsari, dan Sesar Tomo.
Semula disinyalir gempa Sumedang berkaitan dengan Sesar Cileunyi-Tanjungsari yang memanjang sekitar 18 kilometer. Akan tetapi, beberapa hari melakukan penelitian, Tim Tanggap Darurat Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merilis sesar baru yakni segmen Cipeles dengan episentrumnya berada perkampungan padat penduduk di Desa Babakan Hurip, Kecamatan Sumedang Utara.
Jalur sesar ini berada di sekitar Sungai Cipeles dengan arah segmen patahan ini barat daya-timur laut relatif ke arah utara (NNE-SSW).
Posisi Sumedang, kata Mudrik, berada di antara sesar-sesar aktif itu. Sisi utara itu ada sesar Baribis-Kendeng yang membentang dari Jakarta hingga Surabaya. Dan di sepanjang itu terdapat segmen sesar-sesar aktif, termasuk sebelah timurnya ada Segmen Ciremai dan di utaranya Segmen Tampomas.
Mudrick menduga ada dua kemungkinan pemicu gempa. Pertama swamp earthquakes atau gempa-gempa kecil yang rutin muncul rutin di titik itu-itu saja. Dan atau foreshock atau gempa yang terjadi sebelum gempa utama yang dihasilkan oleh gempa-gempa besar yang berada di sekitarnya.
“Ilmu kita sampai saat ini belum bisa menjawab pertanyaan itu. Sehingga kita dituntut bisa membaca alam dan mengenal karakteristik dari tempat tinggal,” ucapnya.
baca juga : Rumah Tambi, Kearifan Lokal Masyarakat Lore Terhadap Gempa
Merawat ingatan
Ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Astyka Pamumpuni masih meyakini bahwa sampai kini gempa tak bisa diprediksi. Alasannya, masih banyak data-data yang belum terpetakan secara detil. Begitupun dengan parameter bahayanya.
Oleh karena itu, Astyka menganjurkan adanya kesadaran hidup di daerah bencana agar punya respons kebencanaan. Belajar dari negara Jepang, salah satu kunci kesuksesan mereka dalam memperkuat mitigasi adalah melalui pendidikan kebencanaan sejak dini.
Mau tidak mau, katanya, negara seharusnya sudah berbenah. Tugas pemerintah dan peneliti mulai mempopulerkan bangunan tahan bencana agar digunakan kembali oleh masyarakat.
Gempa-gempa akibat sesar di Jawa Barat, bisa jadi bahan refleksi. Berdasarkan hitungan deterministic seismic hazard analysis (DSHA), angka di bawah M 6,5 itu terbilang kecil. Walau demikian tak jarang kedalaman gempanya sangat dangkal, maka di wilayah yang tersusun oleh tanah lunak dari vulkanik, dapat mengalami penguatan guncangan gempa atau amplifikasi. Fenomena ini dikenal sebagai efek kondisi tanah setempat (local site effect).
Astyka menegaskan, bukan gempa yang mematikan, melainkan konstruksi bangunan yang rapuh yang mengesankan gempa merupakan bencana paling berbahaya.
Sebenarnya arsitektur rumah tahan gempa sudah banyak diwariskan. Celakanya itu tidak dirawat dan dicatat. Padahal Belanda saja bisa dibilang paling rajin mencatat dan mempelajari kondisi geologi sebelum membangun.
Belanda seperti melek dalam hitung-hitungan ekonomi. Mereka tak mau rugi atas apa yang mereka rintis.
Mungkin untuk itu, Herman Thomas Karsten yang bekerja di Biro Pembangun milik seniornya Henri Maclaine Pont dipakai pemerintah kolonial untuk merancang kota-kota mereka.
Ia menyusun panduan yang berisi dasar filosofi, prinsip-prinsip dan petunjuk praktis perencanaan kota (Indische Stedebouw). Panduan ini menjadi pegangan perencanaan kota di Hindia Belanda hingga beberapa dekade kemudian. Bandung, misalnya, kota yang didesainnya banyak menuai pujian.
Ciri khas karya Karsten adalah nilai kemanusiaannya yang kental dan kepeduliannya terhadap lingkungan. Gedung Sate, misalnya, dikenal sebagai gedung yang mewariskan kemampuan teknik mitigasi bencana dengan konsep arsitekturnya.
Dalam Peta Rencana Pembangunan Gedung Sate 1920 memperlihatkan penerapan tangga batu sebagai pondasi. Tujuannya agar struktur bangunan tetap lentur meskipun ada guncangan. Pondasinya itu pun nyaris serupa dengan rumah tradisional masyarakat adat Sunda.
Dan Karsten selalu menganggap kota sebagai suatu organisme hidup yang terus bertumbuh. Artinya, tak hanya sekedar membangun tapi perhitungan serius.
menarik dibaca : Rumah Panggung yang menyelamatkan Dayi dari Gempa Cianjur
Astyka mengaku tak heran jika kota-kota yang dibangun hari ini tak memiliki pengetahun ihwal geologi. Karena memang susah merawat ingatan akan pengalaman di masa lalu sehingga dalam pembangunannya tidak memprioritaskan mitigasi bencana.
“Sesar Palu-Koro mungkin menjadi sesar yang paling cepat bergerak. Penelitian saya menunjukan periodesasinya sekitar 100 tahun,” paparnya.
Tetapi kini dengan pengetahuan yang ada perlu adanya evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumedang dengan mempertimbangkan Peta Zona Bahaya Gempa Bumi dan sesar aktif. Pemerintah dituntut melek soal kondisi wilayahnya menggunakan basis data geologi.
“Waduk Jatigede, bisa jadi contoh. Waduk tetap dibangun meski diketahui berada di jalur sesar aktif,” katanya.
Waduk Jatigede tentu sangat berisiko. Waduk dibangun di atas sesar aktif Baribis yang punya potensi gempa bumi hingga. Tanpa perhitungan yang baik barangkali banyaknya dana yang dikeluarkan, ribuan orang yang harus pindah ke daerah lain bisa sia-sia jika gempa besar merusak bendungan.
Sementara di ranjang tidurnya, Rokayah mengingat-ingat pendidikan sewaktu bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Katanya, dulu pernah diajarkan pelajaran kebumian.
“Sekarang mungkin dikenal IPA (ilmu pengetahuan alam), tapi dulu pelajarannya dipisah satu-satu.”
Selama hidup, Rokayah, tak pernah mendengar informasi dalam bentuk pantun atau dongeng soal gempa bumi. Orang tuanya pun tak memberitahu pengalaman mereka. Namun, Rokayah pernah mengalami kejadian cukup mengerikan dari erupsi Gunung Galunggung 1982 yang materialnya menutup langit Sumedang kurang dari sepekan.
“Bapak hanya pernah cerita soal gunung Tampomas yang gagal meletus karena keris dari orang sakti demi menyelamatkan rakyatnya,” pungkas Rokayah.
Menurut Mudrik, mitologi berupa cerita atau dongeng bisa jadi sumber informasi. Tinggal bagaimana ilmu pengetahuan bisa menerjemahkan itu menjadi mitigasi lokal yang menyelamatkan. (***)