- Rencana pemerintah daerah Kabupaten Sinjai membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan mengundang investor asing ditentang sejumlah aktivis di Sulawesi Selatan karena dinilai berisiko bagi manusia dan ternak serta menimbulkan konflik.
- Rencana lokasi PLTP di Desa Batu Belerang dinilai berisiko dengan dampak lingkungan sangat besar karena berada di hulu Sungai Balantieng.
- Pembangunan PLTP dinilai menggunakan lahan secara boros dan merusak ekosistem hutan, sehingga berkontribusi terhadap deforestasi yang merupakan sumber terjadinya krisis iklim.
- Potensi listrik yang bisa dihasilkan oleh tenaga panas bumi berkisar antara 35 –000 GW. Kapasitas di seluruh dunia saat ini adalah 10.715 megawatt (MW), dengan kapasitas terbesar di Amerika Serikat sebesar 3.086 MW, diikuti oleh Filipina dan Indonesia.
Indonesia yang berada di kawasan ring of fire memiliki potensi panas bumi (geothermal) yang besar. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensinya mencapai 23.766 Megawatt (MW) yang tersebar ke 361 titik lokasi.
Di Sulawesi Selatan, setidaknya terdapat 21 titik geothermal, dua di antaranya berada di Kabupaten Sinjai. Kedua titik tersebut berada di Desa Salohe dan Desa Kaloling Kecamatan Sinjai Timur, dan Desa Batu Belerang, Kecamatan Sinjai Borong.
Di bulan Juni 2023 lalu, Bupati Sinjai, Andi Seto Asapa menemani investor asal Amerika Serikat dan Korea Selatan mengunjungi titik potensi panas bumi di Desa Kaloling. Ia mengatakan akan memberikan kemudahan bagi investor yang ingin masuk di Sinjai untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
“Kemarin kita kedatangan tamu asal New York, Amerika Serikat mengunjungi potensi energi terbarukan geothermal (panas bumi) di Panggo, Desa Kaloling, Kecamatan Sinjai Timur. Nanti tanggal 29 Juni investor dari Korea yang datang,” kata Bupati Sinjai Andi Seto dikutip dari detikSulsel, Selasa (20/6/2023).
baca : Berkah dan Musibah bagi Pemilik Gunung Api Terbanyak di Dunia
Belakangan, panas bumi menjadi salah satu sumber energi andalan pemerintah dalam menjalankan proyek transisi energi karena dianggap rendah karbon. Dalam prosesnya dilakukan cara mengebor tanah di daerah yang memiliki potensi panas bumi untuk membuat lubang gas panas yang akan dimanfaatkan untuk memanaskan ketel uap sehingga uapnya dapat menggerakkan turbin uap yang tersambung ke generator.
Geotermal dinilai sebagai sumber energi terbarukan karena ekstraksi panasnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan muatan panas bumi. Emisi karbon dioksida kurang lebih 122 kg CO2 per megawatt-jam (MW·h) listrik atau hanya seperdelapan dari emisi pembangkit listrik yang menggunakan batubara.
Selain dianggap sebagai sumber energi bersih, pembangkit listrik ini juga lebih konstan dan butuh lahan air yang lebih sedikit dibanding pembangkit listrik lainnya, meskipun pembangkit ini hanya dapat dibangun di dekat lempeng tektonik dengan modal awal yang besar.
Dalam praktiknya pembangunan PLTP dianggap berisiko baik bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar lokasi PLTP. Selain itu dinilai dapat memicu konflik seperti yang sudah terjadi beberapa wilayah pembangunan PLTP selama ini.
Koordinator Pemuda Tani Merdeka (Petaka), Irwan Setiawan mengatakan bahwa mengundang investasi pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Sinjai sama saja dengan mengundang malapetaka.
“Pembangunan geothermal sudah memakan banyak korban, seperti yang dilakukan PT. SMGP di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Pada tahun 2021 sebanyak lima warga meninggal dunia akibat menghirup gas hidrogen sulfida, kemudian di tahun 2022 setidaknya 79 warga yang keracunan,” ungkap Irwan di Makassar, Minggu (14/1/2024).
baca juga : Was-was Panas Bumi Rusak Ruang Hidup Warga Poco Leok
Menurut Irwan, selain mengancam keselamatan jiwa warga, titik panas yang berada di Sinjai Timur tepat berada di dekat lokasi perkebunan dan peternakan sehingga bila dikembangkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi warga juga akan terancam kehilangan lahan pertaniannya.
“Kualitas dan kuantitas air juga akan terancam, apalagi lokasinya berdekatan dengan sungai,” tambahnya.
Rencana lokasi PLTP di Desa Batu Belerang dinilai Irwan berisiko dengan dampak lingkungan sangat besar karena berada di hulu Sungai Balantieng.
“Pengembangan geothermal dari Gunung Lompobattang di Desa Batu Belerang akan sangat berisiko tinggi karena Sungai Balantieng merupakan sumber air baku bagi masyarakat di daerah Sinjai Borong, Sinjai Selatan, Sinjai Timur, Sinjai Utara dan beberapa daerah di Kabupaten Bulukumba,” jelasnya.
Selain itu, Irwan khawatir pengembangan PLTP di Desa Batu Belerang akan mengulang bencana besar yang terjadi di Sinjai pada tahun 2006. Hal itu karena kegiatan pengeboran panas bumi akan membuat gempa minor dan pergeseran tanah sehingga dapat membuat longsoran yang menutupi tubuh sungai yang kemudian jebol dan menjadi banjir bandang.
“Dengan alasan ini sehingga kami dengan tegas menolak pembangunan PLTP di kedua lokasi tersebut dan meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan rencana tersebut.”
Taufik Parende, Koordinator Divisi Kampanye Hutan Jaringan Pemantau Kehutanan Independen (JPIK) Sulawesi Selatan, juga mengungkapkan bahwa rencana pembangunan geothermal di Kabupaten Sinjai merupakan langkah yang keliru sehingga harus dibatalkan.
Menurutnya, selama ini proyek PLTP yang diklaim sebagai energi terbarukan dan ramah lingkungan meski nyatanya memiliki risiko yang tinggi dan seringkali abai terhadap hak asasi manusia. Dalam praktiknya pembangunan PLTP menggunakan lahan secara boros dan merusak ekosistem hutan, sehingga berkontribusi terhadap deforestasi yang merupakan sumber terjadinya krisis iklim.
“Dari hasil pemantauan kami di lapangan, rencana pembangunan PLTP akan mengancam kehidupan petani dan ekosistem hutan Sinjai, apalagi untuk di Sinjai Borong lokasinya tepat berada di ekosistem hutan yang rapat dan berada di sekitar kawasan Tahura dan hutan lindung. Sehingga wilayah tersebut harus dilindungi dan dijaga fungsi hidrologinya, bukan justru diberikan kepada investor untuk pembangunan PLTP yang justru dapat mengundang bencana sosio-ekologis,” ujarnya.
baca juga : Panas Bumi Sorik Marapi Terus Telan Korban
Pembangunan PLTP di berbagai daerah di Indonesia sendiri telah menuai aksi penolakan. Terbaru, terjadi di Poco Leok Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lalu, di saat yang sama penolakan juga terjadi di wilayah kaki Gunung Gede Pangrango, Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
Penolakan juga terjadi di Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, di mana upaya PT Geo Dipa Energi yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menambah pembangkit listrik baru, setelah sebelumnya tahun 2002 membangun geothermal di wilayah tersebut, juga mendapat penolakan dari warga. Alasan penolakan karena lokasi pembangkit dengan wilayah pemukiman padahal berisiko tinggi, seperti potensi bocoran gas yang beracun yang berbahaya bagi manusia dan ternak seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Menurut Maesha Gusti Rianta, dilansir dari Indonesiare, pembangkit listrik menggunakan panas bumi sebenarnya bukan hal baru. Secara global pembangkit listrik ini telah digunakan di 24 negara, sementara pemanasan yang memanfaatkan panas bumi digunakan di 70 negara.
Ia memperkirakan potensi listrik yang bisa dihasilkan oleh tenaga panas bumi berkisar antara 35 – 2.000 GW. Kapasitas di seluruh dunia saat ini adalah 10.715 megawatt (MW), dengan kapasitas terbesar di Amerika Serikat sebesar 3.086 MW, diikuti oleh Filipina dan Indonesia. (***)