- Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel inisiasi keterlibatan perempuan dalam pengawasan melalui Pa’jala, singkatan dari perempuan penjaga laut. Sejak 2023 Pajala diintegrasikan ke dalam pokmaswas, yang mensyaratkan 30 persen anggotanya adalah perempuan.
- Pelibatan perempuan di pokmaswas masih terbatas pada peran-peran tertentu, seperti pencatatan atau administrasi dan bendahara, meski ke depannya diharapkan bisa lebih meningkat lagi.
- Untuk menindak pelaku destructive dan illegal fishing ini, DKP Sulsel menginisiasi pembentukan satgas yang disebut Forum Koordinasi Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan. Di dalamnya terdapat 22 instansi yang terkait dengan kejahatan laut, termasuk di dalamnya aparat kepolisian, TNI dan pemda setempat.
- Selain Pa’jala, DKP Sulsel juga mendukung pelibatan generasi muda dalam konservasi dan pengawasan laut melalui inovasi yang disebut Pacarita, singkatan dari pemuda cinta bahari anti bom dan bius ikan.
Jika selama ini pengawasan laut berbasis masyarakat didominasi dilakukan oleh lelaki melalui kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas), di Sulawesi Selatan ada upaya pelibatan perempuan melalui inovasi yang disebut Pa’jala, singkatan dari ‘perempuan penjaga laut’.
“Kami upayakan bagaimana pelibatan perempuan dalam pengawasan di laut. Dalam petunjuk teknis pokmaswas yang dikeluarkan dinas tahun 2022 lalu disebutkan ada pelibatan perempuan 30 persen dari jumlah anggota pokmaswas, artinya dari 10 anggota pokmaswas minimal harus ada 3 di antaranya adalah perempuan,” ungkap Deasy Ariani Amin atau lebih dikenal dengan nama Dhea, inovator Pa’jala, yang juga merupakan pengawas perikanan sekaligus analis penanganan hasil pelanggaran sumber daya kelautan dan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel, Kamis (18/1/2023).
Menurut Dhea, selama ini pengawasan memang didominasi oleh laki-laki, padahal peran perempuan tak kalah pentingnya, khususnya dalam melakukan pendekatan persuasif dalam penyadaran masyarakat.
Pa’jala sendiri diharapkan bisa terintegrasi dengan pokmaswas, bukan sebagai institusi yang berdiri sendiri. “Merujuk pada juknis yang ada di tahun 2022 kemarin, sebanyak 6 pokmaswas yang baru terbentuk telah memasukkan 30 persen perempuan sebagai anggota,” jelasnya.
Menurut Dhea, keterlibatan perempuan dalam pengawasan merupakan strategi dalam penyadaran masyarakat akan bahaya bom dan bius serta penggunaan alat tangkap merusak lainnya.
“Ini adalah sebagai upaya persuasif dalam penyadaran masyarakat. Kami lihat di lapangan kalau istri yang ingatkan suami untuk tidak bom dan bius sepertinya lebih efektif, lebih mudah diterima oleh nelayan. Dalam rumah tangga nelayan pun peran istri sangat vital karena mengurusi segala hal tentang keuangan, logistik, dan sebagainya.”
baca : Seruan Lantang dari Para Pegiat Lingkungan untuk Menjaga Laut
Meski demikian, pelibatan perempuan ini masih dilakukan terbatas pada peran-peran tertentu, seperti pencatatan atau administrasi dan bendahara, meski ke depannya diharapkan bisa lebih meningkat lagi.
“Masih perlu terus dilakukan pendampingan, yang terpenting sekarang adalah membangun kesadaran dan kepercayaan diri perempuan untuk bisa terlibat dalam kegiatan pengawasan. Inilah tujuan utama kami dorong Pa’jala ini.”
Menurut Dhea, tantangan pelibatan perempuan dalam pengawasan ini di antaranya adalah kurangnya minat perempuan untuk ikut melakukan patroli, dan kadang terkendala faktor budaya di mana tugas pengawasan dianggap semata mengandalkan fisik yang merupakan ranah laki-laki.
“Jadi tugas kita bagaimana membangun rasa percaya diri perempuan bahwa mereka juga bisa terlibat di kegiatan-kegiatan yang selama ini menjadi domain kerja laki-laki.”
Dijelaskan Dhea bahwa Pa’jala sebenarnya tidak dikhususkan hanya untuk masyarakat saja, tapi bagaimana meningkatkan peran pengawas perikanan perempuan di lingkup DKP Sulsel. Dari 23 tenaga pengawas yang ada, hanya 7 pengawas perikanan perempuan.
“Pa’jala juga menyasar bagaimana memperkenalkan tugas pengawas perikanan perempuan melalui video kampanye tentang tugas dan fungsi pengawas perikanan. Diharapkan dapat memberikan gambaran serta menarik minat pegawai perempuan di lingkup DKP untuk menjadi pengawas perikanan.”
baca juga : Bagaimana Mengelola Ruang Laut dengan Bijak dan Transparan?
Pelibatan masyarakat dalam pengawasan laut sendiri diatur melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.58/2001 tentang Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat.
Tidak hanya bertugas dalam pengawasan kawasan konservasi perairan saja, tetapi juga turut serta dalam melakukan sosialisasi aturan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Termasuk melaporkan jika terjadi tindakan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.
“Pada dasarnya tugas pokmaswas lebih pada mengawasi, mencatat dan melaporkan kejahatan yang terjadi di laut kepada aparat hukum, yang kemudian dikenal dengan prinsip 3 M yaitu melihat atau mendengar, mencatat dan melaporkan, sehingga kemudian dibekali dengan tanda pengenal (ID), perahu dan alat komunikasi. Hingga saat ini telah terbentuk 228 pokmaswas di seluruh daerah di Sulsel,” tambahnya.
Keberadaan pokmaswas sangat penting dengan masih maraknya praktik destructive dan illegal fishing. Pada tahun 2023, di Sulsel saja, tercatat kasus destructive fishing berupa bom dan bius ikan sebanyak 6 kasus, sementara illegal fishing 5 kasus. Turun dibanding tahun sebelumnya 17 kasus destructive fishing dan 8 kasus illegal fishing.
“Jumlah kasus ini kita hitung berdasarkan permintaan dari kejaksaan dan kepolisian kepada kami sebagai saksi ahli, jumlah kejadian sebenarnya mungkin lebih dari itu namun tidak diproses hingga ke penyidikan karena proses mediasi atau lainnya.”
Menurut Dhea, tantangan utama penanganan kasus-kasus di laut ini adalah wilayah pengawasan yang luas sementara personel pengawasan yang terbatas, serta masih lemahnya penegakan hukum bagi pelaku di lapangan, sehingga sulit memberi efek jera.
“Karena tuntutan hukum yang ringan sehingga kadang pelaku bom dan bius itu-itu juga.”
baca juga : “Berdansa dengan Laut”, Cerita Keberhasilan Konservasi di Pulau Langkai dan Lanjukang Makassar
Untuk menindak pelaku destructive dan illegal fishing ini, DKP Sulsel menginisiasi pembentukan satgas pengawasan yang disebut Forum Koordinasi Tindak Pidana Bidang Kelautan dan Perikanan. Di dalamnya terdapat 21 instansi sebagai tim pelaksana, yang terkait dengan tindak pidana bidang kelautan dan perikanan, di dalamnya selain dari DKP juga aparat kepolisian, TNI dan sejumlah instansi lainnya, termasuk dari pemda setempat.
“Kehadiran forum ini setidaknya, minimal bisa mengatasi keterbatasan DKP, jadi terintegrasi dengan kegiatan pengawasan dengan instansi-instansi lainnya. Jadi forum ini menjadi tanggung jawab bersama, apalagi kalau sudah di SK-kan.”
Selain Pa’jala, DKP Sulsel juga mendukung pelibatan generasi muda dalam konservasi dan pengawasan laut melalui inovasi yang disebut Pacarita, singkatan dari ‘pemuda cinta bahari anti bom dan bius ikan’. Inovasi ini pernah memenangkan lomba inovasi antar organisasi perangkat daerah (OPD) tingkat provinsi Sulawesi Selatan.
“Ini adalah upaya DKP Sulsel mendorong pemuda untuk ikut menjaga ekosistem laut dari aktivitas destructive fishing, seperti penggunaan bom dan bius ikan. Inovasi ini awalnya diinisiasi oleh Cabang Dinas Kelautan Pangkajene Kepulauan yang kemudian mulai diadopsi oleh cabang dinas lain di lingkup DKP Sulsel. Sampai saat ini sudah ada 43 komunitas yang terbentuk,” ungkap Dhea.
Melalui Pacarita ini, penanganan masalah destructive fishing dan perbaikan ekosistem laut dilakukan dengan metode bottom-up, yang mengandalkan para pemuda di pulau yang direkrut untuk dilatih dan dibina sehingga mampu menjadi agen perubahan, dalam memerangi aktivitas bom dan bius ikan di wilayah mereka masing-masing. (***)