- Puluhan perempuan nelayan di Makassar menyatakan protes atas peresmian Makassar New Port (MNP) oleh Presiden Joko Widodo di Makassar, Kamis (22/2/2024).
- Selama ini, aktivitas reklamasi pembangunan pelabuhan MNP berdampak pada hilangnya pekerjaan perempuan pencari kerang, kanjappang dan mengurangi pendapatan nelayan tradisional.
- Hingga saat ini terdapat 150 perempuan nelayan yang masih terus berjuang mempertahankan ruang kelolanya di pesisir yang terdampak proyek MNP tersebut. Mereka telah menyampaikan aduan terkait adanya pelanggaran hak perempuan kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan Republik Indonesia.
- Pembangunan MNP yang menelan investasi pemerintah sebesar Rp5,4 triliun yang merupakan pelabuhan terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan terbesar kedua setelah Tanjung Priok dengan kedalaman 16 meter, dengan kapasitas tampung 2,5 juta TEUs.
Puluhan perempuan nelayan di Makassar yang terafiliasi dalam Komunitas SP Anging Mammiri melakukan aksi protes terhadap peresmian pelabuhan Makassar New Port (MNP) oleh Presiden Jokowi di depan Gardu Induk PLN Tallo, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/2/2024).
Mereka membentangkan poster dan seruan menolak peresmian proyek strategis nasional tersebut karena menimbulkan berbagai dampak lingkungan dan hilangnya ruang hidup nelayan, khususnya perempuan nelayan.
Pembangunan MNP yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero), telah memulai pengerjaan MNP tahap 1B dan 1C sejak awal 2019 silam dengan target pembangunan sepanjang 1.000 meter pesisir pantai utara Makassar.
Pembangunan MNP yang menelan investasi pemerintah sebesar Rp5,4 triliun yang merupakan pelabuhan terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan terbesar kedua setelah Tanjung Priok dengan kedalaman 16 meter, dengan kapasitas tampung 2,5 juta TEUs ini, merupakan proyek yang dibiayai langsung Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam hal ini PT Pelindo. Sebelumnya, pelabuhan ini hanya memiliki kapasitas tampung 750.000 TEUs.
Namun di balik kemegahan pelabuhan ini menyisakan sejumlah persoalan bagi masyarakat yang hidup sekitar pelabuhan. Di lokasi proyek MNP, terdapat lima komunitas nelayan tradisional yang masing-masing terbagi dan menetap di Kelurahan Tallo, Kalukubodoa, Cambayya, Buloa, dan Gusung. Sebagian besar warga yang tinggal di daerah tersebut merupakan nelayan pencari ikan, kepiting rajungan dan tude (kerang). Mereka dinilai sangat terdampak atas pembangunan MNP ini.
Menurut Suryani, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri, penolakan terhadap pembangunan pelabuhan MNP bukan kali ini saja, namun telah dilakukan sejak tahap pembangunan pertama pada tahun 2017 di mana perempuan pesisir bersama nelayan tradisional di Kelurahan Cambaya, Buloa, Tallo, melakukan aksi serupa. Mereka bahkan juga telah beberapa kali menyampaikan protes ke DPRD Provinsi Sulsel.
baca : Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan
“Aksi protes ini kami lakukan karena aktivitas pembangunan MNP telah menghilangkan mata pencaharian nelayan, sumber pangan perempuan, pencemaran lingkungan, lumpur dampak dari transportasi alat-alat berat, sampah hingga limbah minyak, melahirkan ketimpangan sosial, ekonomi, dan ketimpangan gender,” kata Suryani.
Dijelaskan Suryani, aktivitas reklamasi pembangunan pelabuhan MNP berdampak pada hilangnya pekerjaan perempuan pencari kerang, kanjappang dan mengurangi pendapatan nelayan tradisional. Perempuan harus bekerja dan berpikir ekstra untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih karakteristik laut yang diidentikkan dengan maskulinitas, seringkali dianggap sebagai ranah yang tidak mungkin menjadi wilayah kelola perempuan.
“Akibatnya perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi, tidak diakui identitas sebagai nelayan meski secara turun temurun memanfaatkan pesisir sebagai ruang kelola. Perempuan nelayan tidak menerima program pemberdayaan, kartu asuransi nelayan sementara mereka beraktivitas di laut sama seperti nelayan laki-laki,” katanya.
Menurut Suryani, hingga saat ini terdapat 150 perempuan nelayan yang masih terus berjuang mempertahankan ruang kelolanya di pesisir yang terdampak proyek MNP tersebut. Mereka telah menyampaikan aduan terkait adanya pelanggaran hak perempuan kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan, meskipun belum ada titik terang penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak perusahaan.
Upaya lain yang dilakukan perempuan nelayan adalah dengan bertemu dan berdialog dengan pihak perusahaan (Pelindo), berdialog dengan gubernur Sulsel, Pemerintah Kota Makassar, Komisi E, Komisi B, Komisi C, Sekretaris DPRD Provinsi Sulsel. Dalam berbagai ruang dialog perempuan pesisir dan nelayan tradisional menyampaikan tuntutannya yakni mendesak pemerintah dan perusahaan memulihkan hak ekonomi dan pemulihan hak atas lingkungan.
baca juga : Tambang Pasir Laut Proyek MNP Telah Dihentikan, Dampaknya Masih Dirasakan Nelayan
Bahkan pada rapat dengar pendapat (RDP) yang dilakukan pada tanggal 24 Januari 2023 lalu, pemerintah DPRD dan Perusahaan PT. Pelindo IV bersepakat untuk bersama-sama ke Jakarta bertemu dengan PT. Pelabuhan Indonesia membicarakan persoalan ini, namun lagi-lagi Komisi B beserta pihak perusahaan mengabaikan hasil kesepakatan tersebut.
“Komisi B bertemu dengan PT. Pelabuhan Indonesia di Jakarta tanpa melibatkan perwakilan perempuan dan nelayan tradisional. Hal ini menunjukkan ketidakpatuhan atas hasil RDP dan ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan persoalan perempuan.”
Menurut Suryani, skema Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai upaya sentralisasi pengelolaan sumber daya alam, melalui Peraturan Presiden Nomor 109/2020 merupakan aturan yang berorientasi pada pembangunan ekstraktif dan infrastruktur. Rentetan persoalan agraria dan lingkungan hidup timbul akibat PSN sehingga berdampak buruk pada kehidupan rakyat, seperti halnya MNP, dinilai telah memiskinkan perempuan pesisir dan nelayan tradisional di pesisir Makassar.
Dikatakan Suryani bahwa peresmian pelabuhan MNP oleh Presiden Joko Widodo, adalah bentuk nyata pengabaian negara terhadap pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan pesisir dan nelayan tradisional.
Sejumlah perempuan nelayan yang melakukan aksi terhadap penolakan peresmian pelabuhan MNP, mendapatkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan mengambil secara paksa sejumlah poster yang dibentangkan oleh perempuan.
“Aksi penolakan dan protes yang disuarakan oleh perempuan pesisir merupakan bentuk kekecewaan dan kemarahan perempuan nelayan yang selama ini memperjuangkan hak atas ruang lautnya. Kami mengecam segala bentuk intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan dalih apa pun. Menyampaikan pendapat di depan umum adalah hak setiap warga negara, termasuk perempuan nelayan,” ujarnya.
Suryani menilai situasi ini merupakan bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di depan umum sebagaimana dijamin oleh undang-undang.
baca juga : Riset Koalisi Save Spermonde: Proyek MNP Rusak Ekosistem Laut dan Sengsarakan Nelayan
Pelabuhan Terbesar
Dalam acara peresmian pelabuhan MNP di Makassar, Kamis (22/02/2024), Presiden Jokowi meyakini, pelabuhan ini siap menjadi hub terbesar sekaligus meningkatkan efisiensi biaya logistik di Indonesia Timur.
“Ini akan menjadi pelabuhan besar di Indonesia bagian timur yang kita harapkan bisa mengefisiensikan biaya-biaya logistik yang ada di Tanah Air kita,” ujar Presiden dikutip dari website Setkab
Presiden mengapresiasi biaya logistik di Indonesia yang saat ini sudah turun ke angka 14 persen dan dwelling time yang turun dari yang semula tujuh hari menjadi di bawah tiga hari.
Presiden membandingkan MNP yang ada sekarang dengan yang lama, dari 750.000 TEUs menjadi 2,5 juta TEUs.
“Ini lompatannya jauh tinggi sekali dengan investasi yang ditanamkan di sini Rp5,4 triliun. Kita lihat nanti bagaimana progres perkembangan pelabuhan ini, yang akan menjadi pelabuhan besar di Indonesia bagian timur, dan kita harapkan bisa mengefisiensikan biaya logistik di tanah air,” katanya, sebagaimana dikutip dari sulselprov.go.id.
Ia berharap MNP akan memberikan dampak daya saing nanti produk-produk di Indonesia bagian timur dan adanya efisiensi biaya logistik juga akan baik lagi sehingga produk-produk di Indonesia bagian timur bisa bersaing dengan wilayah Indonesia lainnya atau dengan negara lain. (***)
Riset Koalisi Save Spermonde: Proyek MNP Rusak Ekosistem Laut dan Sengsarakan Nelayan