- Banjir bandang dan longsor di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, meluluhlantakkan pemukiman, lahan pertanian, perkebunan dan fasilitas lain pekan pertama Maret lalu.
- Kayu-kayu besar datang bersama air bah yang tiba-tiba menerjang kampung seperti terjadi di Langgai dan Batu Lalah, Kecamatan Sutera, Pesisir Selatan.
- Seharusnya, pemerintah bisa mengantisipasi bencana ini sejak awal, lewat pengawasan kerusakan lereng-lereng dan mengatasi pembalakan liar. Ketika terjadi pelanggaran, penegakan hukum harus berjalan. Kalau tidak, katanya, bencana berulang bisa terus terjadi.
- RTRW, semestinya jadi instrumen legal menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup. Banyak investasi masuk tidak sesuai tata ruang tetapi tetap masuk, tata ruang menyesuaikan. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), juga penting hingga bisa mempertimbangkan dan menentukan sektor yang boleh dan tidak.
Ria sesekali berjalan ke luar tenda. Dia tiba-tiba menangis, tiba-tiba pingsan. Warga memapah kembali ke dalam tenda. Warga Kampung Langgai, ini begitu terpukul mengetahui suami dan mertuanya meninggal dunia karena banjir bandang dan longsor yang menimpa mereka.
“Ayahnya belum lama ini juga meninggal. Dia trauma dan sedih sekali. Satu anaknya tersisa sedang sekolah di Bukittinggi,” kata Nurma, warga Kampung Ganting Ampalu, Sutera.
Langgai adalah kampung paling ujung Nagari Ganting Mudik Utara, Kecamatan Sutera, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Perkampungan ini berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat. Lokasi ini terisolasi saat banjir bandang dan longsor, sejak Kamis (7/3/24) sampai Selasa (12/3/24). Warga dan tim gabungan di Langgai mencari korban tertimbun longsor dan galodoh (bandang) lalu menguburkan korban di desa itu juga.
Raim Putra, rumahnya rata jadi tanah di Langgai bersama Ayu, istri dan satu anaknya mengungsi ke desa lain ke rumah keluarga. “Semua habis, tinggal baju yang menempel di badan,” katanya.
Matanya agak basah ketika ditanya rencana selanjutnya. Dia belum tahu. Raim, Sekretaris Nagari Ganting Mudik Utara yang mencakup dua kampung, yaitu, Batu Balah dan Langgai. Saat itu, dia hanya ingin fokus menyalurkan bantuan dan terus berkoordinasi dengan para pihak.
Jembatan yang menghubungkan dua kampung ini putus. Kondisi itu yang membuat Langgai terisolir hingga seminggu setelah kejadian. Beberapa warga hilang karena tertimbun longsor. Puluhan rumah hancur di Langgai dan Batu Balah.
Tak hanya kayu-kayu besar menghantam rumah di Langgai. “Batu-batu seukuran rumah berserakan di Langgai. Masjid Langgai juga hilang, rata dengan tanah,” kata Hamdani, fotografer yang berhasil sampai ke Langgai bersama Basarnas.
“Listrik tidak ada, air bersih juga tidak ada,” katanya.
Jalan yang menghubungkan Kampung Langgai dengan Batu Balah tidak hanya putus juga ada beberapa titik longsor menuju ke sana. Warga menggunakan motor sampai batas jalan yang bisa dilewati dan berjalan kaki. Lantas bersambung dengan kendaraan lain di Batu Balah. Warga saling bantu seperti motor bernama Komstra atau Komunitas Semi-trail Tratak.
Reno, warga Kampung Batu Balah sedang membersihkan rumah sembari menyusun barang-barang yang bisa diselamatkan.
“Mana yang masih bisa dibersihkan ya dicuci dan dipakai,” katanya.
Saat banjir bandang menghantam rumah, Reno sedang di ladang. Baru malam hari sampai rumah dan langsung menyelamatkan diri. Dia bercerita sembari melihat lemari piring kini nampak di atas puing-puing rumahnya.
Ada kabar gubernur berencana merelokasi warga terdampak bencana ini. “Biarlah di kampung asal saya saja di sini. Tempat tinggal saja yang diperbaiki, tidak usah bagus-bagus juga tidak apa-apa,” katanya dalam bahasa Minang.
Selama hidup tinggal di kampung ini, tak pernah bencana diikuti kayu-kayu besar. Padahal dahulu sering terjadi hujan lama. “Bahkan badai beberapa hari juga tidak sampai seperti ini,” katanya.
Serupa dikatakan Maraini. Sudah 80 tahun usianya, baru kali ini banjir meluluh lantakkan kampung. Kayu-kayu besar seukuran dua pelukan orang dewasa, bercampur bebatuan serta lumpur padat menghantam batas-batas sungai dan pondasi-pondasi rumah warga.
Sungai Surantih Mudiak Dalam pun berubah, lebar bertambah sekitar 80 meter. “Tidak pernah seumur-umur seperti ini,” katanya.
Rumah Bendri, warga Batu Balah tersisa gerbangnya. Sepanjang 80 meter ke belakang rumah sudah jadi sungai berarus deras. “Kemarin ada surau di belakang sini. Hilang, tidak ada lagi bekasnya,” kata ayah satu anak ini.
Banjir bandang tak hanya meluluhlantakkan rumah, juga tanaman bahkan ternak-ternak warga,
Bagaimana cegah bencana tak berulang?
Bencana besar ini diduga dampak kerusakan lingkungan makin parah, hutan terus tergerus. Diki Rafiqi, Koordinator Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menganalisis peta menggunakan Global Land Analysis and Discovery (GLAD-L) dan Radar for Detecting Deforestation (RADD), melalui peta Global Forest Watch.
Dia menyebut, sejak 2012-2022 Nagari Gantiang Mudiak Utara Surantih, Kecamatan Sutera kehilangan tutupan pohon 1.410 hektar. Kehilangan tutupan pohon tertinggi pada 2017 seluas 363 hektar.
“[Kini] puncak-puncak bukit tak dapat lagi menyerap air dan menyebabkan longsor, memakan banyak korban.”
Seharusnya, pemerintah bisa mengantisipasi bencana ini sejak awal, lewat pengawasan kerusakan lereng-lereng dan mengatasi pembalakan liar.
Ketika terjadi pelanggaran, katanya, penegakan hukum harus berjalan. Kalau tidak, katanya, bencana berulang bisa terus terjadi.
Wengky Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan, sepemahamannya bencana-bencana ini merupakan akumulasi dari krisis lingkungan.
“Karena ada ketidakadilan sistem pengurusan alam, akibatnya ada akumulasi krisis lingkungan atau krisis ekologis, tidak bisa kita lihat dari kejadian hari ini saja. Kita harus melihat dari tahun-tahun sebelumnya yang kemudian terakumulasi,” katanya.
Dia bilang, gubernur juga Dinas Kehutanan mengakui ada pembalakan liar. Juga ada kesalahan rencana tata ruang wilayah.
RTRW, kata Wengky, semestinya jadi instrumen legal menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup. “Termasuk sekaligus mitigasi bencana di Sumatera Barat. Jangan sampai RTRW dibahas dan diubah untuk memenuhi permintaan kebutuhan investor,” katanya.
Banyak investasi masuk tidak sesuai tata ruang tetapi tetap masuk, tata ruang menyesuaikan. “Mestinya investasi masuk, jika tata ruang tidak mendukung maka investasi harus dibatalkan. Kalau sebaliknya, kita akan panen bencana.”
Hal penting lagi, katanya, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), hingga bisa mempertimbangkan dan menentukan sektor yang boleh dan tidak.
“Mempertimbangkan daya dukung, daya tampung lingkungan termasuk mana yang penyangga, konservasi, lindung dan mana yang bisa untuk pertanian pangan berkelanjutan dan lain-lain.”
******