- Limbah minyak hitam kembali mencemari pesisir Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau, awal Maret 2024. Kejadian ini terus berulang setiap tahunnya.
- Pemerintah membersihkan limbah ini secara manual menggunakan sekop dan cangkul bersama masyarakat sekitar.
- Dalam sebuah penelitian, mitigasi kejadian ini tidak bisa diselesaikan dari hilir, tetapi juga dari hulu. Tim penanggulangan tumpahan minyak di laut Provinsi Kepri masih dianggap belum berhasil menyelesaikan persoalan ini.
- Walhi Nasional mengkritik pemerintah tidak punya niat kuat menyelesaikan masalah tumpahan minyak hitam di perbatasan Kepri. Menurut mereka, jika kejadian berulang, ada yang salah dalam penanganannya.
Pencemaran minyak hitam kembali terjadi di pesisir Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) awal Maret 2024. Kali ini minyak hitam terbawa angin ke pesisir utara pulau Bintan, tepatnya di dekat Bintan Sayang Resort atau sering disebut warga Pantai Sakera, Desa Sebong Pareh, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan.
Minyak hitam ini awalnya ditemukan oleh nelayan sekitar, karena alat tangkap mereka seperti jaring, kelong, hingga pelantar terdampak. Setelah itu, angin membawa limbah menumpuk bersama sampah laut di teluk yang terdapat di Pantai Sakera.
“Minyak ini datangnya sedikit-sedikit selama dua minggu belakangan,” kata salah seorang warga, Efendi, Kamis (14/03/2024). Setelah mengetahui kejadian itu Efendi langsung melaporkan kepada pihak terkait.
Kasatpolairud Polres Bintan Iptu Sarianto turun langsung ke lokasi kejadian, Kamis (14/03/2024). Informasi kejadian ini juga diteruskannya kepada PPLP (Pangkalan Penjaga Laut dan Pantai Tanjunguban) dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bintan. “Lokasi kejadian tepat di Pantai Sakera dekat dengan Bintan Sayang Resort,” kata Sarianto kepada Mongabay, Minggu (17/03/2024).
Informasi lapangan, katanya, minyak hitam mulai mencemari pesisir pantai sejak satu minggu yang lalu. Minyak hitam ini masuk ke pesisir tidak sekaligus, namun perlahan. “Pas informasi kami dapat, disitu minyaknya sudah parah (menumpuk di pantai),” katanya.
Setelah melihat kondisi tersebut, pihaknya langsung berkoordinasi dengan instansi terkait dan masyarakat sekitar untuk melakukan pembersihan. Sebanyak tiga drum minyak hitam tersebut berhasil diangkat ke darat kemudian diserahkan kepada DLH Bintan.
“Akhirnya hari itu kita bersihkan bersama, secara manual menggunakan sekop dan cangkul,” katanya.
Baca : Laut Tercemar Minyak Hitam, Ratusan Nelayan Batam Tak Bisa Melaut
Saat ini, katanya, setiap terjadi pencemaran minyak hitam pihaknya akan langsung memeriksa ke lokasi kejadian. Setelah itu dilakukan koordinasi dengan dinas terkait, termasuk melaporkan kejadian kepada Kapolres Bintan kemudian dilakukan pembersihan.
Sedangkan untuk pelaku, sampai saat ini belum ditemukan. Namun, kejadian tahunan ini diduga dilakukan oleh kapal yang melintas di laut perbatasan internasional.
“Kalau terkait asalnya (minyak hitam) itu, diduga dari kapal melintas perbatasan yang itu kita tidak tahu (kapal yang melakukan pembuangan minyak hitam), karena kita tidak setiap saat patroli di lokasi yang sama, selain itu patroli kita terbatas juga,” katanya.
Sarianto mengatakan, minyak hitam ini biasanya akan hilang sendiri terbawa oleh arus lagi. “Jadi dia tidak mengendap disini,” katanya.
Kejadian tumpahan minyak hitam atau sering disebut sludge oil terus berulang di Kepulauan Riau. Daerah sasarannya adalah kawasan pesisir yang berhadapan langsung dengan laut internasional, yaitu pesisir Bintan dan Pesisir Batam.
Dalam catatan Mongabay, setidaknya hampir setiap tahun terjadi tumpahan minyak hitam di Kepri. Sebelumnya minyak hitam membuat ratusan nelayan tidak bisa melaut di Pesisir Kampung Melayu, Nongsa Kota Batam, Mei 2023. Kemudian Desember 2023 kejadian berulang di kawasan pesisir Tanjung Uncang Kota Batam.
Fenomena pencemaran minyak hitam terjadi saat musim utara. Modusnya ketika limbah ini dibuang pada musim tersebut, ia akan terbawa ombak laut ke Batam atau Bintan.
Baca juga : Tumpahan Minyak Hitam Kembali Cemari Laut Batam, Siapa Pelakunya?
Bagaimana Mitigasinya?
Dalam sebuah penelitian,“Mitigasi penanggulangan tumpahan sludge oil di kawasan strategis pariwisata Kabupaten Bintan” penanganan tumpahan minyak harus dilakukan dari hulu. Pembersihan yang dilakukan selama ini adalah penanganan di hilir yang bersifat sementara.
Penelitian dalam Jurnal Ilmiah Global Education tahun 2023 itu menyebutkan setidaknya ada 13 mitigasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bintan untuk penanganan masalah tumpahan minyak tersebut. Tidak hanya upaya mitigasi dengan membersihkan langsung pantai, tetapi pemerintah daerah yaitu Bupati Bintan juga mengirim surat kepada menteri terkait bahkan juga kepada Presiden RI. Surat itu berisikan upaya penanganan masalah tumpahan minyak hitam yang sudah dilakukan.
Sedangkan upaya mitigasi terakhir yaitu sudah dibentuk satuan tugas melalui Surat Keputusan Terbentuknya Tim Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut Provinsi Kepulauan Riau yang terbentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 742 Tahun 2018 Tanggal 14 Mei Tahun 2018. Namun, sampai saat ini tim penanggulangan tersebut dianggap masih belum berjalan maksimal.
Penelitian yang tulis Hendra Kurniawan dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Kepulauan Riau itu merekomendasikan, pemerintah daerah perlu menyusun petunjuk teknis terkait operasional bagi tim daerah penanggulangan minyak di laut.
Kemudian, memberikan pelatihan kepada tim penanggulangan, diperlukan anggaran yang tersentral untuk menunjang kegiatan operasional di lapangan, terakhir penelitian ini juga merekomendasikan pemerintah menghadirkan teknologi dalam upaya mitigasi penanggulangan sludge oil.
Baca juga : Tak Ada Solusi: Minyak Hitam Kembali Cemari Laut Bintan, Ekosistem Rusak
Sejalan dengan penelitian tersebut, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan, ketika kasus pencemaran minyak hitam di Bintan ini terus berulang, berarti ada penanganan yang keliru. “Ada kesan dibiarkan juga, kalau tidak, ini tidak akan berulang,” katanya kepada Mongabay, Minggu, (17/03/2024).
Ia melanjutkan, penanganan persoalan seperti tidak hanya dibersihkan ketika kejadian, tetapi harus dilakukan pengukuran sebaran, melihat dampak ekologis, hingga memburu para pelaku. “Pelaku harus ditemukan, karena nanti pelaku itulah yang akan dipaksa memulihkan sosial ekologis dan ekonomis yang terjadi akibat kejadian itu,” katanya.
Saat menangani kasus tumpahan minyak di Karawang, ia sempat bertemu para ahli. Disebutkan pencemaran lingkungan laut akibat tumpahan minyak ini butuh waktu lama untuk disembuhkan. “Bahkan ada istilah kalau laut sudah tercemar minyak hitam, berarti laut dalam kondisi sekarat,” katanya.
Parid juga menilai, penanganan tumpahan minyak tidak hanya bisa dilakukan dengan membentuk tim penanggulangan tetapi harus dilakukan penanganan khusus dari pemerintah pusat, apalagi Kepri adalah daerah kepulauan yang berbatasan dengan negara tetangga. “Khawatir kita, minyak hitam ini berasal dari negara tetangga, ini kan soal geopolitik kita juga, kita harus melihat dari kacamata itu,” katanya.
Amat disayangkan kata Parid, dalam forum internasional Presiden Joko Widodo selalu bicara komitmen menjaga laut sehat dan sebagainya. Tetapi nyatanya pencemaran limbah minyak di perbatasan Kepri ini terus berulang sejak puluhan tahun belakangan.
“Apalagi pada kampanye tahun 2014, Jokowi berjanji akan menjadikan Indonesia poros maritim dunia, menurut saya janji itu perlu dipertanyakan lagi, kalau persoalan ini tidak bisa diselesaikan, apa yang disampaikan jauh panggang daripada api,” tegasnya. (***)