- Ketidakpastian air irigasi akibat musim kemarau panjang membuat para petani di Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) resah. Sawah seluas 5.800 hektar di kecamatan Jerowaru, dan sebagian besar belum mendapatkan pasokan air yang cukup.
- Selain dipicu perubahan iklim yang mengakibatkan musim hujan yang tidak pasti, distribusi air irigasi juga menjadi kendala
- Di daerah-daerah perbatasan dengan Kota Mataram, tantangan datang dari alih fungsi lahan menjadi kawasan perumahan yang mengubah jalur irigasi
- Pemerintah perlu membuat sistem lingkaran siklus air, membawa air dari tempat yang berlimpah ke bagian kering dan dikembalikan ke tempat semula
Muhrim, seorang pemuda dari Desa Wakan, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) membuat ribut semua grup whatsapp. Dia juga meminta dimasukkan di semua grup yang ada pejabat. Dia meminta para jurnalis turun ke desanya, di bagian ujung selatan Kabupaten Lombok Timur. Muhrim mengirim foto dan video tentang kondisi sawah di desanya yang kering. Di bagian lain, sawah yang baru ditanami terancam gagal.
Dia ingin semua orang tahu, bahwa kondisi pertanian tidak sedang baik-baik saja. Apalagi pada dua pekan sebelumnya Menteri Pertanian Amran Sulaiman datang ke Lombok Tengah. Menjamin pasokan pangan, dalam hal ini beras, ditengah ancaman musim tanam yang terlambat.
Pada pekan ketiga Februari, bersama dengan para pekasih –orang yang bertugas mengatur air irigasi–, Muhrim mendatangi Dinas PUPR Lombok Timur dan Dinas Pertanian Kabupaten Lombok Timur, menghubungi Dinas Pertanian provinsi dan Dinas PUPR provinsi NTB.
“Kalau tidak aktif begini, tidak mau kita diurus bang. Dikira kita bohong saja,’’ kata Muhrim, Jumat (23/02/2024).
Hari Kamis (22/02/2024), rombongan pejabat dari pemerintah provinsi NTB datang ke kecamatan Jerowaru. Mereka melihat langsung kondisi sawah yang sudah diolah, tapi tak kunjung ditanami. Beberapa sawah terlihat kering. Air di saluran irigasi juga kering. Embung yang tersebar di beberapa lokasi juga mengering, kalau pun ada masih berair tidak akan cukup untuk mengairi sawah.
Hujan tak kunjung turun rutin pada Februari. Muhrim membayangkan sawah-sawah milik keluarganya tidak akan bisa ditanami, yang paling mengkhawatirkan yang sudah terlanjur ditanami tidak mendapatkan cukup air.
“Ada 5.800 hektar lahan pertanian di kecamatan Jerowaru, dan sebagian besar belum mendapatkan pasokan air yang cukup,’’ katanya.
Sawah seluas 5.800 hektar ini mendapatkan pasokan air dari dua bendungan. Bendungan Pandan Duri di Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur dan bendungan Tibu Nangke Beleke, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah. Sebagian sawah di Desa Sukaraja bagian selatan, Desa Wakan, dan Desa Batunampar bahkan mendapatkan pasokan air dari bendungan di Kabupaten Lombok Tengah itu.
Sementara dari Bendungan Pandan Duri belum optimal, selain masih termasuk bendungan baru, debit air di bendungan ini juga tidak pernah penuh sejak kali pertama diresmikan di tahun terakhir pemerintahan Presiden SBY.
Setelah para pekasih ini mendatangi dan meminta para pejabat pengambil kebijakan memenuhi tuntutan mereka, akhirnya dilakukan pengiriman air dari dua bendungan ke Kecamatan Jerowaru. Tapi debit air yang dikirimkan tidak cukup. Ini menjadi tugas berat para pekasih. Jika mereka tidak cermat membagi air, bisa-bisa terjadi konflik antarpetani.
“Kalau tidak diatur semua mau rebutan. Kalau rebutan bisa berkelahi para petani,’’ kata Muhrim.
Baca : Kekeringan, Petani Lombok Dibayangi Gagal Panen
Saat bersamaan penyaluran air irigasi khusus ke Kecamatan Jerowaru itu, hujan turun. Petani menyambut dengan suka cita. Bendungan di dekat sawah mereka terisi, walaupun tidak sampai penuh, ada tambahan air bendungan, serta air hujan.
Pada tanggal 24 Februari beberapa petani di Desa Wakan, Desa Pene, Desa Batunampar Kecamatan Jerowaru mulai menanam padi. Terlambat jika dibandingkan dengan petani di bagian utara Lombok Timur yang menanam padi sejak akhir 2023 maupun awal 2024.
Satu masalah selesai. Petani bisa memulai menanam padi. Tapi mereka khawatir, tanaman padi masih membutuhkan pasokan air yang cukup. Sementara hujan belum rutin hingga memasuki Maret.
Saluran Irigasi Tertutup dan Rusak
Haji Samsul sudah puluhan tahun menjadi petani. Sawahnya di Jereneng, Desa Telagawaru, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat adalah sawah kelas satu. Mendapatkan pasokan air sepanjang tahun. Bisa menanam padi hingga 3 kali setahun. Dia biasanya menanam padi dua kali setahun, dan sekali menanam sayuran. Itu siklus normal.
Sebelum pemerintah membangun jalan bypass menuju bandara. Jalan itu membentang dari Jempong Kota Mataram. Menimbun lahan persawahan di Desa Bajur, Desa Telagawaru, Desa Banyumulek di Kabupaten Lombok Barat. Sawah milik Samsul salah satu yang kena dengan proyek pembangunan jalan bypass itu. Para petani mendapatkan ganti rugi.
Masalah muncul ketika pembangunan bypass itu mengubah saluran irigasi. Posisi bypass yang lebih tinggi dari areal persawahan, membuat pemerinth menyiasati membuang gorong-gorong di bawah bypass. Tapi tidak bisa lagi normal seperti sediakala. Kini sawahnya yang berada di seberang jalan bypass tidak lagi mendapatkan pasokan air irigasi yang rutin.
“Kalau tidak ada air hujan tidak berani kami menanam,’’ katanya pada awal Februari.
Pembangunan bypass ini menjadi pemicu tumbuhnya pembangunan perumahan. Sepanjang jalur bypass yang dulunya sawah, kini berganti menjadi kawasan perumahan. Tidak sedikit perumahan elite mengingat kemudahan akses jalan menuju Kota Mataram hingga ke bandara internasional Lombok.
Pembangunan perumahan ini menambah masalah baru. Saat proses pengurugan hingga pembangunan perumahan, tidak sedikit yang menutup saluran irigasi. Samsul menunjuk ke arah perumahan baru yang tidak jauh dari lokasi sawahnya.
“Dulu ada saluran cukup besar, sekarang sempit tertimbun,’’ katanya.
Baca juga : Kekeringan dan Diserang Hama, Jagung Masyarakat Sikka Gagal Panen
Kecamatan Labuapi dan Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat menjadi daerah pengembangan perumahan, sejak jalan bypass ke bandara selesai dibangun. Saluran irigasi semakin menyempit, kini menjadi lokasi pembangunan tempat sampah. Saat yang sama di bagian lainnya, masih ada petani yang memanfaatkan air irigasi itu untuk mengairi sawah mereka.
“Sekarang perkerjaan tambahan kami membersihkan sampah,’’ katanya menunjukan tumpukan sampah plastik di salurah irigasi dekat sawahnya.
Sampah makin banyak menumpuk pada saluran irigasi di sepanjang jalur bypass dan saluran yang melewati perumahan. Bahkan sering banjir karena saluran tertutup sampah. Setiap pekan para petugas maupun petani sendiri mengangkat sampah dari saluran irigasi.
“Dulu tidak pernah sebelum banyak BTN (perumahan),’’ kata Hasinah, petani lainnya.
Manajemen Sumber Daya Air
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Mataram Ahmad Fatoni mengatakan ada tiga masalah sumber daya air di Lombok. Pertama terjadi penurunan kualitas sumber daya air termasuk air pertanian, akibat pencemaran baik kimia maupun fisik. Masalah kedua adalah kuantitas. Air tidak bertambah, sementara kebutuhan meningkat. Saat yang sama sumber air banyak berkurang karena perubahan iklim maupun dipicu aktivitas manusia.
“Kangkung di Mataram ini subur walaupun tidak dipupuk karena saluran irigasi itu limbah rumah tangga maupun peternakan. Itu yang membuat tanaman subur,’’ katanya memberikan contoh.
Masalah ketiga yang disoroti penulis buku Pengelolaan Sumber Daya Air ini adalah distribusi air, baik air bersih maupun air pertanian. Kasus yang terjadi di Kecamatan Jerowaru Lombok Timur, daerah di bagian selatan Lombok Tengah akibat belum tertatanya distribusi air. Di bagian hulu para petani bisa menanam padi sepanjang tahun, baik musim hujan maupun kemarau. Sementara petani di bagian selatan hanya bisa menanam padi sekali setahun, saat musim hujan.
Baca juga : Krisis Iklim di Pulau Buru: Musim Tanam Padi Tertunda, Kekeringan, Hingga Serangan Hama
Bendungan yang ada untuk menampung air dari hulu juga bermasalah. Pendangkalan dan berkembangpesatnya tanaman eceng gondok membuat debit air bendungan berkurang. Bendungan yang diharapkan menjadi sumber air untuk bagian selatan pada musim kemarau, justru kekurangan air pada musim kemarau.
“Setiap tahun miliran rupiah dihabiskan untuk membersihkan bendungan, tapi masalahnya tidak selesai,’’ kata Fatoni, Kamis (07/3/2024).
Ketersediaan air di bagian hulu sebenarnya cukup jika dikelola dengan baik. Selama ini cara mengalirkan air dari hulu, bagian yang dekat dengan kawasan Gunung Rinjani ke selatan masih melalui saluran terbuka. Di tengah jalan banyak tantangan. Selain itu saluran itu juga belum terkoneksi satu sama lain.
Menurut Fatoni, secara alami Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak bisa disatukan, tapi dengan rekayasa teknik DAS yang ada bisa disatukan. Dialirkan melalui jembatan air, sehingga bisa saling mengisi antara DAS yang satu dengan DAS yang lainnya yang kurang air dengan sistem melingkar. Air dari daerah hulu yang lebih tinggi, diturunkan ke bagian selatan yang lebih rendah dengan jaringan irigasi, selanjutnya setelah mengisi areal persawahan di selatan itu, air diputar kembali masuk ke DAS lainnya hingga bisa diangkat ke bagian tengah. Dengan cara ini tidak ada lagi terdengar ada daerah yang kelebihan air, ada yang tidak mendapatkan air.
“Makanya untuk memudahkan mengatur air ini, harus ada satu lembaga yang mengurus. Sekarang ini ada Dinas LHK, ada PUPR, BWS, BPDAS. Sudah saatnya di kementerian pun ada kementerian sumber daya air,’’ pungkasnya. (***)
Pertanian dan Pangan Rawan Terdampak El-Nino, Langkah Antisipasi?