, , ,

SBY: Banyak Negara Maju Gagal Kurangi Emisi Gas

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono kala berpidato di Kampus Center for International Forestry Research (Cifor), mengatakan, pada kenyataan tetap banyak negara maju gagal memenuhi komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca seperti  yang mereka sepakati di Kyoto. Terlebih lagi, tidak semua negara maju — penghasil emisi gas rumah kaca –menyetujui Protokol Kyoto.

“Negara maju harus memimpin dalam mengurangi emisi, tetapi negara-negara berkembang harus berbuat lebih banyak,” katanya, Rabu(13//6/12).

SBY mengatakan, program untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan alih teknologi dan pengurangan kemiskinan di negara berkembang pun tak berjalan sesuai  harapan dan sasaran.

Masyarakat internasional sudah menandatangani Protokol Kyoto. Ini semacam pemahaman bersama dan keinginan mengurangi emisi gas rumah kaca. Sejumlah negara berkomitmen sukarela mengurangi emisi gas rumah kaca. Indonesia,  berkomitmen sampai 2020 mengurangi 26 persen emisi gas rumah kaca atau 41 persen jika ada dukungan internasional.

Menurut SBY, komitmen pertama Protokol Kyoto, akan berakhir tahun ini. “Kami berharap bisa memiliki sebuah rencana sementara untuk komitmen periode kedua yang akan berjalan dalam lima tahun, sampai 2017 atau delapan tahun, sampai 2020 yang akan diputuskan di Doha, Qatar,” kata SBY.

Presiden mengatakan, perlu memastikan kerangka kerja sama pasca 2015. Di mana, pembangunan global dibangun di atas prinsip-prinsip kesetaraan dan partisipasi terbuka  bagi semua stakeholder. “Harus bertujuan memberdayakan kaum miskin di negara berkembang. Ini harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip kerja sama dan tanggung jawab publik yang bermanfaat bagi semua negara.”

Untuk itu, harus memberikan peran lebih besar dan akses pada negara-negara berkembang untuk berpartisipasi aktif guna mengurangi kemiskinan dan mengatasi masalah lingkungan.

Pertumbuhan Ekonomi

SBY mengatakan, pertumbuhan seimbang tidak hanya mengandalkan anggaran dan konsumsi pemerintah, juga didukung investasi dan ekspor, juga sebaliknya. Ini menandakan pertumbuhan baik dari segi permintaan dan penawaran.

Hal ini berarti,  pertumbuhan tidak terkonsentrasi pada satu atau dua negara, juga tidak tergantung pada satu sektor ekonomi atau daerah. Sebuah pertumbuhan yang berkualitas, katanya, perlu didukung pengembangan sektor sekunder dan tersier. Juga tak boleh hanya mengandalkan ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam.

Pada 2025, ucap SBY, Indonesia akan memiliki struktur ekonomi, 55 persen didukung sektor tersier, 36 persen sekunder, sisanya sektor primer. Untuk mencapai target ini,  dengan memberikan nilai tambah kepada produk pertambangan, kehutanan, pertanian dan perikanan.

“Meningkatnya output produksi seimbang dengan peningkatan kualitas sumber daya lingkungan.

Titik pertumbuhan berkelanjutan, dengan ada keseimbangan optimal antara aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Pertumbuhan ekonomi,  perlu didukung investasi pada orang dan teknologi.

Pada KTT Bumi, Rio+20, akan menjadi kesempatan bagi para pemimpin dunia memperbarui komitmen politik mereka pada pengembangan ekonomi hijau global melalui pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan.

“Saya akan menggunakan kesempatan untuk mengirim pesan dan panggilan guna pembangunan berkelanjutan pada masa pasca Rio + 20. Mari kita mengambil tanggung jawab bagi masa depan umat manusia dan untuk ibu bumi.” “Semua warga dunia. Maju dan negara berkembang. Organisasi internasional dan regional. Swasta. Lingkungan. Semua stakeholder.”

Dana Receh

Koordinator Koalisi Masyarakat untuk Keadilan,  Siti Maimunah, mengatakan, pemerintah Indonesia dalam mengadopsi pembangunan berkelanjutan lewat  green economy tanpa mempedulikan hak-hak masyarakat.

Dengan green economy ini, seolah sah, negara maju terus memproduksi emisi gas dengan memberikan kompensasi sejumlah uang kepada negara berkembang untuk menjaga alam demi mereka. “Semua lahan hutan, laut menjadi wilayah konservasi dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau  masyarakat lokal.”

“Indonesia cukup bangga dengan mendapat dana-dana receh dari luar negeri sebagai kompensasi mereka.”

Koalisi juga mengkritik agenda Earth Summit karena tak menjawab problem utama kerusakan lingkungan. Justru melanggengkan sistem ekonomi neoliberal sekadar menempelkan kata hijau tanpa mengubah orientasi pembangunan yang eksploratif.

Kondisi ini, akan mengulang kegagalan deklarasi pembangunan berkelanjutan yang memperluas kerusakan lingkungan, percepatan pemanasan global dan membahayakan penghuni bumi. “Nelayan, petani, masyarakat adat, buruh, kaum miskin kota, perempuan, pemuda dan anak-anak mengalami dan menjadi saksi penurunan keselamatan dari waktu ke waktu.”

Sementara, hasil-hasil perundingan internasional perubahan iklim, tak menggembirakan karena selalu menghasilkan dokumen tanpa kewajiban penurunan emisi rumah kaca bagi negara-negara industri.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,