,

Membuldoser Orangutan Sumatera, Perusahaan Sawit PT Sisirau Dilaporkan ke RSPO

Organisasi Sumatran Orangutan Society akhirmya mengirimkan protes secara resmi kepada RSPO atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit PT Sisirau yang dinilai melanggar ketentuan yang disepakati dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yaitu menebang hutan yang masuk kategori HCVF atau High Conservation Value Forest di Aceh Tamiang, Propinsi Aceh.

Protes ini diajukan berdasarkan berbagai peristiwa yang terjadi antara bulan Februari hingga September 2012 dimana mitra Sumatran Orangutan Society (SOS) bernama Orangutan Information Center melakukan penyelamatan terhadap 7 orangutan dari buldoser perusahaan perkebunan sawit ini.

“Empat penyelamatan orangutan dilakukan antara Februari hingga September 2012 dan kami, Sumatran Orangutan Society dan Orangutan Information Center telah mengambil gambar dan video yang memperlihatkan buldoser yang beraksi di dalam perkebunan dalam penyelamatan ini,” ungkap Direktur SOS Helen Buckland kepada Mongabay.com.

Perwakilan dari PT Sisirau mengatakan bahwa pihaknya telah mengontak tim penyelamat orangutan tersebut dan “menunda penebangan yang akan dilakukan hingga orangutan-orangutan tersebut bisa diselamatkan dari perkebunan tersebut.”

Kendati demikian, SOS dan OIC menyatakan bahwa PT Sisirau terus melakukan penebangan kendati orangutan masih ada di dalam kawasan tersebut, dimana hal ini sangat dilarang berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Anak orangutan yang diselamatkan dari hutan di sekitar perkebunan PT Sisirau, bulan Mei 2012 silam. Foto: OIC

“Kami menolak pernyataan PT Sisirau tersebut, terutama bagian yang menyatakan bahwa mereka telah menghentikan operasi mereka sampai orangutan berhasil diselamatkan dan dievakuasi dari perkebunan,” ungkap Buckland lebih jauh. “Tim kami bisa memastikan bahwa penebangan tidak berhenti setelah upaya penyelamatan yang pertama, dimana pihak perusahaan sudah sadar dan tahu bahwa banyak orangutan di dalam kawasan itu. Banyak upaya kami lakukan untuk mengontak pihak perusahaan untuk mendiskusikan situasi ini dan mencoba meraih kesepakatan untuk memastikan bahwa orangutan yang tersisa tidak berada dalam bahaya.”

PT Sisirau mengklaim bahwa orangutan itu aslinya tidak berasal dari wilayah ini dan mereka tersesat ke hutan ini yang merupakan semak belukar yang bukan habitat mereka. Perusahaan ini juga menyatakan bahwa selama ini mereka memiliki rekor yang sangat baik dalam sektor keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab sosial.

Buckland mengatakan,”Orangutan-orangutan ini adalah korban dan mereka adalah orangutan liar yang mendiami wilayah tersebut bahkan sebelum adanya penebangan. Para pakar orangutan pasti setuju bahwa orangutan tidak akan bermigrasi dari hutan yang baik ke wilayah hutan seperti ini.”

Keberadaan orangutan di hutan tersebut, membuat kepatuhan PT Sisirau terhadap aturan RSPO kini dipertanyakan. “Menurut RSPO, pihak perusahaan wajib untuk melakukan penilaian HCVF (High Conservation Value Forest), dan pihak PT Sisirau terbukti gagal melakukannya. Berdasar dari resolusi yang berhasil dimasukkan oleh SOS dalam Sidang Umum RSPO tahun 2010, bahkan hutan yang terdegradasi  harus masuk ke dalam proses penilaian HCVF. Dalam kasus ini, bisa dikatakan bahwa hutan yang ada memang dalam kondisi tidak baik, namun di dalamnya ada orangutan, dan itu masuk dalam kategori HCV. Namun PT Sisirau terus menebangi hutan ini sepanjang tahun.”

Kasus ini kini secara resmi sudah masuk ke RSPO. “Pihak RSPO melihat bahwa setiap pelanggaran lingkungan dan perlindungan spesies sebagai sebuah pelanggaran yang serius,” ungkap RSPO kepada Mongabay.com. “Kami menyesalkan atas terjadinya kasus pelanggaran terhadaporangutan dalam hal ini. Kami telah menerima protes secara resmi dari Sumatran Orangutan Society dan kami saat ini dalam proses penyelidikan melalui prosedur yang kami miliki.”

Perwakilan PT Sisirau sendiri yakin bahwa mereka akan bebas dari kasus ini, namun SOS dan OIC jutsru sebaliknya.

PT Sisirau juga tidak menanggapi atas permintaan penilaian atas dampa lingkungan ataupun izin operasi mereka. Mereka hanya mengatakan bahwa perusahaan ini sudah mengantongi izin operasi untuk 20 tahun.

Perkebunan kelapa sawit adalah salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia, termasuk di dalamnya 25% hilangnya hutan dan 50% konversi lahan gambut. Sebagian besar ekspansi kelapa sawit ini terjadi di Sumatera dan Kalimantan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,