,

Jalan Panjang Perda Masyarakat Adat Kajang

Subuh itu, minggu pertama Maret 2014. Jam sudah menunjukkan pukul 04.00  tetapi Aula Rumah Makan Agri Bulukumba, Sulawesi Selatan, masih ramai, tak seperti biasa. Suara gaduh  terdengar di  ruangan itu.

“Dengan ini draf akhir Perda Kajang kami nyatakan telah selesai,” kata Junaid Abdillah, kepala Dinas Pariwisata sebagai Tim Perumus Perda. Dia tersenyum memandang sekeliling, lalu mengetuk meja tiga kali. Tepuk tangan riuh memenuhi seisi ruangan.

Saat itu, berlangsung pertemuan informal terbatas terkait finalisasi draf akhir Peraturan Daerah tentang Pengukuhan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang.

Belasan orang hadir dalam pertemuan itu. Dari pemerintah hadir Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Kehutanan dan Bagian Hukum Pemda Bulukumba. Ada perwakilan AMAN Sulsel, LSM Balang, dan Cifor. Beberapa perwakilan masyarakat adat Ammatoa juga turut terlibat.

Semua orang tampak lelah, namun terlihat lega. Merekapun bersiap-siap tidur, setelah sepanjang malam berdebat panjang membahas finalisasi draf ini.

Sebenarnya, kegiatan itu lanjutan dari dua pertemuan hari sebelumnya. Pada kali pertama, 5 Maret, pertemuan persiapan seminar, 6 Maret seminar, terakhir menyamakan berbagai pertentantang persepsi hingga finalisasi.

Muhammad Arman, koordinator Divisi Hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, mengatakan, pertemuan ini sangat penting, karena sudah ada titik temu dari sejumlah pertentangan-pertentangan selama ini. Bahkan sempat muncul isu perpecahan antara tim perumus sendiri dan ada ancaman AMAN mundur dari penyusunan perda ini.

“Sudah ada titik temu kesepakatan. Ini kemajuan besar bagi tim penyusun,” katanya.

Pertemuan ini berakhir dengan kompromi-kompromi antara berbagai pihak. Meski demikian, kata Arman, kompromi itu lahir bukan serta merta demi memaksakan perda. Namun, berbagai hal yang selama ini masih kabur menjadi terang benderang.

Dia mencontohkan, terkait judul. Sebelumnya,  kata “pengukuhan” ditolak keras oleh AMAN yang bersikukuh dengan kata “perlindungan.” Akhirnya, sikap AMAN melunak dengan suatu asumsi keberadaan perda ini mengatur subyek hukum khusus, yaitu masyarakat adat Ammatoa. Hingga hanya penetapan bukan pengaturan.

Pertentangan cukup alot terkait konsideran ‘menimbang’. Jika pada draf perda sebelumnya, pemerintah memasukkan Pasal 67 dari UU Kehutanan sebagai salah satu sumber hukum. Pemerintah daerah melunak dan sepakat menghapus Pasal 67 dari konsideran ‘menimbang’ dan memasukkan landasan filsofos, sosiologi dan yuridis usulan dari AMAN.

Dengan finalisasi ini, draf segera diserahan ke bupati lalu ke DPRD untuk dibahas. “Segera diajukan ke Bupati,” kata Junaid.

Pembahasan finalisasi draf ini molor dari jadwal. Pada pertemuan 8 Desember 2013, perda  diperkirakan ketuk palu pada akhir Januari 2014. Namun, berbagai pertentangan jadi batu sandungan. Sejumlah pertemuan kecil non formal antar tim dilakukan.

Menurut Arman, salah satu masalah krusial yang akan muncul terkait perda ini kelak terkait keberadaan pihak ketiga. Termasuk PT London Sumatera (Lonsum),  yang sebagian konsesi masuk kawasan adat Kajang.

“Kita berharap perda ini bagian solusi, bukan malah menimbulkan potensi konflik baru.”

Mencegah berbagai ekses tim ini memutuskan setelah perda lahir, pemerintah daerah segera verifikasi wilayah adat hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat Ammatoa Kajang.

Langkah lain, Pemerintah Bulukumba menyurati Menteri Kehutanan agar hutan adat Bulukumba seluas 313 hektar segera menjadi hutan adat. Selama ini,  masuk hutan produksi terbatas yang dikuasai negara.

Proses di DPRD dinilai menjadi tantangan terbesar karena berbagai kepentingan politis. Sardi Razak, ketua AMAN Sulsel, menilai, tahapan di DPRD paling krusial dan harus dikawal dan diawasi.

Kala pertemuan sebelumnya, katanya, masih belum ada kepentingan pragmatis karena antartim yang saling memahami.

“Ini akan menjadi sulit ketika di DPRD. Banyak kepentingan politik dan ekonomi akan masuk, termasuk kepentingan Lonsum, yang mungkin merasa dirugikan dengan perda ini.”

Warga adat Kajang, yang ketata menjaga alam hingga hutan terjaga dengan baik. Foto: Wahyu Chandra
Warga adat Kajang, yang ketat menjaga alam hingga hutan terjaga dengan baik. Foto: Wahyu Chandra

Menjaga alam

Masyarakat adat Ammatoa Kajang dikenal sebagai komunitas yang mempertahankan nilai-nilai leluhur. Kini, populasi penduduk Ammatoa Kajang sekitar 8.563 orang. Mereka hidup dalam kawasan yang disebut Ammatoa.

Masyarakat adat Kajang, menolak segala bentuk modernisasi, termasuk teknologi, listrik, pakaian berlebihan dan gaya hidup modern lain. Bangunan rumah warga sangat sederhana. Tak ada perbedaan mencolok antara rumah satu dengan yang lain, bahkan rumah pemimpin adat mereka, Amma Toa.

Jalanan di kawasan sekitar 331 hektar itu dibangun tanpa aspal. Penduduk tidak menggunakan alas kaki dan identik dengan pakaian berwarna hitam, umumnya berasal dari bahan tenunan sendiri. Pewarnapun alami.

Masyarakat Ammatoa Kajang dikenal dengan kepedulian terhadap alam. Mereka menentang eksploitasi hutan untuk komersialisasi. Penebangan hutan hanya untuk keperluan tertentu mendesak. Itupun harus mengikuti ritual tertentu.

Bagi masyarakat Kajang, hutan adalah sumber kehidupan yang harus mereka jaga dan pertahankan. Kelestarian hutan dinilai sebagai prasyarat agar suplai air tetap terjamin.

Tak heran jika di kawasan ini memiliki kondisi hutan sangat asri. Beberapa pohon tumbuh menjulang tinggi dan besar, kemungkinan sudah berumur ratusan hutan. Berbagai fauna endemik, seperti aneka macam jenis burung masih mudah ditemukan di tempat ini. Kondisi air sangat alami, bersih dan jernih. Konon tak pernah kering bahkan di musim kemarau paling parah sekalipun.

 Kesadaran pemerintah daerah

Ide perda masyarakat Kajang ini digagas Pemerintah Kabupaten Bulukumba, sejak 2008. Namun tersendat-sendat. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Mei 2013 yang menguatkan hak adat lewat hutan adat bukan hutan negara, barulah pembahasan intens kembali.

Misbawati A Wawo, kepala Dinas Kehutanan Bulukumba, mengatakan, pemerintah Bulukumba sudah lama memikirkan rencana ini karena menyadari penting ada regulasi khusus masyarakat Kajang.

“Kalau hutan bisa lestari dengan keberadaan masyarakat adat kenapa kita tidak jaga? Harus ada pemberian pengakuan melalui perda masyarakat adat. Perda ini diperlukan. Itu yang mendorong kami menyusun perda sejak 2008,” ujar dia.

Hal sama diakui Baso Tanriawo, tokoh adat Ammatoa Kajang. Dia juga  DPRD Bulukumba. Dia memiliki harapan besar dengan perda ini. Harapannya,  bisa mengangkat harkat dan martabat masyarakat Kajang, sekaligus memperkenalkan kekayaan khazanah budaya Ammatoa Kajang kepada dunia.

“Kekayaan budaya Ammatoa Kajang tak terpengaruh modernisasi. Ini  harus diakui dan dilindungi melalui regulasi daerah.”

Baso berharap, perda ini mampu menjawab perlindungan hak tanah dan pengolahan sumber daya alam, hak atas pembangunan, hak spiritualitas dan kebudayaan.

“Ini perlu dilindungi dan diakui.”

Arman berharap, kehadiran perda perlindungan masyarakat adat Kajang mampu menjawab tiga hak mereka, meliputi penghargaan hak, perlindungan hak, dan pemenuhan hak (trias obligation) dari pemerintah.

Ide Perda Kajang telah lama bergulir. Menurut Arman, sebelum pembentukan tim perumus perda, jauh hari sudah berkali-kali pertemuan-pertemuan kecil di antara berbagai pihak. Beberapa pihak sedari awal terlibat diskusi ini antara lain pemerintah daerah Bulukumba, masing-masing Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata dan Bagian Hukum Pemda dan DPRD. Ikut terlibat juga perwakilan Cifor, AMAN Sulsel dan LSM Balang. Di sejumlah pertemuan bahkan dihadiri PB AMAN dari Jakarta.

Warga adat Kajang, kala membahas pemetaan partisipatif wilayah adat. Kini, mereka tengah menanti pembahasan peraturan daerah untuk perlindungan komunitas adat Kajang. Apakah peraturan ini akan mampu memberikan perlindungan hak-hak mereka?  Foto: Wahyu Chandra
Warga adat Kajang, kala membahas pemetaan partisipatif wilayah adat. Kini, mereka tengah menanti pembahasan peraturan daerah untuk perlindungan komunitas adat Kajang. Apakah peraturan ini akan mampu memberikan perlindungan hak-hak mereka? Foto: Wahyu Chandra

AMAN Sulsel dari awal mengusulkan regulasi bentuk SK Bupati. “Dengan SK sebenarnya lebih mudah. Kami mendorong ke pembuatan SK itu. Namun, diskusi terus berkembang, sebagian besar peserta diskusi, khusus kalangan pemerintah, justru mendorong regulasi lebih tinggi dalam bentuk perda.”

Pada diskusi awal, kata Arman, pembahasan cukup alot pada masalah wilayah masyarakat adat. Pemerintah Bulukumba membatasi wilayah hanya pada kawasan Kajang Dalam dan mengabaikan eksistensi masyarakat adat di luar kawasan.

Namun, diskusi internal tim sangat dinamis. Akhirnya menyepakati wilayah adalah daerah Kajang keseluruhan, di Bulukumba, mencakup 22 ribu hektar di Kecamatan Kajang. Lalu sekitar 2.000 hektar di Kecamatan Bulukumba serta Ujungloe. Wilayah Kajang Kabupaten Sinjai, tidak termasuk dalam pengaturan ini.

Pada 15 Juli 2013 dilakukan pertemuan tim resmi pertama kali. Tim ini dibentuk melalui SK Bupati.  “Sebuah catatan penting dalam pembuatan naskah perda ini karena disusun banyak pihak. Tidak seperti perda lain yang disusun satu dua orang. Ini diakui Pemda dan DPRD.”

Penyusunan naskah dibagi pada masing-masing tim. AMAN  menangani kerangka hukum, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dalam kebijakan daerah maupun nasional.

Untuk Cifor dan LSM Balang bertugas penelitian lapangan. Sedangkan Pemerintah Bulukumba, berperan menjelaskan situasi lokal Bulukumba dan Kajang.

“Bagian-bagian ini digabung jadi satu dan disusun dalam draf nol. Draf nol ini masih juga dibahas pada diskusi internal.”

Dengan SK Bupati, tim mulai bekerja maraton. Hasilnya, tim mampu menyelesaikan draf naskah akademik dan draf ranperda. Ini terus dimatangkan dalam pertemuan-pertemuan informal terbatas.

“Dari beberapa kali diskusi intens, disepakati bersama sudah tidak ada lagi hal yang perlu dipermasalahkan,” kata Arman.

Pada diskusi terakhir, 8 Desember 2013, antara lain membahas bagaimana draf masuk ke DPRD Bulukumba, dan perlu pengawasan tim penyusunan. Tim penyusun boleh terlibat dalam pengawalan di DPRD.

Pertemuan 8 Desember 2013 bukan tanpa riak. Berbeda dengan harapan sebelumnya, dalam konsultasi publik ini, sejumlah hal subtansial yang dianggap tuntas ternyata muncul belakangan. Misal, permasalahan nama yang tepat untuk perda ternyata menjadi pertentangan. Sebelumnya, disepakati Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kajang, diganti menjadi ‘pengukuhan.’

Bagi AMAN istilah pengukuhan ini awalnya dinilai janggal. Ia mengesankan dominasi pemerintah terhadap eksistensi masyarakat adat. “Kami beralasan peran pemerintah dalam masyarakat adat itu tidak lagi mengukuhkan. Tanpa pemerintah pun masyarakat adat itu sudah ada dan akan tetap ada. Pemerintah tidak dalam kapasitas mengukuhkan.”

Wilayah adat Kajang. Pemerintah daerah bersama-sama organisasi masyarakat sipil menyusun peraturan daerah mengenai masyarakat adat Kajang. Mudah-mudahan aturan ini bisa menjadi jalan pengakuan dan perlindungan hak adat. Foto: Wahyu Chandra
Wilayah adat Kajang. Pemerintah daerah bersama-sama organisasi masyarakat sipil menyusun peraturan daerah mengenai masyarakat adat Kajang. Mudah-mudahan aturan ini bisa menjadi jalan pengakuan dan perlindungan hak adat. Foto: Wahyu Chandra

Sempat terjadi deadlock terkait penggunaan istilah ini. Dari Dinas Kehutanan enggan berkomentar. Beberapa pihak dari masyarakat Kajang dan DPRD terlihat frustasi. “Biarlah permasalahan ini akan dikomunikasikan lagi pada diskusi internal tim nanti,” kata Arman.

Masalah lain, dalam draf konsultasi publik ini, banyak berubah dari yang disepakati sebelumnya, seperti satu kausal khusus  terkait kewajiban pemerintah daerah dalam perlindungan masyarakat adat. Jika draf awal terdapat tiga pasal menjelaskan kewajiban pemerintah daerah melindungi hak-hak masyarakat adat, kini semua pasal dihilangkan.

“Kami dari tim AMAN menilai subtansi perda ini justru terletak pada ketiga pasal itu. Roh di situ. Sangat penting ada satu bab atau pasal tersendiri mengatur kewajiban pemerintah daerah.”

Mengapa? Hal ini didasari pengalaman di lapangan, betapa pemerintah abai terhadap perlindungan hak masyarakat adat jika tanpa aturan.

Tim pemerintah justru mengusulkan ada bab tugas dan wewenang. Namun, pemerintah daerah justru mendefinisikan bab usulan tentang tugas dan wewenang sebagai tugas dan kewajiban. “Padahal keduanya sungguh berbeda. Permasalahan ini masih akan dibicarakan dalam waktu dekat ini.”

Pertentangan lain terkait keberadan tim mediasi konflik,  terkait pihak yang menengahi, andai masyarakat adat memiliki konflik dengan perusahaan.

Tim AMAN mengajukan untuk membentuk tim mediasi permanen. Tim mediasi akan bekerja sekitar 2-5 tahun. Anggota tim mediasi ini diseleksi terlebih dahulu oleh pemerintah. Orang-orang yang masuk yang memiliki integritas. Mesti ada utusan masyarakat ada yang menjadi anggota.

Pembentukan tim mediasi konflik bisa membantu mengatasi masalah dan tidak melibatkan tim advokasi karena khawatir memiliki kepentingan sendiri.

AMAN mengharapkan, tim mediasi difasilitasi pemerintah daerah. Kemudian memiliki hak memanggil orang atau pihak bermasalah untuk mediasi.

Pertentangan ini, katanya, jauh hari sudah dikhawatirkan AMAN.  Mereka beranggapan tidak perlu terburu-buru mengesahkan Perda Kajang.

“Kami sebenarnya lebih memprioritaskan pada substansi perda. Seandainya disahkan tanpa memandang subtansi, khawatir hanya bersifat deklaratif. Dimana hilangnya tanggung jawab pemerintah. Itu kami khawatirkan betul dari awal.”

Meski demikian Arman tetap optimis, perda ini bisa tetap disahkan sesuai jadwal. “Semua isu perpecahan dalam tim semoga bisa diselesaikan dalam pertemuan informal. Kita berhadap ketiga pasal subtansial sebagai roh perda ini bisa tetap dipertahankan.”

Misbawati enggan berkomentar banyak dengan protes AMAN. “Prosesnya masih berlangsung. Kita lihat saja nanti.”

Tokoh masyarakat adat, Mansyur Embas, yakin segala kebuntuan dalam penyusunan akhir perda ini terselesaikan dengan baik.

Hutan produksi terbatas yang dibuat pemerintah ini mengambil sebagian wilayah adat Kajang. Kawasan hutan inipun  sebagian telah menjadi 'milik' perusahaan atas izin  pemerintah pusat. Foto: Wahyu Chandra
Hutan produksi terbatas yang dibuat pemerintah ini mengambil sebagian wilayah adat Kajang. Kawasan hutan inipun sebagian telah menjadi ‘milik’ perusahaan atas izin pemerintah pusat. Foto: Wahyu Chandra

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,